Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Nilai kurs rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada Senin siang, 7 April 2025, rupiah sempat menyentuh level Rp17.261 per dolar AS menurut data Refinitiv. Ini merupakan posisi terendah dalam sejarah nilai tukar rupiah. Sementara Wise pada Selasa mencatat angka Rp16.892,50 pada pukul 15.40 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kondisi rupiah yang limbung itu membuat para ekonom angkat bicara. Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, menyebutkan pelemahan rupiah saat ini bukanlah kejutan tunggal, melainkan akumulasi dari tekanan eksternal dan internal. Secara eksternal, penguatan dolar AS akibat kenaikan suku bunga acuan The Fed (Federal Reserve) yang menjadi pemicu utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Listya, para investor global kini cenderung memindahkan dananya ke aset berdenominasi dolar yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi. Di sisi lain, faktor domestik seperti defisit neraca perdagangan, fluktuasi cadangan devisa, hingga instabilitas politik memperburuk tekanan pada mata uang Garuda. “Fluktuasi boleh terjadi, tetapi membiarkannya berubah menjadi krisis adalah pilihan yang bisa dan harus dicegah,” ujarnya.
Tarif Trump Picu Tekanan Tambahan
Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump kembali memberlakukan tarif impor terhadap berbagai produk asing. Langkah ini berdampak signifikan terhadap negara berkembang, termasuk Indonesia.
Analis Forex, Ibrahim Assuabi, menjelaskan bahwa kebijakan tarif ini memperkuat dolar AS. “Data ketenagakerjaan AS yang lebih baik dari ekspektasi, serta pernyataan The Fed yang menunda penurunan suku bunga, membuat indeks dolar menguat signifikan,” katanya lewat pernyataan resmi, 6 April 2025.
Ibrahim menyebutkan, ekspektasi penurunan suku bunga sebanyak tiga kali tahun ini menjadi tidak realistis. “Kemungkinan besar tinggal mimpi,” ucapnya. Kenaikan suku bunga di AS yang tidak diimbangi kebijakan serupa dari Bank Indonesia, akan memicu arus modal keluar dan menekan kurs rupiah.
Bahaya Terdekat: Inflasi dan Krisis Kepercayaan
Listya Endang menegaskan bahwa depresiasi rupiah dapat membawa efek domino. “Volatilitas tinggi menyebabkan pelaku usaha sulit menetapkan harga, investor menahan diri, dan beban utang luar negeri membengkak,” ujar dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini.
Dampaknya tidak hanya ekonomi, tapi juga persepsi publik terhadap kredibilitas kebijakan moneter. “Kondisi ini juga bisa memperburuk persepsi publik terhadap kebijakan moneter, terlebih bila tidak ada komunikasi yang baik dari Bank Indonesia atau Kementerian Keuangan,” kata Listya.
Listya Endang menjelaskan fenomena depresiasi rupiah yang tajam dalam beberapa hari terakhir dapat dijelaskan melalui teori Interest Rate Parity (IRP), yang menyatakan bahwa perbedaan tingkat suku bunga antara dua negara akan menentukan arus modal. Ketika suku bunga The Fed naik sementara suku bunga domestik tetap, maka investor akan menarik modalnya keluar dari pasar domestik untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi, memicu permintaan dolar dan menekan rupiah.
Ancaman pada Industri dan Dunia Usaha
Dampak depresiasi rupiah tak berhenti di sektor keuangan. Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI, Teuku Riefky, memperingatkan bahwa industri dalam negeri akan terjepit. “Pasar ekspor terhambat oleh tarif, sementara biaya produksi meningkat karena ketergantungan pada impor,” katanya.
Ia memprediksi bahwa ekspor Indonesia ke AS akan menurun, sementara dari sisi impor, Indonesia bisa dibanjiri produk murah dari Cina. “Ini menekan industri dalam negeri, meski konsumen sedikit diuntungkan,” ujar Riefky.
Sektor Teknologi Terancam
Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menambahkan bahwa sektor telekomunikasi juga tak luput dari risiko. “Banyak peralatan berasal dari luar negeri. Jika kurs terus melemah, proyek-proyek bisa mangkrak karena biaya membengkak,” ujar Heru.
Heru menyebut angka psikologis kurs dollar AS Rp17.000 sebagai batas yang perlu diwaspadai. Jika menembus Rp20.000, katanya, Indonesia berpotensi menghadapi krisis sosial hingga politik.
"Ini semua menjadi alarm bagi kita potensi krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis politik yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Harus diwaspadai. Pemerintah harus memperbaiki komunikasi dan tata kelola pemerintahan," Tutup Heru.
Linda Lestari, Eka Yudha dan Riani Sanusi Putri turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Nilai Tukar Rupiah Tembus Rp 17 Ribu, Ekonom: Alarm Serius Bagi Otoritas Moneter dan Fiskal