SENYUM Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita, minggu kedua awal tahun baru ini, menghapuskan mendung sepanjang tahun sebelumnya: gejala apa yan~ disebut "pelarian modal" ke luar ne~geri tidak nyata terlihat pada statistik kegiatan investasi. Misi-misi investasi ke beberapa negara yang langsung dipimpinnya sendiri, dan Safan Investment Tour ke beberapa provinsi yang digerakkan staf ahlinya, Soebianto, ternyata menghasilkan catatan yang membuatnya lebih enak duduk di kursinya yang terbuat dari bahan buatan dalam negeri. Simak: ada 72 perusahaan asing baru dan 69 perusahaan asing lama yang ingin meminta izin perluasan usaha. Modal yang mereka janjikan akan ditanamkan di sini berjumlah 1,4 milyar dolar. Hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan pemodal nasional, 554, merencanakan investasi sebesar Rp 7,6 trilyun -- sekitar dua setengah kali lipat dari yang tercatat tahun sebelumnya. Itu belum termasuk rencana 174 perusahaan yang ingin memperluas usahanya dengan menambah investasi hampir Rp 3 trilyun. Singkatnya, Ginandjar menyimpulkan, iklim investasi di sini semakin mencocoki para pemodal. Paket-paket deregulasi, masing-masing dua pada tahun 1986 dan 1987 (belum termasuk Pakdes, tentu), dipercaya sebagai undangan yang menjanjikan kenikmatan lebih dari sebelumnya. Bahkan ketentuan baru pun, yang sebenarnya merupakan pembatasan bagi kaum bisnis tertentu, ternyata secara langsung malah membuka peluang bisnis sangat menggairahkan. Misalnya, selama dua puluh tahun, sejak Indonesia membuka pintu buat PMDN/PMA, hanya terdaftar 22 perusahaan pengolahan dan industri rotan (satu di antaranya PMA) dengan rencana investasi sekitar Rp 65 milyar. Begitu ada larangan ekspor rotan mentah, November 1986, dan secara bertahap yang setengah jadi pun akan dilarang, dalam 10 bulan terakhir aplikasi yang masuk dan disetujui BKPM melonjak sampai mencapai 49 (dua di antaranya PMA) dengan rencana investasi hampir Rp 200 milyar. Tahun ini, dengan iklim lebih nyaman yang diciptakan Paket 24 Desember, Ginandjar tentu berharap bisa menggaet pemodal lebih banyak. Sebab, bukankah berbagai deregulasi dan debi~kratisasi sudah menjawab segala macam keluhan dan keinginan para pemodal, khususnya gerutuan panjang pemodal Jepang? Begitulah, barangkali, sudah banyak pemodal Jepang yang tahu bahwa sejumlah keluhan mereka sudah terjawab, melalui saluran perwakilan dagang mereka di sini. Tapi, resminya, sampai pekan lalu mereka belum bisa mendapatkan informasi lengkap mengenai Paket 24 Desember itu dari KBRI di Tokyo. Hal itu dinilai Takashi Kudo, pengurus komite ekonomi Jepang-Indonesia dari Keidanren, sebagai salah satu kelemahan Indonesia dalam mempromosikan iklim investasinya. Menurut Kudo, kebijaksanaankebijaksanaan menyangkut investasi di Muangthai atau Malaysia biasanya sudah bisa diterima di Tokyo sehari setelah diputuskan. Bagaimanapun, yang diketahuinya melalui surat kabar di Tokyo, Takashi Kudo menilai bahwa kebijaksanaan pemerintah 24 Desember itu sangat maju dibandingkan paket-paket deregulasi sebelumnya. "Isinya lebih fleksibel. Banyak perbaikan yang dulu diminta pihak Jepang dikabulkan dalam paket ini," katanya kepada wartawan TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa. Ditambah keunggulan komparatif yang sejak dulu menarik, seperti tenaga kerja yang relatif murah dan bahan baku yang berlimpah, pengusaha yang sudah ada di sini, kata Kudo-san, niscaya lebih kerasan. Bahkan yang kelas menengah ke bawah pun, dengan sedikit yen di kantungnya (tapi sedang bukan main tinggi nilainya), boleh memberanikan diri masuk ke sini. Dengan hanya sekitar 35 juta yen, sekitar Rp 500 juta, mereka sudah bisa bikin pabrik sumpit di sini. Memang, menurut pengurus Keidanren itu, sudah waktunya pemerintah Indonesia mengundang pemodal kelas bawah - mumpung sekarang mereka sedang menderita penyakit "biaya tinggi" di negerinya, akibat nilai yen yang melonjak tak terkendali. Tapi, ya, itulah, mereka perlu waktu satu dua tahun untuk belajar beroperasi di luar negeri. Salah satu,cara untuk mempercepat mereka ke Indonesia, menurut Kudo, BKPM perlu membuka kantor perwakilannya di Jepang -- seperti yang sudah dilakukan Muangthai dan Singapura. Ia juga menganjurkan agar BKPM mau menjadi "mak comblang": mempertemukan pengusaha lokal Indonesia yang pantas dijodohkan dengan pengusaha lokal Jepang. BKPM memang membuka pintu buat mereka. Dulu, hanya mereka yang membawa modal minimal satu juta dolar saja yang diizinkan masuk. "Sekarang, seratus ribu dolar pun boleh, jadi, asal produksinya untuk ekspor," kata Ginandjar. Karena yang kecil-kecil itu pun, katanya, nyatanya bisa menPhasilkan devisa cuku~p besar. Soal-soal lain, tetek bengek yang ada dalam daftar keluhan orang Jepang, toh dapat sambil jalan dibereskan. Misalnya, seperti kata Tuan Kudo, soal voltase listrik yang tidak stabil atau air leden~g yang diragukan dari segi kesehatan. Banyak bidang yang masih menarik bagi pemodal Jepang -- baik dari papan bawah maupun atas. Bidang perdagangan sudah tentu sangat menarik, kata Kudo, sejak diputuskan bahwa sogo-shosha dengan syarat tertentu - bisa mengumpulkan dagangan di sini dan menjualnya ke mana dia suka. Bagaimana dengan bidang industri dengan teknologi tinggi? Christianto Wibisono, dari Pusat Data Bisnis Indonesia. melihat bahwa tahun silam ada 24 anak perusahaan Jepang di wilayah Asia yang menjual sebagian produknya ke perusahaan induknya di Jepang. Di antara perusahaan-perusahaan itu ternyata hanya satu perusahaan dari Indonesia, yakni pabrik shock breaker sepeda motor Showa Indonesia Manufacturing. Satu bukti mengenai keterbatasan bidang ~investasi di sini. Chris juga tak yakin bahwa kebijaksanaan pemerintah bisa, misalnya, mengembangkan industri elektronik lebih jauh. Buktinya, dua pabrik semikonduktor, yang merupakan dasar industri elektronik yang sebenarnya, yakni Fairchild dan Nusantara, sudah memindahkan pabriknya ke Malaysia. Tak mudah mengundang mereka kembali untuk mulai dari baru lagi. Bukti yang lain adalah Philips. Merk elektronik dari Belanda itu kembali ke Indonesia, tahun silam, tanpa kehendak membangun pabrik baru. Ia hanya sekadar menggunakan kelebihan kapasitas pabrik perakitan PT Hartono Istana Electronic dari grup Djarum Kudus. Investasi baru di bidang industri manufaktur, menurut Christianto, juga jangan terlalu diharapkan. Investor asing, katanya, juga bakal kesulitan menemukan mitra lokal untuk berusaha di bidang industri teknologi tinggi. "Yang punya bidang itu 'kan hanya Pak Habibie," ujar Chris bergurau. Tapi untuk urusan yang tidak tinggi-tinggi tentu cukup banyak peluang. Kamaludin Bachir, dari Grup Ika Muda, pendatang baru di bidang industri yang berorientasi ekspor itu, juga berpendapat demikian. "Coba," katanya, "bahan baku untuk saus tomat saja masih diimpor dari Brasil." Kalau Filipina bisa ekspor pisang, katanya lagi, "Pak Ginandjar bertanya kepada saya: mengapa kita tidak bisa?" Dari basisnya di Pekalongan, Ika Muda memang tidak mengekspor pisang atau tomat, tapi ud~ang beku dari tambak dan pabrik pembekuannya sendiri. Ekspor perdana dari industri pengolahan rotannya juga tinggal tunggu waktu saja. Begitu juga untuk hasil perkebunan buah-buahannya. "Semuanya kecil-kecil," kata Kamaludin, yang berangkat dari mengusahakan batik dan membangun rumah murah, "Dengan nilai investasi relatif kecil: sekitar Rp 10 milyar." Sebagian modalnya itu akan dibiayai dengan kredit bank. Suku bunga bank yang cukup tinggi, dewasa ml sekitar di atas 20% per tahun, tentu saja jadi masalah. Tapi, menurut Kamaludin, cukup banyak peluang yang masih dapat memberikan keuntungan cukup besar untuk menutup bunga yang tinggi itu. Modal untuk tambak udang yang Rp 5 milyar untuk 100 hektar, misalnya, bisa kembali dalam tempo setahun produksi komersial. Begitu juga untuk industri pengolahan rotannya yan~g bernilai sekitar sejuta dolar. "Jadi, iklim bisnis tahun ini sebenarnya masih cukup cerah bagi pengusaha," kata orang Pekalongan ini. PT Mantrust, meski alergi terhadap udang, melihat lautan di nusantara ini sebagai peluang yang luas. Bos Mantrust, Tegoeh Soetantyo, pengusaha susu dan sapl perah serta asparagus di dataran tinggi Dieng itu, tahun ini rencananya akan menangkap ikan dengan sistem PIR. Peluang yang dilihatnya itu bukan lagi kecilan. Untuk membeli 500 kapal penangkap ikan, yang harganya Rp 80 juta per unit, Mantrust harus investasi sekitar Rp 50 milyar. Kapal buatan Jepang yang dilengkapi alat penangkap ikan dan alat pendingin itu akan dioperasikan oleh 12 nelavan. Setiap kapal diperhitungkan setiap han mampu mengeduk Ikan tuna sebanyak dua ton. Ikan hasil tangkapan akan ditampung PT Bali Raya yang sudah 15 tahun beroperasi sebagai pengolah dan eksportir ikan ke Jepang. Usaha PIR ala Mantrust ini rencananya akan dimulai Februari mendatang. Jika rencana itu jadi, Mantrust akan merupakan perusahaan perikanan terbesar yang memberikan kesempatan kerja minimal kepada 6.000 nelayan. Penciptaan kesempatan kerja itulah salah satu faktor penting yang dimaksudkan pemerintah mendoron~ investasi -- di samping mengupayakan menambal anggaran belanja dengan dolar. Bukan industri mercu suar yang tidak berdampak langsung bagi masyarakat. Max Wangkar, Sidartha Pratidina, Tri Budianto Soekarno (Jakarta) dan Bandelan Amaruddin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini