Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Vaksinasi Berbayar di Tengah Wabah

Pemerintah membuka peluang swasta menggaruk pasar vaksinasi dosis ketiga atau vaksin booster berbayar mulai 2022. Melanggar Undang-Undang tentang Wabah.

25 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas memperlihatkan kotak berisi vaksin Covid-19 Sinopharm di ruang pendingin instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung, 4 Agustus 2021. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kabar baik buat Bio Farma dan stok Vaksinasi Gotong Royong.

  • Pemerintah membuka skenario vaksinasi penguat berbayar mulai 2022.

  • Epidemiolog menentang vaksinasi penguat berbayar di tengah wabah.

PT Bio Farma (Persero) riang gembira sekaligus berhati-hati menyambut rencana vaksinasi dosis Covid-19 secara mandiri atau berbayar pada 2022. Induk holding badan usaha milik negara sektor farmasi itu berharap kebijakan pemerintah membuka peluang swasta untuk ikut menggelar pemberian vaksin booster tahun depan bisa menjadi jalan keluar bagi jutaan stok vaksin Sinopharm milik mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada 4,093 juta dosis Sinopharm yang kini sedang menunggu pembeli di gudang-gudang pendingin milik Bio Farma dan Kimia Farma, anggota holding yang menjadi pelaksana impor dan pelaksana Vaksinasi Gotong Royong. Jutaan dosis vaksin itu semestinya diserap oleh badan usaha di bawah koordinasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ketika program Vaksinasi Gotong Royong berbayar dimulai pada Mei 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apesnya, ketika vaksin baru datang dari luar negeri, vaksinasi gratis oleh pemerintah sudah kadung masif. Perusahaan-perusahaan yang tadinya hendak mengikutkan pekerjanya dalam Vaksinasi Gotong Royong beralih ke vaksin gratis pemerintah. “Banyak karyawan perusahaan secara tidak langsung mendapat vaksin pemerintah, sehingga kami berkompetisinya dengan pemerintah,” kata Corporate Secretary PT Bio Farma (Persero) Bambang Heriyanto pada Rabu, 22 Desember lalu.

Petugas memasukan kotak berisi vaksin Covid-19 Sinopharm ke kotak pendingin di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung, 4 Agustus 2021. TEMPO/Prima Mulia

Kini, ketika pemerintah berencana membuka pintu buat swasta dalam vaksinasi berbayar kepada warga mampu—yakni non-penerima bantuan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan—Bambang berharap kebijakan itu bisa menyelamatkan 4 juta dosis Sinopharm milik mereka. Sebelumnya, Kimia Farma mengimpor 7,5 juta dosis vaksin Sinopharm dalam bentuk siap suntik. Langkah ini adalah komitmen pertama dari total rencana impor sampai 15 juta dosis.

Bambang berharap kebijakan vaksinasi berbayar dapat menyelamatkan stok mereka. “Dari 4 juta stok tersisa, hitung-hitungan sederhananya, 3,5 juta sudah ada komitmen dari pasar booster,” ujarnya.

Gara-gara kegagalan Vaksinasi Gotong Royong tadi pulalah Bio Farma dan Kimia Farma lebih berhati-hati dengan program vaksinasi penguat alias booster berbayar. BUMN farmasi ini tidak mau jatuh ke lubang yang sama. “Jangan sampai kami sudah beli stok, malah over. Jadi kami akan menunggu dulu,” ucap Bambang. “Kan, kami belum tahu animo dari masyarakat. Ada yang semangat, ada juga yang kurang semangat.”

Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito, Kimia Farma dan Bio Farma sudah mengajukan vaksin Sinopharm sebagai vaksin penguat homologous. Artinya, vaksin penguat Sinopharm hanya bisa digunakan bagi orang yang pada suntikan pertama dan kedua juga mendapat Sinopharm. “Dalam waktu secepatnya akan keluar panduan pelaksanaan uji klinisnya (PPUK),” kata Penny dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, yang salah satunya membidangi kesehatan, pada Rabu, 14 Desember lalu.

Jika PPUK Sinopharm sudah terbit, uji klinis Sinopharm sebagai vaksin penguat homologous akan digelar di fasilitas Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hitung-hitungan Penny, uji klinis sampai keluarnya Otorisasi Penggunaan Darurat (EUA) dari BPOM perlu waktu hingga April 2022.

•••

DALAM rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan kebijakan untuk membedakan perlakuan pada rencana vaksinasi dosis ketiga merupakan hasil dari keputusan rapat terbatas kabinet. Rapat terbatas memutuskan hanya warga yang tercatat sebagai penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang akan mendapat vaksin penguat gratis. “Itu satu-satunya data yang bisa membuktikan memang dia harus dibiayai oleh negara,” ujar Budi dalam rapat dengan DPR, Selasa, 14 Desember lalu.

Pemerintah juga akan menanggung biaya vaksinasi buat masyarakat lanjut usia non-PBI. Pertimbangannya, kelompok usia inilah yang paling rentan dan berisiko tinggi jika terkena Covid-19. Ada 21,5 juta jiwa lansia dan 61,6 juta jiwa peserta BPJS Kesehatan dengan status PBI non-lansia yang akan mendapat vaksin penguat gratisan. Mereka membutuhkan sekitar 92,4 juta dosis vaksin, termasuk dosis cadangan sebanyak 10 persen dari kebutuhan. “Anggaran yang disiapkan Rp 10 triliun,” kata Budi. “Kalau kurang bisa ditambah.”

Namun Budi menghitung kebutuhan dananya bisa kurang dari itu. Ada banyak tawaran dari negara lain yang ingin menyumbangkan stok vaksin mereka ke Indonesia. Taksiran Budi, sebanyak 50-100 juta dosis bisa diperoleh gratis dari sumbangan.

Adapun perusahaan farmasi seperti Bio Farma dan Kimia Farma, hingga perusahaan-perusahaan swasta lain, akan berebut pasar di 125,2 juta orang calon penerima vaksin penguat secara berbayar. Rinciannya, sebanyak 22,3 juta jiwa bakal dibiayai oleh pemerintah daerah. Sedangkan 102,9 juta jiwa lainnya harus bayar sendiri—jika mereka mau.

Sebanyak 125,2 juta jiwa itu akan membutuhkan 139 juta dosis vaksin. “Perusahaan farmasi bisa impor sehingga terjadi keseimbangan pasar dan pilihan masyarakat akan lebih banyak,” ujar Budi menjelaskan mekanisme vaksin penguat berbayar.

Agar harga vaksin berbayar ini tidak sewenang-wenang, Budi berjanji harga batas atasnya akan diatur oleh pemerintah lewat peraturan Menteri Kesehatan. “Akan kami jaga supaya harga vaksin berbayar tidak berubah-ubah. Mungkin bisa berlaku dalam setahun,” tuturnya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 24 November 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Sementara vaksin penguat pemerintah menggunakan vaksin yang sudah pernah dipakai pada suntikan pertama dan kedua, seperti Sinovac, Moderna, AstraZeneca, dan Pfizer, vaksin penguat berbayar boleh menggunakan vaksin lain. Asalkan, kata Budi, “Kalau ada yang lain mau memasukkan ke sini, dia harus uji klinis dulu.” Uji klinis dilakukan sebagai vaksin primer sekaligus penguat. Vaksin itu juga baru bisa digunakan jika telah mendapat otorisasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Memang ada vaksin-vaksin lain yang sebetulnya telah standby di Indonesia. Salah satunya Sputnik V, vaksin bikinan Rusia di bawah bendera Russia Direct Investment Fund (RDIF). RDIF telah menunjuk PT Pratapa Nirmala (Fahrenheit), sebuah perusahaan farmasi, sebagai prinsipalnya di Indonesia.

Sputnik V telah mendapat otorisasi penggunaan darurat dari BPOM sebagai vaksin primer. Namun, sampai hari ini, ia tidak masuk daftar vaksin yang digunakan oleh pemerintah ataupun Vaksinasi Gotong Royong. Managing Director Fahrenheit Peter Sutandar tak merespons ketika dihubungi Tempo sejak Selasa, 21 Desember lalu, perihal persiapan menyambut vaksinasi penguat berbayar.

•••

BEBERAPA pekan menjelang pergantian tahun dan pelaksanaan vaksinasi penguat, sejumlah rumah sakit swasta mengaku belum dipanggil Kementerian Kesehatan. Menurut Chief Operating Officer Primaya Hospital Group Leona A. Karnali, biasanya jika ada kebijakan yang akan melibatkan rumah sakit swasta, mereka selalu dipanggil. “Kami baru dapat informasi dari pemberitaan. Belum ada sosialisasi resmi,” ujar Leona pada Kamis, 23 Desember lalu.

Grup perusahaan rumah sakit yang dulu bernama Awal Bros—kini sebagian sahamnya dimiliki oleh Saratoga Investama, perusahaan investasi milik Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno—itu menjadi salah satu pelaksana Vaksinasi Gotong Royong. Sejak Mei 2021, rumah sakit itu baru menyuntikkan 200 ribu dosis vaksin Sinopharm kepada pelanggannya. Pada setiap suntikan, Primaya membebankan biaya pelayanan sebesar Rp 117.910 kepada perusahaan. Adapun soal vaksin, itu adalah urusan perusahaan dengan Bio Farma dan Kimia Farma.

Leona mengakui penetrasi Vaksinasi Gotong Royong makin lambat setelah vaksinasi pemerintah berjalan masif. Vaksinasi yang digagas pemerintah dan Kadin ini justru banyak digelar di luar Jakarta, yang penetrasi vaksinasi pemerintahnya masih rendah. “Hanya perusahaan-perusahaan kuat dan karyawannya banyak yang mau Vaksinasi Gotong Royong,” kata Leona. “Seperti pertambangan, karena lebih repot kalau ada karyawannya yang terpapar.”

Salah satu perusahaan yang dilayani Vaksinasi Gotong Royong oleh Primaya adalah PT Vale Indonesia, perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Blok Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. “Kebetulan kami juga pengelola rumah sakit mereka,” ujar Leona.

Kendati siap menggelar vaksinasi penguat berbayar, menurut Leona, pemerintah harus menimbang banyak hal lebih dulu. Salah satunya, sebelum semua populasi—minimal 70 persen sesuai dengan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO)—mendapat vaksin suntikan lengkap, tidak semestinya vaksinasi penguat mandiri alias berbayar dimulai. “Saat ini vaksinasi dosis pertama sudah 70 persen. Kalau misal sudah 70 persen pada dosis kedua, dilihat dulu, apakah konsisten mereda?” tutur Leona.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui pemerintah sebetulnya berencana menyuntikkan vaksin penguat jika 70 persen populasi telah mendapat suntikan vaksin dosis lengkap. Tapi varian baru penyebab Covid-19, Omicron, yang mulai menyebar di dunia memaksa pemerintah mempercepat pelaksanaan suntikan vaksin penguat.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menyebut kebijakan pemerintah tidak menanggung vaksin penguat bagi masyarakat mampu—dengan indikator bukan PBI BPJS Kesehatan—sebagai langkah yang tidak adil dan melanggar undang-undang.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah Pasal 6 ayat 2, vaksinasi termasuk tanggung jawab pemerintah. Dan undang-undang itu belum dicabut. “Kalau kondisinya masih wabah seperti sekarang, seharusnya jadi tanggung jawab pemerintah,” ujar Tri saat dihubungi pada Jumat, 24 Desember lalu. “Ini masih dalam masa wabah. WHO belum mencabut. Enggak ada dasar pemerintah mencabut status wabah.”

Kebijakan menggratiskan vaksin selama wabah ini pula, termasuk vaksin booster, yang ditempuh oleh negara seperti Amerika Serikat dan Australia. Mereka punya undang-undang tentang wabah, persis seperti Indonesia. Menurut Tri, pemerintah tidak boleh beralasan tak punya anggaran untuk menanggung biaya semua vaksin penguat secara gratis. “Pemerintah jangan pura-pura miskin, jangan ajarkan begitu. Kami rela negara berutang tapi buat vaksinasi gratis,” kata Tri. “Jangan malah buat belanja yang lain.”

AISHA SHAIDRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus