Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Krisis terbesar sepanjang tahun 90

Kejaksaan agung membentuk tim untuk mengusut krisis bank duta. kerugian akibat permainan valas mencapai 332 juta dolar as. pengawasan bi kurang efektif.menunggu rapat umum pemegang saham luar biasa.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Krisis Terbesar Sepanjang Tahun 1990 Bank Duta tertimpa krisis berat. Kejaksaan Agung membentuk tim dengan tugas khusus: meneliti tindak pidana dan korupsi di Bank Duta. RABU pekan lalu, senyum yang biasanya menghias wajah para karyawati di loket Bank Duta nyaris tak tampak. Hari itu cuaca cerah seperti biasa, tapi suasana murung dan sedih meliputi bank yang gedungnya berdiri dengan megah di Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat ini. Beberapa karyawati bahkan tak bisa menahan sedu sedan mereka. Kesedihan itu ternyata masih merundung beberapa karyawan lain, esok harinya. Bahkan ada yang mengenakan pakaian hitam. Sulit bagi mereka untuk begitu saja menerima bahwa pimpinan teras Bank Duta, yang begitu mereka kagumi dan cintai, tiba-tiba harus angkat kaki. Dan para karyawan ini mungkin lebih sulit lagi untuk mencernakan bahwa pihak Kejaksaan Agung, Senin pekan ini, telah membentuk tim yang langsung dipimpin oleh Jaksa Agung Singgih. Tim itu bertugas untuk meneliti kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi pada Bank Duta -- suatu inisiatif yang tentu berangkat dari dugaan bahwa krisis keuangan Bank Duta erat kaitannya dengan perbuatan kriminal. Sampai di sini nyatalah bahwa masalah Bank Duta telah berkembang lebih jauh dari sekadar kasus kenakalan bank. Dan untuk menjamin kesuksesan Tim Kejaksaan Agung, Singgih mengimbau semua warga masyarakat agar tidak segan-segan menyampaikan informasi, dengan jaminan keselamatan mereka dilindungi. Campur tangan Kejaksaan Agung ini tampaknya merupakan kejutan besar kedua, sesudah kejutan besar pertama yang terjadi Rabu pekan silam. Pada hari itu, Direktur Utama Abdulgani, Wakil Direktur Utama Dicky Iskandar Di Nata, Direktur Operasi Bey Yoesoef, Direktur Kredit Syamsi Pohan, dan Direktur Pengawasan Effendi Ishak harus turun dari "singgasana" mereka. Lalu masing-masing digantikan oleh Winarto Soemarto, Edward C.W. Neloe, F.X. Soewarsono, B.S. Salamoen, dan Yusuf Sudibyo Wiryosudirdjo. Keputusan mengenai pergantian direksi diumumkan Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy di Binagraha Selasa siang, dan segera dilaksanakan keesokan harinya. Tindakan penggantian itu bukan cuma mengejutkan orang-orang Bank Duta. Seluruh kalangan perbankan, bahkan banyak pejabat di kalangan BI dan Departemen Keuangan tidak tahu-menahu masalah apa sebenarnya yang menggayuti reputasi Bank Duta. Padahal, kemelut Bank Duta sebenarnya sudah terbetik beritanya sejak pertengahan bulan lalu. Waktu itu Bank Duta, yang baru saja go public dan meraup dana masyarakat sebesar Rp 220 milyar, diisukan sedang mengalami krisis likuiditas. Isu itu kemudian lenyap, karena ternyata Bank D-anamon-lah yang menjadi bulan-bulanan (TEMPO, 18 Juli 1990). Tapi rupanya, krisis Bank Duta, tak bisa lebih lama dipendam. Bank ini telah melakukan kekeliruan dalam perdagangan valuta asing, dan sudah mencatat kerugian sejak Juni tahun lalu, yakni ketika dolar mulai melemah terhadap Mark Jerman. Waktu itu Bank Duta, kabarnya, sudah menderita rugi sekitar US$ 20 juta, hanya dari permainan valuta asing. Bank Duta diduga salah mengambil posisi, yakni membuat kontrak pembelian sejumlah uang Jerman dengan valuta dolar dengan perjanjian DM itu akan dijual kembali untuk beberapa bulan ke muka, menurut kurs pada saat kontrak ditutup dengan penjualan kembali (spot & forward). Jika DM melemah, jelas, Bank Duta untung. Ternyata, justru dolar yang melemah. Akibatnya, pada bulan Juni 1989 itu, Bank Duta rugi sekitar US$ 20 juta. Dalam permainan itu, rupanya Bank Duta juga mengikutsertakan nasabahnya, antara lain keluarga Nyonya Sehati dan Hedy Sinuraya. Dan Juni lalu, keluarga ini ternyata juga telah rugi pada permainan ini. Akibatnya, deposito mereka yang berjumlah sekitar 106.000 yen ludas, bahkan mereka sampai dinyatakan berutang kepada Bank Duta sebanyak US 1,3 juta (TEMPO, 27 Januari 1990). Para dealer valas di Bank Duta, yang dipimpin Dicky Iskandar Di Nata, agaknya kurang lincah. Setiap transaksi yang dibuka (misalnya beli), biasa, ya langsung ditutup (jual kembali) pada hari yang sama. Itu jika para dealer ingin tidur tenang. Dengan demikian, kemungkinan rugi besar bisa dibendung. Tapi rupanya, para dealer Bank Duta biasa mengendapkan transaksi sampai berhari-hari, bahkan mungkin berbulan-bulan. Padahal dolar, yang diharapkan akan menguat kembali, ternyata dibiarkan melemah oleh pemerintahan Bush. Akibatnya kerugian Bank Duta dalam permainan valas terus berlipat-lipat. Dalam pembicaraan dengan pers, Rabu pekan lalu, Bustanil Arifin mengatakan bahwa kerugian itu sebagian karena permainan dalam valuta asing. Memang, seperti yang ramai diberitakan, ada sejumlah dana Bank Duta yang dititipkan di sebuah bank Kuwait cabang Singapura. Dana tersebut tak bisa dicairkan, berhubung terjadinya krisis di Teluk. Namun, sebuah sumber TEMPO membantah adanya hubungan antara krisis Bank Duta dan krisis di Teluk. Dalam permainan spekulasi valuta asing ini, Bank Duta di bawah pimpinan Dicky Iskandar Di Nata, konon, biasa melakukan transaksi melalui delapan bank, terutama melalui National Bank of Kuwait (NBK) cabang Singapura. Kerugian Bank Duta di NBK saja, konon, sudah mencapai US$ 292 juta mutlak. Sementara itu, permainan Bank Duta di tujuh bank lain, kabarnya, masih bisa dikompensasi dengan keuntungan, tetapi tetap saja ada kerugian sekitar beberapa puluh juta. Konon, total kerugian Bank Duta dalam permainan ini berkisar US$ 310 juta - 332 juta. Itu berarti seluruh modal yang telah disetor -pemegang saham lama, berikut hasil penjualan saham Bank Duta yang bernilai Rp 220 milyar, telah ludas. Anehnya, kerugian yang sudah berjalan sejak Juni tahun lalu itu - ternyata luput dari pengamatan Bank Indonesia. Mengingat -rentang waktu yang cukup panjang, antara kerugian pertama dan meletusnya krisis, maka sulit untuk tidak menduga bahwa pengawasan dari pihak Bank Indonesia juga ternyata tidak efektif. Sebenarnya, sejak kasus keluarga Sinuraya diajukan oleh Bank Duta ke pengadilan pada Oktober 1989, Bank Indonesia sudah bisa mencium adanya ketidakberesan di dalam manajemen Bank Duta. Akuntan publik yang mengaudit Bank Duta sebelum go public pun tidak melaporkan ketidakberesan ini, selain menyebutkan adanya sengketa Bank Duta dengan keluarga Ny. S-ehati dan Hedy Sinuraya tadi. Dari fakta-fakta itu tersirat satu hal: bahwa mungkin saja ada main mata antara manajemen (lama) Bank Duta dan pejabat BI. Sebab, bukankah setiap hari Bank Duta mengirimkan laporan kegiatannya kepada BI? Menurut sumber TEMPO, dari laporan harian itu, mestinya BI bisa mengetahui posisi devisa netto Bank Duta apakah masih pada tingkat kewajaran atau tidak. Menurut ketentuan yang dikeluarkan Gubernur BI, 25 Maret 1989, setiap bank dan LKBB harus melaporkan posisi devisa netto mereka, setiap hari. Jumlah posisi devisa netto yang dipegang -- yakni selisih antara aktiva dan pasiva yang dihitung dalam nilai dolar menurut ketentuan Bl, maksimal hanya senilai 25% dari modal. Jika ketentuan itu dilanggar, maka bank yang bersangkutan dikenakan sanksi dalam penilaian kesehatan. Konon, posisi devisa netto Bank Duta berulang kali melampaui ketentuan itu. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pihak BI tidak melihat adanya ketidakberesan. Barulah dari keterangan Adrianus Mooy sehabis sidang di DPR, Jumat lalu, akhirnya ada yang terungkap. Di situ, Gubernur BI menyatakan bahwa ada kemungkinan Bank Duta tidak dengan sebenarnya membukukan data keuangannya. Atau dalam kata lain, telah membuat pembukuan ganda. Praktek semacam ini, dalam aktivitas perbankan, disebut off balance sheet. Padahal, sejauh yang menyangkut kesehatan bank, ada peraturan yang menetapkan bahwa bank dan lembaga keuangan bukan bank harus mengutamakan penggunaan devisa yang dihimpunnya untuk pembiayaan ekspor nonmigas. Dan kalau Bank Duta sampai "lolos" dari pengamatan BI, sementara likuiditas valuta asingnya terus digerogoti melalui transfer ke NBK di Singapura, rasanya hal ini memang luar biasa. Kelemahan kontr-ol BI tampaknya telah dimanfaatkan benar: Apalagi struktur organisasi puncak Bank Duta tampaknya lebih memudahkan permainan. Posisi Dicky Iskandar Di Nata selaku wakil dirut, yang juga langsung membawahkan transaksi valas, memungkinkan ia membuat pembukuan ganda alias off- balance sheet itu tadi. Transaksi valas yang terjadi, memang, tidak dilaporkan dalam neraca. Sebaliknya, konon, Dicky mengaku telah melaporkan bahwa semua kegiatannya sudah dituangkan dalam sebuah laporan tertulis kepada Direktur Pe-gawasan. Namun, seorang pejabat yang memeriksa Dicky tidak percaya. Ia malah berpendapat bahwa laporan tertulis itu bisa saja dibuat belakangan. Sebegitu jauh, tampaknya, semua kesalahan dibebankan kepada Dicky Iskandar Di Nata. Kalau begitu, mengapa seluruh barisan direksi Bank Duta sampai dipecat? Ada yang mengatakan, kesalahan mereka sebagai tim, terletak pada sikap memelihara borok besar di Bank Duta. Coba, apa mungkin kerugian sedahsyat itu sampai tidak diketahui oleh Direktur Utama Abdulgani dan direksi lainnya? Konon, Direktur Utama memang terlalu melepaskan masalah tadi kepada Wakilnya -- dalam hal ini Dicky -- padahal ia sudah lama menyadari masalah yang ditimbulkan bankir ini. "Tapi, memang sifat Pak Abdulgani selalu ingin menyelesaikan masalah secara intern," kata seorang yang dekat dengan Abdulgani. Masalah yang dialami Bank Duta itu, konon, baru pertengahan bulan lalu dilaporkan kepada Presiden Soeharto selaku ketua dari tiga yayasan (Supersemar, Dharmais, dan Dakab), yang merupakan pemegang saham terbesar Bank Duta. Tanggal 15 Agustus sore, Abdulgani minta pertemuan dengan Komisaris Utama Bustanil Arifin. Tapi Dicky mendatangi Bustanil satu jam lebih dulu, untuk menjelaskan duduk soalnya. Maka terungkaplah krisis gawat Bank Duta. Bustanil Arifin sangat kecewa dan tak bisa tidur malam itu. Paginya ada pidato Presiden di DPR. Di situ ia memberitahu kepada seorang menteri dan juga rekan komisaris lain tentang soal ini. Jam 18, Abdulgani dipanggil Pak Harto. Setelah itu, dengan cepat usaha penyelamatan dilakukan -- termasuk memberhentikan komisaris utama dan para direktur. Tapi, bagaimana lobang ditutup? Sampai sekarang belum diungkapkan. Sebuah sumber mengatakan bahwa ada pinjaman dari Sumitomo Bank yang semula tertunda, sebanyak US$ 5 juta, datang 22 Agustus. Jadi ada blessing in disguise, kata seorang komisaris, bahwa krisis diketahui lebih cepat. Kalau tidak, uang Sumitomo itu bisa ikut amblas. Ada juga kemungkinan lain: menerima suntikan darah baru. Hal itu bisa ditempuh pemegang saham lama dengan melakukan divest-ment, yakni menjual sebagian saham mereka di Bank Duta. Tapi, bisa juga mereka menyuntikkan sendiri modal segar baru ke Bank Duta dengan pinjaman atas nama mereka sendiri. Bagaimana krisis keuangan Bank Duta akhirnya diatasi, agaknya masih perlu menunggu rapat umum pemegang saham luar biasa, yang dijadwalkan Oktober depan. Pada saat itu pula, Komisaris Utama Bustanil Arifin akan memberi pertanggungjawabannya. Sementara ini, para pemegang saham mayoritas ternyata telah mencalonkan Radius Prawiro, yang kini menjabat Menko Ekuin, untuk sementara mengisi kursi lowong komisaris utama. Tapi, pencalonan ini ternyata sempat menjadi pertanyaan di kalangan DPR, dalam acara rapat kerja dengan Gubernur BI Adrianus Mooy. Posisi itu sedemikian peliknya, hingga mengundang berbagai tanda tanya. Misalkan, pemerintah mau mengumumkan suatu kebijaksanaan moneter, apakah itu bisa dijamin tidak bocor duluan ke Bank Duta? Atau jika ada masalah di Bank Duta, apakah Gubernur BI tak akan rikuh memanggil komisaris utama Radius Prawiro? Keadaan jadi lebih pelik karena sampai pekan ini Radius Prawiro belum menyatakan ia bersedia atau tidak. "Saya baru tahu dari koran," katanya. Namun, Radius Prawiro toh sudah bergerak. Dua mantan Menko Ekuin sebelumnya, yakni Ali Wardhana dan Widjojo Nitisastro, oleh Radius kabarnya telah diajak berembuk, untuk mencari jalan keluar dari krisis Bank Duta. Sementara itu, di pihak lain Adrianus Mooy menegaskan, BI tidak pernah campur tangan dalam penunjukan direksi baru Bank Duta itu. "Pemilik Bank Duta-lah yang meminta bantuan manajemen kepada kami, karena, masalahnya memang komplikatif. Kan- hanya meneruskan laporan yang kami terima dari pemilik," kata Mooy di DPR Kamis pekan lalu. Bila dikatakan kasus Bank Duta itu rumit, pendapat ini agaknya tidak berlebihan. Pembentukan tim khusus oleh Kejaksaan Agung lebih memastikan komplikasi itu. Perdagangan valuta asing yang penuh spekulasi itu, misalnya, barangkali tidak akan mudah dikontrol, sebab inilah jual beli secara elektronik dan cepat. Ada juga gagasan memperbaiki kontrol BI yang tidak seperti sekarang. Misalnya dengan mengharuskan bank-bank devisa menggunakan sistem inforrnasi pakai komputer yang bisa dikontak ke bank sentral langsung -- hingga data tiap saat bisa diketahui. Dan sulit melakukan semacam pembukuan ganda, apa yang disebut sebagai off balance sheet. Ada hikmahnya juga bahwa peristiwa ini terjadi pada Bank Duta yang pemilik saham mayoritasnya adalah tiga yayasan terkemuka di Indonesia. Dengan demikian upaya penyelamatannya bisa cepat. Tentu saja masih harus dilihat, sejauh mana masuknya seorang Menko Ekuin, tidak malah menyebabkan managemen -Bank Duta seperti bertakbiat ambil enteng soal. Bila begitu akan terjadi gejala kendala lunak, karena "hukuman" kegagalan manajemen, misalnya terancam bangkrut, dianggap mustahil. Tapi yang jelas publik nampaknya sejauh ini tetap percaya kepada Bank Duta, justru karena pemegang sahamnya dan manajemen barunya. Meskipun harga sahamnya tak nampak cerah, bahkan turun, tetapi tak dikabarkan ada arus penarikan uang dari cabang-cabang. Nampaknya bank ini bernafas panjang. Sukurlah. Max Wangkar, MOebanoe Moera, Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus