PERLU ada penataran bahasa untuk wartawan. Ahli bahasa perlu
menggalakkan kerjasamanya dengan wartawan. Semua itu anjuran
Kongres Bahasa Indonesia III yang baru saja berakhir.
Bahwa Kongres itu secara khusus menyebut wartawan yang perlu
ditatar, kaum profesi ini diketahui menyambut baik. Tapi apakah
itu karena tingkat pengetahuannya berbahasa Indonesia demikian
rendah Rendah atau tidak, persoalannya ialah suara di Kongres
itu umumnya mengakui bahwa peranan pers tidak bisa diabaikan
untuk pembinaan dan pengembangan bahasa nasional selanjutnya.
Bung Hatta, umpamanya, mengingatkan kembali bagaimana nama
Indonesia dipropagandakan di zaman Hindia Belanda. Ternyata
propaganda itu berhasil setelah pers pun ikut, katanya,
"mengambil alih nama itu dan terus-menerus memakainya."
Pers Indonesia kontemporer umumnya diakui pula sudah banyak
mempropagandakan -- juga berhasil -- istilah dan perkataan baru
yang memperkaya kamus bahsa nasional. Namun seringkali pula pers
dikritik karena telah terus-menerus memakai segala macam
perkataan, sebutlah issue, secara keliru. Pers pada mulanya cuma
mengambil alih ucapan orang, entah pejabat atau bukan, yang
mengutip perkataan asing.
Selain soal perkataan asing, pers juga sudah sering dikecam
karena mengabaikan tatabahasa, mengacaukan kaidah bahasa dan
sebagainya. Maka lahirlah ejekan "bahasa koran" yang akhirnya
pantas ada anjuran Kongres Bahasa Indonesia III supaya diadakan
penataran bahasa untuk wartawan.
Kontan segera sesudah Kongres itu, di Jakarta diselenggarakan
Karya Latihan Wartawan ke-17. Berbeda dari sebelumnya, sekali
ini KLW itu (6-10 Nopember) menitik-beratkan pada soal bahasa.
Penyelenggaranya, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat,
bersama sponsornya, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) dan
Eriedrich Ebert Stiftung (suatu yayasan Jerman), sengaja memakai
tema "Bahasa Jurnalistik dan Pewartaan. "Ahli bahasa seperti Yus
Badudu dan Benny H. Hoed berbicara di situ.
Dr Badudu yang dikenal sebagai pembawa acara mingguan TVRI
tentang pembinaan bahasa Indonesia meninggalkan pesan supaya
wartawan turut bertanggungjawab dalam soal bahasa. Bila wartawan
menggunakan bahasa yang salah, karanya, akan buruk pergaruhnya
bagi masyarakat.
Karena bekerja di bidang tulis-menulis, wartawan tentu memandang
bahasa sebagai suatu alat utamanya. Justru karena itu pula,
demikian Dr Badudu wartawan perlu berusaha membina alat
utamanya seperti petani yang selalu mempertajam alat cangkul dan
parangnya.
EYD Mana?
Direkrur KLW, Rosihan Anwar, yang juga sesepuh di PWI mengatakan
pada TEMPO bahwa memang banyak orang muda kira yang masuk
menjadi wartawan merasa bahasa Indonesia tak perlu dipelajari
betul. Terbukti, katanya lagi, hampir semua peserta KLW ini
belum pernah membaca buku pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan. EYD ini berlaku mulai 1972 yang bertujuan
mendekatkan kedua bahasa Indonesia dan Malaysia. guku pedomannya
dicetak dalam jumlah terbatas -- sampai 50.000 saja. Juga banyak
pejabat pemerintah, bukan wartawan saja, yang belum pernah
melihatnya.
Kongres Bahasa terakhir ini tampalinya menyadari bahwa EYD itu
masih belum mantap di masyarakat. Maka ada rencana untuk
menugaskan Balai Pustaka supaya mencetaknya lebih banyak dan
dijual dengan harga murah.
Perobahan ejaan, walaupun sudah 6 tahun, masih belum dipatuhi
secara konsisten oleh media kita. Contoh gampang ke dan di yang
menunjukkan tempat, umparnanya, masih saja tercetak seperti
sebelum EYD. Bahkan Kompas, koran yang dikenal baik bahasanya,
masih membuat kesalahan sesekali. Kenapa? Adakalanya kekeliruan
bukan terjadi meja redaksi, melainkan di percetakan. Dalam hal
ini, KLW menasehatkan, para korektor perlu diminta supaya aktif
memperbaikinya. Sebagian penerbitan, termasuk TEMPO ini, memang
sudah sering tertolong oleh tangan korektornya dalam berpedoman
pada EYD itu.
Juga masih banyak dijumpai penyimpangan dari EYD dalam kata
berulang seperti benar2. Semustinya ditulis benar-benar. Dan
bentuk jamak seperti bahasa2. Seharusnya ditulis bahasa-bahasa.
Dalam hal ini banyak redaksi penerbitan, termasuk Warta Berita
Antara, mengetahui ketentuan EYD tapi sengaja melanggarnya
karena pertimbangan tempat dan mau cepat. Mereka seakan-akan
meminta maaf atas kesalahan yang disengaja ini.
Seringkali pula kata majemuk dan bentul. jamak dipakai secara
berlebihan, walaupun ditulis sesuai dengan EYD. Ahli bahasa bisa
memaafkan kalau suatu bentuk jamak tidak selalu ditulis
berulang, bahkan menganjurkan kita supaya memakai pertimbangan.
Cukup dengan karya tulis, umpamanya, bukan karya-karya tulis.
Atau banyak desa, bukan banak desa-desa. Coba lihat kalimat ini
Demikian pula pandangan-pandangan dari masyarakat setempat juga
akan lebih mudah tertampung dalam suratkabar daerah daripada di
suratkabar-suratkabar Jakarta. Di jumpai dalam Pers Indonesia
(Oktober 1978), kalimat itu jelas merupakan suatu kasus editing.
Berlebihan jamaknya?
Bahasa Jurnalistik dan Pewarraan menuntut penghematan kata. Jika
bisa jelas dengan 17 kata, mengapa harus dipakai 20. Lebih hemat
pemakaian kata-katanya, lebih baik. Wartawan harus membuang
redundancy, hal yang berlebihan. Rosihan Anwar untuk itu
memperkenalkan istilah kata mubazir dalam KLW yang dipimpinnya.
Benny H. Hoed, ahli bahasa dari Universitas Indonesia yang
sedang menyusun disertasi untuk gelar doktor, tertarik pada
istilah ciptaan Rosihan iru. Dalam beberapa kertas kerjanya,
Hoed mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan mubazir itu.
Dia mengutip Carl Warren ". . . kata-kata yang tercetak dalam
sebuah suratkabar adalah barang berharga yang dipamerkan dalam
etalase yang mahal ....
"Pendek, dan juga sederhana, itu yang kita kehendaki tapi jangan
sampai mengorbankan kejelasan."
Bahasa Elite
Kata Mubazir yang perlu dihilangkan, menurut kacamata Rosihan,
antara lain adalah (kata kerja kopula), elab (pengunjuk masa
lampau), untuk (sebagai terjemahan to dalam bahasa Inggeris),
dari (sebagai terjemahan dalam hubungan milik), bahwa (sebagai
kata sambung), dan bentuk jamak yang tak perlu diulang. Hoed
tampaknya tidak begitu bertikai dengan pendapat di atas. Sarjana
UI ini malah menunjukkan lebih banyak lagi contoh kata yang
mungkin bisa dibuang, antara lain pada, oleh, yang, hari,
tanggal, dan bulan yang sering dijumpai dalam Bahasa Berita.
Tapi dia mengaku pula bahwa "pendapat kita bisa berbeda-beda"
tentang sesuatu kata boleh dianggap mubazir atau tidak. Dia
mengemukakan masalah akseptabilitas. Persoalan ialah wartawan
adakalanya mengabaikan soal akseptabilitas dalam mengusahakan
penghematan kata, demikian Hoed.
Jika ingin terlalu berhemat, laporan wartawan bisa juga menjadi
kabur dan menyalahi kaidah bahasa. Contoh ini dijumpai dalam
satu headline, berita utama di halaman depan Pos Kota (7
Nopember) Pemeriksaan langsung yang dilakukan Majelis Hakirm
pimpinan Haji Sumadiono SH, dalam perkara Pluit yang
mengakibatkan kerugian negara R 22,- milyard.
Koran itu jelas mengalami kesulitan editing. Kalimatnya tidak
jalan." Mungkin redaksinya sedang tergesa-gesa waktu menurunkan
berita itu. Tapi, dengan meminjam ucapan Dr Badudu, ia akan
membawa pengaruh buruk bagi masyarakat.
Sofyan Lubis, redaktur pelaksana Pos Kota, mengatakan pada TEMPO
bahwa korannya memakai "bahasa sehari-hari rakyat Jakarta."
Namun ada usahanya mendidik para wartawannya untuk memakai
bahasa yang benar dan baik. Penyempurnaan bahasa, kata Lubis,
"dilakukan dengan pelan-pelan. Dibanding tiga tahun lalu,
sekarang agak tertolong." Lubis dan rekan-rekannya bangga bahwa
pembaca mereka golongan bawah. "Tukang becak baca koran karena
Pos Kota," kata mereka.
Soedjatmoko, penasehat ahli Bappenas dan bekas diplomat,
mengatakan di depan Kongres sahasa Indonesia III " .... kurun
zaman 50 tahun yang pertama ini telah menunjukkan keberhasilan
bahasa Indonesia terutama sebagai bahasa elite." Tanpa menyebut
tukang becak, pada hakekatnya Soedjatmoko mengemukakan persoalan
bagaimana bahasa Indonesia yang sebaiknya dipakai koran seperti
Pos Kota.
Sebaliknya, Antara tampak menyajikan berita tanpa perduli siapa
konsumennya. Contoh kalimat Antara (10 Nopember, B) .... mereka
sebagai warga negara ikut serta berpartisipasi dalam usaha itu.
"Jika ditulis partisipasi, pembaca kami tidak tahu," kata orang
Pos Kota. Pembaca Antara pasti memahaminya tapi di sini dijumpai
lagi contoh mubazir pada ikut serta, yang bisa dibuang saja,
jika berpartisipasi dipakai.
Kekeliruan memakai kata asing juga terbaca di halaman Kompas (28
Oktober) ketika memberitakan satu desa pemuda di Labuhan Batu,
Sumatera Utara, yang ditinggalkan penghuninya secara berangsur.
Desa itu, tulis koran itu, monumental ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
Bangsa Indonesia. Pasti semustinya monumen, bukan monumental.
Ada anjuran para ahli bahasa ketika berkongres baru-baru ini
Supaya media cetak menyediakan semacam Pojok Bahasa. Dari situ
masyarakat, bahkan juga wartawan, bisa belajar. Rubrik Bahasa
ini sudah teratur disajikan Kompas dan Intisari. Mungkin Sinar
Harapan akan segera mengadakannya pula, apalagi redaktur
pelaksananya, Samuel Pardede mengatakan "Kami merasa terpanggil
dan ikut bertanggungjawab." Buat sementara, menurut redaktur
ini, SH bertekad menghilangkan "istilah yang berbau feodal
seperti berkenan, merestui, anjangsana, mohon pamit dan
sebagainya. "
Jawanya Medok
Tapi kekacauan yang menyolok terutama di media cetak sekarang
ini ialah menyangkut kata asing yang diindonesiakan. Ada
anjuran, misalnya, supaya tradisionil dibaca tradisional, dan
komersiil dibaca komersial. Ada pula tuntutan supaya kita
kembali ke f atau v seperti Februari dan November. "Tidak perlu
kita dalam bahasa Indonesia terlalu banyak meniru-niru atau
menyandarkan diri pada bahasa Inggeris," Bung Hatta berpendapat.
Kompas adakalanya suka jalan sendiri. Film, misalnya, ditulisnya
film secara mengganjil. "Kami ini taat, mau mengikuti Pusat
Pembinaan dan Peagembangan Bahasa," demikian Wakil Pemimpin
Redaksi koran itu, P. Swantoro. "Tapi dalam hal-hal yang tak
jelas kami ambil konsensus sendiri." Maka berdasar konsensusnya
pula, orang tua yang berarti ibu-bapak ditulisnya dalam satu
kata.
"Kami memakai pedoman EYD," kata Pemimpin Redaksi Femina, Mirta
Kartohadiprodjo. "Kami belum mendetil, misalnya, rumah makan
harus dipisah atau disatukan. Demikian pula dengan orang tua.
sagi kami yang penting gaya bahasanya." Bagaimana tatabahasanya?
Femina terbilang teliti dalam menggunakan bahasa yang benar.
Media elektronik, radio dan televisi, terutama disorot dalam
soal lafal. Kongres Bahasa memutuskan supaya segera disusun
lafal baku bahasa Indonesia untuk penyiar televisi dan radio.
"Pedoman resmi belum ada untuk penyiar," kata Toeti Adhitama
dari TVRI. "Kami saling mengingatkan, apalagi kalau ada penyiar
yang Jawanya medok sekali."
Tapi bahasa jelek juga terdengar dari siaran warta berita TVRI
maupun RRI. "Sebenarnya penyiar tidak berhak merobah naskah
berita," kata Yul Chaidir dari RRI, yang juga sering muncul di
layar televisi. "Tapi selalu ada kompromi antara redaktur dan
penyiar -- sebaiknya bagaimana .... "
Dari siaran non-RRI, radio niaga, sering terdengar penyiar
bercanda. Bicaranya santai yang tidak selalu beraturan. Apalagi
iklannya, ampun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini