KALAU tak bisa seiring, maka satu-satunya pilihan ialah bersimpang jalan. Dalam mengatasi sengketa PT TAA (Tirta Amerta Agung), cara itulah yang akhirnya ditempuh Mantrust dan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia). Didirikan tahun 1984 silam, TAA antara lain memproduksi susu bubuk, untuk dimanfaatkan oleh Industri Pengolah Susu (IPS), seperti Dancow, Nestle, Indomilk. Bagi Mantrust dan GKSI, TAA merupakan sumber ricuh yang tak putus-putusnya. GKSI lantas mengundurkan diri dari proyek kerja sama yang nahas itu. Saham kosongnya di TAA yang 50% itu dialihkan ke koperasi primer (Koperasi Unit Desa) kendati belum tuntas pengaturannya. Kisruh antara GKSI dan Mantrust -- terjadi sejak tahun 1988 -- pekan lalu mendapat sorotan Komisi VII DPR RI. Sengketa itu terutama berpangkal pada tunggakan TAA Rp 7,3 milyar pada GKSI. "TAA tidak dapat melunasi pembayaran susu kepada koperasi karena produk TAA tidak seluruhnya dapat dijual," kata Daman Danuwijaya, Ketua Umum GKSI, menjawab pertanyaan DPR. Menurut Rasyid dari Mantrust, TAA memang agak sulit memasarkan produknya. Tak seluruh produk TAA laku meskipun IPS, sebagai pembeli, mendapat hak impor susu bubuk sampai 3,5 kali lipat. Dan ini sebagai imbalan untuk jasanya membeli susu TAA. Padahal, kalau mereka membeli susu segar dari pihak lain, konsekuensi hak impornya cuma 1,7 kali lipat. Namun, jatah 3,5 kali lipat itu tidak menjamin larisnya produk TAA. Aneh memang, tapi begitulah kenyataannya. Menurut Rasyid, kini ada sekitar 1,4 juta ton susu bubuk TAA yang menumpuk. Ini benar-benar memusingkan. Maka, dicarilah jurus baru. "Kami sedang menjajaki pasaran ASEAN," kata Rasyid. Mengapa produk TAA tak laku? Menurut Daman, selain harga yang tinggi, beberapa anggota IPS menganggap kualitas susu TAA belum memenuhi standar. Lagi pula, ada anggapan bahwa IPS merasa diperlakukan tak adil karena TAA hanya dimiliki salah satu grup IPS -- dalam hal ini PT Friesche Vlag Indonesia yang memproduksi susu cap Bendera. Namun, belakangan ini persoalan mengenai tunggakan TAA kepada GKSI sudah hampir beres. Seperti yang bisa dibaca dalam artikel sponsor Mantrust yang dimuat di beberapa media, tunggakan itu secara berangsur dilunasi. Tunggakan Januari 1989, misalnya, yang besarnya Rp 8,29 milyar, kini sudah dibayar Rp 8 milyar. Lalu tunggakan Maret-April 1989, yang Rp 7,3 milyar, sudah pula dibayar Rp 6,3 milyar. Sisanya akan dicicil per 10 hari, lalu per 20 hari. Karena GKSI masih memasok susu sampai Mei berselang, per 20 Mei 1989 utang TAA tercatat Rp 600 juta. Kata Daman, TAA berjanji, mulai Juli depan pembayaran akan lancar. Tapi sebelumnya GKSI mau tak mau harus lebih dulu membeli (tunai) setoran susu dari 150.000 peternak yang berlokasi di Rancaekek dan Pangalengan (Ja-Bar) serta Boyolali (Ja-Teng). "Cukup merugikan dan memberatkan," tutur Daman. Akibat keterlambatan pembayaran susu dari TAA selama dua bulan saja, GKSI harus menanggung bunga bank 4O atau setara Rp 16 per liter susu. Sesudah menelan pil pahit berkali-kali, kini GKSI tak lagi mau mengambil risiko yang makin berat. Maka, susu segar dari GKSI dilempar ke Jawa Timur, meskipun ada risiko transportasi yang lebih mahal. Tapi, "Masih lebih menguntungkan." Kendati demikian, GKSI masih menyalurkan susunya ke TAA dengan sistem jual-beli biasa. Dengan posisi Daman di luar TAA, hal itu mungkin saja. Kini ia bisa menjual susu segar ke sana, tanpa wajib setor seperti dulu. Padahal, TAA punya kapasitas mengolah susu segar sampai 150 ribu liter per hari. Tahun lalu, realisasi penyerapan susu segar TAA mencapai 240 ribu liter. Daman mengakui potensi penyerapan TAA cukup baik. Tapi, "Daripada kami dipermainkan, kan lebih haik keluar. Da selanjutnya berhubungan sebagai pedagan dan pembeli," katanya. Kini GKSI lebi bebas menjual kepada Industri Pengola Susu (IPS) secara langsung, seperti Nestle, Indomilk, Sari Husada, Foremost Indonesia, dan Friesche Vlag Indonesia. Tentu tanpa melalui TAA. Dulu TAA didirikan dengan satu pertimbangan: perkembangan industri susu di Indonesia makin baik. Pemerintah pun memberi kesempatan pada IPS, juga koperasi, untuk membikin 5 sampai 8 pabrik susu baru. Kesempatan itu lalu dimanfaatkan Mantrust, yang bersama GKSI mendirikan TAA, 50:50. Namun, GKSI tak punya dana. PT Margo Redjo, perusahaan yang berada d bawah naungan Mantrust, lantas mencarikan pinjaman hampir 13,6 juta gulden Belanda (sekitar Rp 4,2 milyar). GKSI pun setuju melunasi utang itu, termasuk bunganya 8,25% per tahun. Dengan partner pengusaha besar itu, terselip harapan gerakan koperasi bisa cepat maju aan mendewasakan diri. Dan TAA adalah penghasil susu bubuk bahan baku yang pertama di Indonesia. Kendati kini keran impor susu bubuk masih dibuka, seyogyanyalah impor itu diperkecil, untuk akhirnya dihentikan sama sekali. Apalagi kalau produk dalam negeri bisa murah dan bermutu. Sayangnya, "Mantrust dengan TAA-nya itu seperti pionir kesiangan," kata Daman, yang ikut membidani kelahiran TAA lima tahun silam. Waktu itu ia masih menjabat sebagai Dirjen Peternakan dari Departemen Pertanian. GKSI kecewa karena, antara lain, pemegang saham belum pernah melaksanakan rapat umum pemegang saham. Sebagai pemilik saham 50%, GKSI tak tahu-menahu kebijaksanaan operasional TAA. Padahal, beberapa orang GKSI juga terlibat di lapangan. "Tapi kakinya diikat," kata Daman. Sementara itu, kewajiban GKSI membayar saham sampai kini masih belum jelas. "Kami hanya tahu bahwa itu akan dialihkan ke KUD. Tapi bagaimana caranya, belum tahu," tambah Daman. Padahal, waktu beringsut terus, sementara mesinmesin pabrik TAA di Salatiga bekerja tak putus. Di samping itu, Mantrust masih punya PT NAA (Nandhi Amerta Agung) -- 20% sahamnya dipegang GKSI -- yang menyuplai susu segar. Bagaimana nanti? Tunggu saja. "Kami sudah menabur angin, sekarang tinggal menuai badai. Apa boleh buat," kata Rasyid. Suhardjo Hs., Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini