SITUASINYA sangat suram. Pemerintah amat pesimis dan
memperkirakan impor berasnya akan mencapai 2,2 juta ton tahun
ini, lebih kecil dari 2,6 juta ton yang diimpor setahun
sebelumnya, namun masih merupakan jumlah yang cukup
mengkhawatirkan. Di Amsterdam, beberapa bulan lalu, IGGI dan
Bank Dunia memperingatkan Indonesia mungkin akan terpaksa
menggunakan sebagian besar devisanya untuk impor makanan. Di
depan sidang ini, Widjojo Nitisastro terpaksa berjanji segala
usaha akan dilakukan Indonesia untuk meningkatkan produksi
beras.
Keadaan ternyata cepat berobah. Sesudah ditimpa kemarau panjang
pada 1976 dan 1977, tahun ini kemarau hampir tak terasa. Di
bulan April sampai September, yang mestinya kemarau, hujan
ternyata masih deras, dan beberapa daerah malah kebanjiran.
Yogyakarta, yang biasanya rata-rata mendapat 77 mm curah hujan,
di bulan Juni mendapat 283 mm. Dan jutaan wereng yang ditakuti
petani itu lenyap. Ini menyebabkan produksi padi di Indonesia
mulai bangkit kembali.
Menjaga Momentum
Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro mengungkapkan
baru-baru ini bahwa produksi beras tahun ini diperkirakan naik
10%, yang berarti produksi beras akan mencapai 16,7 juta ton,
bertambah 1,5 jura ton dari produksi tahun lalu. Pertambahan 1,5
juta ton ini penting artinya bagi anggaran devisa Indonesia,
karena dengan begitu Bulog tak perlu mengimpor 2,2 juta ton
seperti direncanakan semula. Berdasarkan harga beras sekarang di
pasaran internasional ini berarti penghematan devisa sebanyak
US$ 300 juta.
Sisa impor beras tahun anggaran lalu masih 460 ribu ton, dan
Kepala Bulog Bustanil Arifin mengungkapkan baru-baru ini bahwa
impor tahun ini akan hanya 750 ribu ton, hingga jumlah beras
impor seluruhnya untuk tahun anggaran sekarang akan berjumlah
1,2 juta ton, kurang separuh dari yang diimpor tahun lalu. Impor
ini termasuk 45.000 ton dari Taiwan dan Hongkong dan 50.000 ton
dari Korea Utara. Sebagian besar impor masih berasal dari PL-480
(AS), disamping juga berasal dari negara pensuplai tradisionil
Indonesia, seperti Burma dan Korea Selatan.
Dengan baiknya panen tahun ini, maka pembelian beras Bulog dari
dalam negeri dengan mudah bisa dilakukan. Sampai Oktober,
pembelian dalam negeri sudah mencapai 800.000 ton, dua kali
tahun lalu. Kini stok beras Bulog nampaknya kuat dengan 1,6 juta
ton beras, dan 330 gudang beras milik Bulog tak ada yang kosong.
Sekalipun pembelian beras dalam negeri cukup berhasil tapi
pemerintah nampaknya belum gembira dengan peranan KUD. Banyaknya
hutang yang belum bisa dibayar KUD, dan kurang trampilnya
pimpinan KUD menyebabkan peranan KUD terdesak oleh pedagang
beras swasta lainnya. Dari 800.000 ton beras yang berhasil
dibeli Bulog, lebih dari dua per tiga berasal dari tangan
non-KUD tahun lalu jumlah yang dibeli dari KUD dan non-KUD
boleh dibilang sama. Ini menunjukkan masih minimnya peranan
koperasi pada kegiatan utama ekonomi desa.
Untuk menjaga momentum, Pemerintah baru-baru ini memutuskan
menaik kan harga pembelian gabah keringnya pada tingkat KUD
dengan Rp 10 sekilo menjadi Rp 80 sekilo. Ini cukup besar.
Kenaikan tahun lalu hanya Rp 4 sekilo. Dari sini diharapkan
petani akan bergairah lagi meningkatkan produksinya, karena
adanya kesempatan untuk mening katkan penghasilannya. Yang perlu
dijaga adalah sejauh mana kenaikan harga gabah ini akan
berpengaruh kepada harga beras di kota. Nampaknya pemerintah
yakin bahwa sekalipun harga pembelian gabah kering dinaikkan
tapi dengan stok yang kuat ditangan Bulog, harga beras akan
masih bisa dikendalikan.
Sesudah lega dengan panen tahun ini, maka pertanyaan selanjutnya
adalah Apa yang terjadi lima tahun mendatang? Dalam jangka
waktu tersebut, gambaran tentang beras nampaknya masih tidak
menggembirakan. Konsumsi beras Indonesia naik dengan 4% setiap
tahun, dan Bank Dunia memperkirakan Indonesia hanya mampu
meningkatkan produksinya dengan 3,5% setiap tahun. Proyeksi
Departemen Pertanian malahan menunjukkan pada 1983 nanti disaat
Pelita III berakhir, Indonesia akan mengalami defisit beras 3
juta ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini