MENYAMBUT gagasan Presiden Soeharto tentang upaya mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar kini tengah bersiap-siap. Kedua yayasan pemilik Bank Duta itu telah menyisihkan dana Rp 1 milyar untuk modal mendirikan 20 BPR. "Setiap BPR mendapat Rp 50 juta," demikian kata Bendahara Yayasan Dharmais, Bustanil Arifin, kepada TEMPO pekan silam. "Kedua puluh BPR itu diharapkan lahir serentak akhir tahun ini. Lokasinya di sekitar Jawa dan Bali, agar koordinasi dan kontrol mudah," kata Dicky Iskandar Di Nata yang dihubungi TEMPO secara terpisah. Wakil Dirut Bank Duta ini sudah ditunjuk untuk memimpin proyek itu. Gagasan Presiden yang dicetuskan dua bulan berselang itu berangkat dari tekad untuk melayani masyarakat pedesaan dengan kredit murah, yang besarnya Rp 50.000 sampai Rp 2 juta tiap orang. Bisa juga diberikan per kelompok swadaya, yang jumlahnya maksimal Rp 20 juta. Untuk kredit investasi, bunganya 12%-15%, sedang untuk modal kerja, bunganya 15%-24% setahun. Ini jauh di bawah rente para tengkulak dan suku bunga kredit perbankan, yang rata-rata di atas 20% per tahun. "Presiden menginginkan prosedur kredit tidak berbelit-belit, tidak memakai subsidi pemerintah, dan tidak melalui program-program bantuan Bank Dunia," tutur Dicky. Bukan rahasia lagi bahwa kredit yang disubsidi pemerintah (seperti Bimas, KIK, KMKP) sering macet. Mengapa? Kredit itu bukannya jatuh ke tangan pengusaha lemah, tapi berbelok ke tangan oknum-oknum pejabat. Lain halnya Kupedes (kredit umum pedesaan) yang disalurkan BRI dan ternyata lebih sukses. Karena sukses itu pula, Bank Dunia tak ragu-ragu memberikan bantuan US$ 100 juta. Menurut Dicky, BPR yang akan dibentuk itu harus mandiri. Selain memakai modal dari yayasan, BPR juga akan menghimpun dana masyarakat pedesaan. "Kekayaan LSD (lembaga swadaya desa) itu cukup besar," kata Dicky. Tapi, BPR Dharmais ini tetap akan mematuhi Undang-Undang Perbankan yang mengharuskan setiap pinjaman disertai jaminan. "Persyaratan agunan tetap ada," katanya. Dicky menilai, UU itu sendiri cukup fleksibel. Di situ misalnya tidak dirinci barang-barang apa saja yang bisa menjadi agunan. Maka, Dikcy menafsirkan, barang dagangan juga bisa jadi jaminan. Misalnya tempe, ia bisa dijadikan agunan bagi pengusaha atau pedagang tempe. "Pegangan kami nanti adalah memantau kegiatan si petani dan arus barang-barangnya," tutur Wakil Dirut Bank Duta yang merintis kariernya dari Citibank itu. Dicky menandaskan BPR ini kelak juga akan berfungsi sebagai agen pembangunan. Tapi bukan berarti BPR akan menyepelekan segi bisnis. "Masyarakat Indonesia kalau mendapat fasilitas merasa dininabobokkan," ujarnya. Maka, "Pinjaman tetap harus dikembalikan. Karena itu, harus komersial juga," kata Dicky. Tugas lain BPR ialah menurunkan tenaga-tenaga penyuluhan, agar orang desa tidak takut berurusan dengan bank. Untuk itu Dicky akan mencari tenaga-tenaga yang dulunya memperoleh beasiswa Supersemar. Menurut rencana, setiap BPR kelak akan diperkuat 15 penyuluh. Sementara itu, PT Nusamba milik pengusaha besar Bob Hasan juga akan ikut serta. Ini kata Bustanil. Perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan ini akan menyetor modal sekitar Rp 1 milyar sehingga minimal akan ada 20 BPR serupa. Di luar Dharmais dan Nusamba, masih banyak peminat lain. Menurut sebuah sumber, Departemen Keuangan telah menerima sekitar 220 permohonan pendirian BPR. "Yang disetujui 124, 33 masih diproses, sisanya ditolak," kata sumber yang tak mau disebutkan namanya itu.Max Wangkar, Liston P. Siregar, Syafiq Basri, Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini