Suatu Hari, Dalam Hidup Sebuah Bank Ditengah persaingan dunia perbankan yang semakin ketat dan tajam, adalah satu prestasi bagi para bankir modern bila bisa menghimpun laba 1 juta dolar. Dan bila keuntungan yang diraup mencapai 100 juta dolar, maka hal itu akan dinilai sebagai tindakan kepahlawanan. Tak jelas, adakah prinsip seperti ini juga diyakini oleh para pengelola Bank Duta yang sangat berambisi meraih laba besar, tapi yang di luar dugaan Selasa pekan lalu dinyatakan telah melakukan "kesalahan dalam perdagangan valuta asing". Akibatnya, bukan predikat kepahlawanan yang disandang, tapi pemecatan dan gunjingan yang tak sedap serta sejumlah pertanyaan wartawan yang serba pahit untuk dijawab. Krisis keuangan Bank Duta sebenarnya mengirimkan pukulan beruntun, tidak saja terhadap pengelola dan pemilik serta nasabahnya, tapi juga pada sendi-sendi pasar uang dan kepercayaan masyarakat. Bagi bisnis perbankan, unsur kepercayaan masyarakat jelas mutlak harus ada. Sebab itulah penjelasan terbuka harus diberikan, dan sebab itulah laporan ini ditulis. Amat sukar dicernakan memang, bagaimana bank swasta nasional yang pernah menduduki peringkat kedua itu mendadak huyung, hilang keseimbangan. Lebih memprihatinkan lagi ialah kenyataan bahwa bencana itu terjadi gara-gara sejumlah uang yang sangat besar telah raib, hanya karena dikelola secara sembrono. Dengan penelitian yang mendalam, Bank Sentral berusaha mencari jawaban yang tepat. Sementara itu, akal sehat menyimpulkan bahwa krisis Bank Duta bersumber pada kelemahan manajemen dan kurangnya kendali diri pengambil keputusannya. Keberanian dalam permainan spekulasi jual beli mata uang asing, dunia yang dijuluki "kasino 24 jam" itu, seharusnya disertai kontrol yang kuat. Tak adanya faktor itu barangkali ini disebabkan psikologi "uang mudah", yang umumnya tak terdapat dalam bank yang belum sukses dan harus bersusah-payah mencari dana. Bagaimanapun, kasus Bank Duta bisa dipetik sebagai pelajaran. Pada bagian I dari laporan utama ini, (halaman 80), TEMPO berusaha menyingkap mata rantai sebab-akibat krisis, kronologinya, dan cara terapinya. Maka, di bagian ini juga dibeberkan upaya penyelamatan keuangan dan diturunkannya satu tim manajemen baru. Kehadiran Radius Prawiro di tengah-tengah kemelut juga dicoba dijawab: sejauh mana posisi menteri ini dapat menyelamatkan reputasi Bank Duta, dan tidak menimbulkan conflict of interests, benturan kepentingan Bank Duta dan kepentingan pemerintah. Atau malah bisa timbul kesan bahwa bank ini justru akan kurang dapat dikontrol. Tapi Bank Duta memang unik. Seperti ditunjukkan di halaman 83, Bank Duta dimiliki oleh tiga yayasan yeng menguasai 72-% saham, yang dasarnya tak mencari untung. Untuk lebih jauh mengenal bagaimana permainan valas, yang jadi pangkal kemelut ini terjadi, bisa diikuti di halaman 84. Adapun dua bagian terakhir, mengenai pribadi Bustanil Arifin, bekas komisaris utama Bank Duta, dan Dicky Iskandar Di Nata, wakil direktur utama Bank Duta tokoh sangat berperan dalam bisnis valas itu -- mudah-mudahan bisa menjelaskan para pemegang peran dalam peristiwa krisis Bank Duta ini. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini