"TOLONG, sampaikan ucapan terima kasih kami pada Bank Danamon," pesan D. Ramli, Dirut Bank Bali, kepada TEMPO pekan lalu. Ramli mengucapkan kalimat itu sambil menyunggingkan senyum sinis di sudut bibirnya. Tak pelak lagi, ia masih berang. Dalam waktu sebulan terakhir ini, tak kurang dari 20-an karyawan Bank Bali cabang Bandung sudah hijrah ke Bank Danamon di kota yang sama. Danamon Bandung ini akan dibuka Juli depan. Bukan tidak mungkin, jumlah karyawan yang dibajak itu akan bertambah dalam waktu dekat. Pembajakan pertama terjadi Januari lalu, ketika kepala cabang Bank Bali hengkang ke Bank Danamon. Ia disusul oleh 19 anak buahnya, yang angkat kaki Mei berselang. Sejak itu, masih ada acara makan siang di restoran, antara karyawan Bank Bali dan Bank Danamon. "Jadi, bukan yang di Bandung saja yang dilobi, juga karyawan kami yang di Jakarta, Surabaya, dan Medan," ucap Ramli cemas. Bagaimana tidak, kalau anak buah dibajak tanpa kulonuwun. Padahal, dalam etika yang ditetapkan Perhimpunan Bank Nasional Swasta (Perbanas), pemberitahuan semacam itu harus dilakukan. Bahkan ketika Ramli melakukan pengecekan, Danamon seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi. "Sudah seenaknya, kayak anak kecil lagi," ujar Ramli, penasaran. Tapi "tembakan" itu ditangkal oleh Jusuf Arbianto Tjondrolukito, Direktur Pelaksana Bank Bali. Menurut dia, pindahnya para karyawan Bali itu bukan disengaja -- toh penerimaan pegawai baru dilakukan melalui tes. Dan hal itu sudah dilaporkannya kepada direksi Bank Bali. "Waktu itu pihak Bank Bali menjawab, kalau sudah lulus tes, yaa, silakan saja," kata Jusuf, mengulang kata-kata direksi Bank Bali. Entah mana yang benar. Tapi itulah salah satu dampak Pakto 1988. Dengan kebijaksanaan yang mempermudah proses pendirian bank, maka sejak awal tahun ini bank-bank bermunculan bagaikan jamur. Ada yang berupa cabang, patungan dengan bank asing, ataupun bank yang baru sama sekali. Bajak-membajak hanya satu bagian dari proses itu. Dan terkadang dilakukan terlalu kasar. Bahkan seperti dikatakan Sekjen Perbanas Thomas Suyatno, "Banyak bank yang tak etis dalam mencaplok karyawan bank lainnya." Padahal, ketika gejala itu tercium Maret lalu, Perbanas telah memberlakukan "etika membajak karyawan bank". Menurut Thomas, bank yang menarik karyawan dari bank lain harus memberi tahu 60 hari sebelumnya. "Sehingga, bank yang ditinggalkan mempunyai waktu yang cukup untuk menunjuk penggantinya," ujarnya. Mencetak karyawan bank, apalagi tingkat manajer, memang bukan perkara mudah. Dalam pada itu, lembaga pendidikan perbankan tidak bisa terlalu diharapkan. Para lulusannya, belum siap pakai, alias perlu dididik lagi. "Untuk tingkat superisor ke atas, misalnya, dibutuhkan waktu dua tahun untuk mendidiknya," kata Jusuf Arbianto. Itulah sebabnya, banyak bank yang mengambil jalan pintas, yakni merekrut karyawan yang sudah jadi. Tapi bukan hanya Bank Bali yang ditimpa musibah seperti itu. Sekitar tahun 1983 -- jauh sebelum Pakto -- Bank NISP cabang Bogor pernah tutup beberapa hari. Ternyata, belasan karyawannya kabur ke Bank Perniagaan Indonesia (sekarang Lippobank). Sampai-sampai, menurut seorang bankir, direksi NISP sengaja datang ke Perniagaan, khusus untuk acara maki-maki. "Tapi sudahlah, itu kan masa lalu," tutur Anwary Surjaudaja, Direktur NISP. Yang berusaha tetap tenang, kendati paling sering dibajak, mungkin hanya bank-bank asing. Citibank, umpamanya. Sejak Pakto mendengung, sudah 24 manajer menengah dan atas dari bank ini yang hijrah ke bank swasta lokal. Seperti di negeri asalnya, Amerika Serikat, di Indonesia mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bebas membajak dan bebas dibajak.Budi Kusumah, Budiono D., Moebanoe M., Sidartha P., Sigit H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini