Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Seperti lampu minyak di dinding

Di daerah gunung kidul, yogya, banyak yang melakukan kawin teplok (samen leven)). caranya sederhana, asal suka sama suka dan disaksikan keluarga dan tetangga. pihak berwajib sempat merazia. (ils)

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPU teplok berarti lampu minyak. Mudah ditempelkan di dinding kalau sedang menyala dan tak sulit pula melepasnya jika tak diperlukan. Dari situlah rupanya lahir istilah kawin teplok. Artinya perkawinan yang dilaksanakan secara gampang: suka sama senang, disaksikan oleh beberapa orang tetangga terdekat, terkadang-kadang juga Ketua RT -- jadilah sepasang manusia sebagai suami istri. Tanpa susah-susah ke penghulu atau catatan sipil, tapi juga berarti tak akan pernah terdaftar maupun mengantungi surat nikah. Perkawinan cara ini sering juga disebut kawin tempel, atau kawin saksi. Tapi karena prosesnya begitu mudah, pisahnya pun tak sulit. Jika salah satu pihak sudah merasa bosan, ia boleh pergi begitu saja tanpa prosedur atau risiko apapun. Jika sempat punya anak? Itu tergantung pada rasa tanggungjawab masing-masing. Perkawinan serupa itu bukan hal baru. Di zaman dahulu kala di beberapa daerah konon sudah terdapat. Bahkan pejabat-pejabat pemerintah Hindia Belanda melakukannya hampir secara terang-terangan, terutama di daerah-daerah perkebunan. Di pedalaman Kalimantan, ketika banyak pengusaha asing menumpahkan modalnya ke sektor penebangan kayu, juga dikenal kawin kontrak. Yaitu laki-laki asing yang mengawini wanita pribumi hanya untuk selama kontraknya berada di Indonesia. Begitu kontraknya habis, setelah memberi pesangon sekedarnya, selamat tinggal. Tak ada hak untuk menggugat, tak ada kesempatan untuk meninggalkan bekas belas kasihan lebih banyak. Di beberapa kota besar Indonesia, percampuran antara dua manusia berbeda kelamin itu, akhir-akhir ini banyak dikenal dengan sebutan hidup bersama, alias samen laven. Ada yang dengan sistem teplok, namun tak jarang sampai berlarut-larut, bahkan kemudian berlanjut ke hadapan penghulu atau catatan sipil. Istilah kawin teplok sendiri hanya dikenal di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi karena perkawinan serupa itu selalu dilakukan secara diam-diam, tentu saja istilah tadi hanya dikenal oleh kalangan terbatas. Angka-angka pasti yang menyebut berapa orang yang melakukan kawin tempel itu pun selalu gelap. Yang pasti beberapa orang pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) di lingkungan DI Yogyakarta mengaku sering mendengar istilah itu. "Tapi selalu sulit dibuktikan, mas," kata Kepala Kantor Departemen Agama Gunung Kidul, Haji Djuremi Bakri. Di Kelurahan Kemadang, 58 km di selatan Kota Yogyakarta, pertengahan 1978 petugas-petugas kelurahan, kaum (penghulu) serta beberapa pejabat KUA setempat, pernah melakukan razia ke rumah-rumah penduduk yang sebelumnya diduga ada anggota keluarganya melakukan kawin teplok. Hasilnya, dari sekian puluh pasang yang diduga, hanya enam pasang yang terjaring razia. Di antara keenam pasang itu, lima pasang diberi peringatan keras (agar pisah atau nikah secara sah) dan satu pasang lagi berjanji akan melengkapi syarat-syarat pernikahan resmi. Perkawinan serupa itu banyak disebut-sebut sering terjadi di Desa Sampang, Kecamatan Patuk dan Desa Kemadang, Kecamatan Tepus, keduanya di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Menurut Haji Djuremi, perkawinan serupa itu terjadi karena pelaku-pelakunya tidak menganut salah satu agama. "Mungkin mereka menganut suatu aliran kepercayaan, atau memang karena suka melakukan cara begitu," tutur Djuremi. Sebab, tambahnya, mereka yang menganut salah satu agama, melakukan perkawinan di KUA atau catatan sipil. Tapi bagi Prapto (bukan nama sebenarnya) soalnya tak ada kaitannya dengan agama atau salah satu aliran kepercayaan. "Untuk kawin lagi secara resmi diperlukan surat izin istri saya yang pertama, dan itu tidak mungkin saya dapatkan," kata Prapto. Laki-laki ini penduduk Kota Yogya. Sejak beberapa tahun lalu, hampir setiap Minggu ia memancing di Pantai Baron, pantai selatan Yogya yang menghadap ke Samudra Indonesia. Suatu ketika Prapto berkenalan dengan gadis Rantem, penduduk Kelurahan Kemadang, 6 km utara Baron. Dalam waktu singkat keduanya saling menyukai. Hubungan seperti suami-istri pun terjadi. Tapi agar para kerabat dan tetangga tak tersinggung, suatu hari mereka diundang ke rumah orang tua Rantem. Disaksikan hadirin serta kepala dukuh, keduanya dinyatakan sebagai suami-istri. Cukup. Tiga tahun berlalu. Walaupun Prapto hanya berkunjung pada tiap Minggu dengan alasan mancing ikan, seorang anak laki-laki lahir juga. Tapi Prapto segera meninggalkan Rantem, dan laki-laki itu kini telah menemplok pada wanita lain di Desa Playen (Gunung Kidul), Warni namanya Rantem yang ditinggal bersama anaknya tak protes ataupun sedih. "Antara saya dengan mas Prapto tak ada apa-apa lagi, seperti sebelum kenal dulu," kata Rantem. Tapi Prapto sering mengirim uang untuk anak mereka. Masing-masing Rukun. Sarman (juga bukan nama sebenarnya) agak berbeda dengan Prapto. Istri sahnya yang tinggal di salah satu kota di Jawa Barat, sudah lama tahu bahwa Sarman hidup bersama dengan Endang, juga dari Kelurahan Kemadang. "Tapi karena istri saya tetap tidak setuju saya kawin lagi, maka saya kawin saksi saja," kata Sarman. Lebih-lebih karena menurut orang tua Endang, kawin dengan cara begitu sudah cukup. Sarman dan Endang kini sudah dikaruniai empat orang anak. Sebagai karyawan sebuah tempat peristirahatan di Pantai Baron sejak 1975, laki-laki itu setiap hari tinggal satu atap dengan Endang dan anak-anaknya. "Mengapa harus malu," tambah Sarman, "20% penduduk Kemadang melakukan kawin teplok, meskipun kemudian ada yang berlanjut di hadapan penghulu setelah mendapat beberapa anak." Tapi ia sendiri tak akan sampai di hadapan penghulu, sebab istri pertamanya tetap tak mau dimadu. Seorang kepala dukuh di Kemadang, tanpa mau disebutkan namanya, mengakui banyak warganya yang melakukan kawin teplok. Malahan dia sendiri sudah berkali-kali bertindak sebagai saksi. "Habis, mau apa lagi, kalau kedua mempelai sudah saling cinta, keluarga wanita sudah setuju, tetangga juga tak keberatan," kata si kepala dukuh memberi alasan ia sendiri tak pernah melaporkan ikhwal warganya itu kepada penghulu atau catatan sipil, "sebab yang penting masing-masing pihak rukun."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus