LAMPU teplok berarti lampu minyak. Mudah ditempelkan di dinding
kalau sedang menyala dan tak sulit pula melepasnya jika tak
diperlukan. Dari situlah rupanya lahir istilah kawin teplok.
Artinya perkawinan yang dilaksanakan secara gampang: suka sama
senang, disaksikan oleh beberapa orang tetangga terdekat,
terkadang-kadang juga Ketua RT -- jadilah sepasang manusia
sebagai suami istri. Tanpa susah-susah ke penghulu atau catatan
sipil, tapi juga berarti tak akan pernah terdaftar maupun
mengantungi surat nikah. Perkawinan cara ini sering juga disebut
kawin tempel, atau kawin saksi.
Tapi karena prosesnya begitu mudah, pisahnya pun tak sulit. Jika
salah satu pihak sudah merasa bosan, ia boleh pergi begitu saja
tanpa prosedur atau risiko apapun. Jika sempat punya anak? Itu
tergantung pada rasa tanggungjawab masing-masing.
Perkawinan serupa itu bukan hal baru. Di zaman dahulu kala di
beberapa daerah konon sudah terdapat. Bahkan pejabat-pejabat
pemerintah Hindia Belanda melakukannya hampir secara
terang-terangan, terutama di daerah-daerah perkebunan.
Di pedalaman Kalimantan, ketika banyak pengusaha asing
menumpahkan modalnya ke sektor penebangan kayu, juga dikenal
kawin kontrak. Yaitu laki-laki asing yang mengawini wanita
pribumi hanya untuk selama kontraknya berada di Indonesia.
Begitu kontraknya habis, setelah memberi pesangon sekedarnya,
selamat tinggal. Tak ada hak untuk menggugat, tak ada kesempatan
untuk meninggalkan bekas belas kasihan lebih banyak.
Di beberapa kota besar Indonesia, percampuran antara dua manusia
berbeda kelamin itu, akhir-akhir ini banyak dikenal dengan
sebutan hidup bersama, alias samen laven. Ada yang dengan
sistem teplok, namun tak jarang sampai berlarut-larut, bahkan
kemudian berlanjut ke hadapan penghulu atau catatan sipil.
Istilah kawin teplok sendiri hanya dikenal di kawasan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Tapi karena perkawinan serupa itu selalu
dilakukan secara diam-diam, tentu saja istilah tadi hanya
dikenal oleh kalangan terbatas. Angka-angka pasti yang menyebut
berapa orang yang melakukan kawin tempel itu pun selalu gelap.
Yang pasti beberapa orang pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) di
lingkungan DI Yogyakarta mengaku sering mendengar istilah itu.
"Tapi selalu sulit dibuktikan, mas," kata Kepala Kantor
Departemen Agama Gunung Kidul, Haji Djuremi Bakri.
Di Kelurahan Kemadang, 58 km di selatan Kota Yogyakarta,
pertengahan 1978 petugas-petugas kelurahan, kaum (penghulu)
serta beberapa pejabat KUA setempat, pernah melakukan razia ke
rumah-rumah penduduk yang sebelumnya diduga ada anggota
keluarganya melakukan kawin teplok. Hasilnya, dari sekian puluh
pasang yang diduga, hanya enam pasang yang terjaring razia. Di
antara keenam pasang itu, lima pasang diberi peringatan keras
(agar pisah atau nikah secara sah) dan satu pasang lagi berjanji
akan melengkapi syarat-syarat pernikahan resmi.
Perkawinan serupa itu banyak disebut-sebut sering terjadi di
Desa Sampang, Kecamatan Patuk dan Desa Kemadang, Kecamatan
Tepus, keduanya di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Menurut
Haji Djuremi, perkawinan serupa itu terjadi karena
pelaku-pelakunya tidak menganut salah satu agama. "Mungkin
mereka menganut suatu aliran kepercayaan, atau memang karena
suka melakukan cara begitu," tutur Djuremi. Sebab, tambahnya,
mereka yang menganut salah satu agama, melakukan perkawinan di
KUA atau catatan sipil.
Tapi bagi Prapto (bukan nama sebenarnya) soalnya tak ada
kaitannya dengan agama atau salah satu aliran kepercayaan.
"Untuk kawin lagi secara resmi diperlukan surat izin istri saya
yang pertama, dan itu tidak mungkin saya dapatkan," kata Prapto.
Laki-laki ini penduduk Kota Yogya. Sejak beberapa tahun lalu,
hampir setiap Minggu ia memancing di Pantai Baron, pantai
selatan Yogya yang menghadap ke Samudra Indonesia.
Suatu ketika Prapto berkenalan dengan gadis Rantem, penduduk
Kelurahan Kemadang, 6 km utara Baron. Dalam waktu singkat
keduanya saling menyukai. Hubungan seperti suami-istri pun
terjadi. Tapi agar para kerabat dan tetangga tak tersinggung,
suatu hari mereka diundang ke rumah orang tua Rantem. Disaksikan
hadirin serta kepala dukuh, keduanya dinyatakan sebagai
suami-istri. Cukup.
Tiga tahun berlalu. Walaupun Prapto hanya berkunjung pada tiap
Minggu dengan alasan mancing ikan, seorang anak laki-laki lahir
juga. Tapi Prapto segera meninggalkan Rantem, dan laki-laki itu
kini telah menemplok pada wanita lain di Desa Playen (Gunung
Kidul), Warni namanya Rantem yang ditinggal bersama anaknya tak
protes ataupun sedih. "Antara saya dengan mas Prapto tak ada
apa-apa lagi, seperti sebelum kenal dulu," kata Rantem. Tapi
Prapto sering mengirim uang untuk anak mereka.
Masing-masing Rukun.
Sarman (juga bukan nama sebenarnya) agak berbeda dengan Prapto.
Istri sahnya yang tinggal di salah satu kota di Jawa Barat,
sudah lama tahu bahwa Sarman hidup bersama dengan Endang, juga
dari Kelurahan Kemadang. "Tapi karena istri saya tetap tidak
setuju saya kawin lagi, maka saya kawin saksi saja," kata
Sarman. Lebih-lebih karena menurut orang tua Endang, kawin
dengan cara begitu sudah cukup.
Sarman dan Endang kini sudah dikaruniai empat orang anak.
Sebagai karyawan sebuah tempat peristirahatan di Pantai Baron
sejak 1975, laki-laki itu setiap hari tinggal satu atap dengan
Endang dan anak-anaknya. "Mengapa harus malu," tambah Sarman,
"20% penduduk Kemadang melakukan kawin teplok, meskipun kemudian
ada yang berlanjut di hadapan penghulu setelah mendapat beberapa
anak." Tapi ia sendiri tak akan sampai di hadapan penghulu,
sebab istri pertamanya tetap tak mau dimadu.
Seorang kepala dukuh di Kemadang, tanpa mau disebutkan namanya,
mengakui banyak warganya yang melakukan kawin teplok. Malahan
dia sendiri sudah berkali-kali bertindak sebagai saksi. "Habis,
mau apa lagi, kalau kedua mempelai sudah saling cinta, keluarga
wanita sudah setuju, tetangga juga tak keberatan," kata si
kepala dukuh memberi alasan ia sendiri tak pernah melaporkan
ikhwal warganya itu kepada penghulu atau catatan sipil, "sebab
yang penting masing-masing pihak rukun."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini