Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ingin Hemat Dan Jelas Tanpa Merusak

PWI pusat kerjasama dengan YTKI dan yayasan Jerman melaksanakan karya latihan wartawan yang menitik beratkan pada soal bahasa. Karena bahasa merupakan alat utama kerja pers.(md)

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERLU ada penataran bahasa untuk wartawan. Ahli bahasa perlu menggalakkan kerjasamanya dengan wartawan. Semua itu anjuran Kongres Bahasa Indonesia III yang baru saja berakhir. Bahwa Kongres itu secara khusus menyebut wartawan yang perlu ditatar, kaum profesi ini diketahui menyambut baik. Tapi apakah itu karena tingkat pengetahuannya berbahasa Indonesia demikian rendah Rendah atau tidak, persoalannya ialah suara di Kongres itu umumnya mengakui bahwa peranan pers tidak bisa diabaikan untuk pembinaan dan pengembangan bahasa nasional selanjutnya. Bung Hatta, umpamanya, mengingatkan kembali bagaimana nama Indonesia dipropagandakan di zaman Hindia Belanda. Ternyata propaganda itu berhasil setelah pers pun ikut, katanya, "mengambil alih nama itu dan terus-menerus memakainya." Pers Indonesia kontemporer umumnya diakui pula sudah banyak mempropagandakan -- juga berhasil -- istilah dan perkataan baru yang memperkaya kamus bahsa nasional. Namun seringkali pula pers dikritik karena telah terus-menerus memakai segala macam perkataan, sebutlah issue, secara keliru. Pers pada mulanya cuma mengambil alih ucapan orang, entah pejabat atau bukan, yang mengutip perkataan asing. Selain soal perkataan asing, pers juga sudah sering dikecam karena mengabaikan tatabahasa, mengacaukan kaidah bahasa dan sebagainya. Maka lahirlah ejekan "bahasa koran" yang akhirnya pantas ada anjuran Kongres Bahasa Indonesia III supaya diadakan penataran bahasa untuk wartawan. Kontan segera sesudah Kongres itu, di Jakarta diselenggarakan Karya Latihan Wartawan ke-17. Berbeda dari sebelumnya, sekali ini KLW itu (6-10 Nopember) menitik-beratkan pada soal bahasa. Penyelenggaranya, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, bersama sponsornya, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) dan Eriedrich Ebert Stiftung (suatu yayasan Jerman), sengaja memakai tema "Bahasa Jurnalistik dan Pewartaan. "Ahli bahasa seperti Yus Badudu dan Benny H. Hoed berbicara di situ. Dr Badudu yang dikenal sebagai pembawa acara mingguan TVRI tentang pembinaan bahasa Indonesia meninggalkan pesan supaya wartawan turut bertanggungjawab dalam soal bahasa. Bila wartawan menggunakan bahasa yang salah, karanya, akan buruk pergaruhnya bagi masyarakat. Karena bekerja di bidang tulis-menulis, wartawan tentu memandang bahasa sebagai suatu alat utamanya. Justru karena itu pula, demikian Dr Badudu wartawan perlu berusaha membina alat utamanya seperti petani yang selalu mempertajam alat cangkul dan parangnya. EYD Mana? Direkrur KLW, Rosihan Anwar, yang juga sesepuh di PWI mengatakan pada TEMPO bahwa memang banyak orang muda kira yang masuk menjadi wartawan merasa bahasa Indonesia tak perlu dipelajari betul. Terbukti, katanya lagi, hampir semua peserta KLW ini belum pernah membaca buku pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. EYD ini berlaku mulai 1972 yang bertujuan mendekatkan kedua bahasa Indonesia dan Malaysia. guku pedomannya dicetak dalam jumlah terbatas -- sampai 50.000 saja. Juga banyak pejabat pemerintah, bukan wartawan saja, yang belum pernah melihatnya. Kongres Bahasa terakhir ini tampalinya menyadari bahwa EYD itu masih belum mantap di masyarakat. Maka ada rencana untuk menugaskan Balai Pustaka supaya mencetaknya lebih banyak dan dijual dengan harga murah. Perobahan ejaan, walaupun sudah 6 tahun, masih belum dipatuhi secara konsisten oleh media kita. Contoh gampang ke dan di yang menunjukkan tempat, umparnanya, masih saja tercetak seperti sebelum EYD. Bahkan Kompas, koran yang dikenal baik bahasanya, masih membuat kesalahan sesekali. Kenapa? Adakalanya kekeliruan bukan terjadi meja redaksi, melainkan di percetakan. Dalam hal ini, KLW menasehatkan, para korektor perlu diminta supaya aktif memperbaikinya. Sebagian penerbitan, termasuk TEMPO ini, memang sudah sering tertolong oleh tangan korektornya dalam berpedoman pada EYD itu. Juga masih banyak dijumpai penyimpangan dari EYD dalam kata berulang seperti benar2. Semustinya ditulis benar-benar. Dan bentuk jamak seperti bahasa2. Seharusnya ditulis bahasa-bahasa. Dalam hal ini banyak redaksi penerbitan, termasuk Warta Berita Antara, mengetahui ketentuan EYD tapi sengaja melanggarnya karena pertimbangan tempat dan mau cepat. Mereka seakan-akan meminta maaf atas kesalahan yang disengaja ini. Seringkali pula kata majemuk dan bentul. jamak dipakai secara berlebihan, walaupun ditulis sesuai dengan EYD. Ahli bahasa bisa memaafkan kalau suatu bentuk jamak tidak selalu ditulis berulang, bahkan menganjurkan kita supaya memakai pertimbangan. Cukup dengan karya tulis, umpamanya, bukan karya-karya tulis. Atau banyak desa, bukan banak desa-desa. Coba lihat kalimat ini Demikian pula pandangan-pandangan dari masyarakat setempat juga akan lebih mudah tertampung dalam suratkabar daerah daripada di suratkabar-suratkabar Jakarta. Di jumpai dalam Pers Indonesia (Oktober 1978), kalimat itu jelas merupakan suatu kasus editing. Berlebihan jamaknya? Bahasa Jurnalistik dan Pewarraan menuntut penghematan kata. Jika bisa jelas dengan 17 kata, mengapa harus dipakai 20. Lebih hemat pemakaian kata-katanya, lebih baik. Wartawan harus membuang redundancy, hal yang berlebihan. Rosihan Anwar untuk itu memperkenalkan istilah kata mubazir dalam KLW yang dipimpinnya. Benny H. Hoed, ahli bahasa dari Universitas Indonesia yang sedang menyusun disertasi untuk gelar doktor, tertarik pada istilah ciptaan Rosihan iru. Dalam beberapa kertas kerjanya, Hoed mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan mubazir itu. Dia mengutip Carl Warren ". . . kata-kata yang tercetak dalam sebuah suratkabar adalah barang berharga yang dipamerkan dalam etalase yang mahal .... "Pendek, dan juga sederhana, itu yang kita kehendaki tapi jangan sampai mengorbankan kejelasan." Bahasa Elite Kata Mubazir yang perlu dihilangkan, menurut kacamata Rosihan, antara lain adalah (kata kerja kopula), elab (pengunjuk masa lampau), untuk (sebagai terjemahan to dalam bahasa Inggeris), dari (sebagai terjemahan dalam hubungan milik), bahwa (sebagai kata sambung), dan bentuk jamak yang tak perlu diulang. Hoed tampaknya tidak begitu bertikai dengan pendapat di atas. Sarjana UI ini malah menunjukkan lebih banyak lagi contoh kata yang mungkin bisa dibuang, antara lain pada, oleh, yang, hari, tanggal, dan bulan yang sering dijumpai dalam Bahasa Berita. Tapi dia mengaku pula bahwa "pendapat kita bisa berbeda-beda" tentang sesuatu kata boleh dianggap mubazir atau tidak. Dia mengemukakan masalah akseptabilitas. Persoalan ialah wartawan adakalanya mengabaikan soal akseptabilitas dalam mengusahakan penghematan kata, demikian Hoed. Jika ingin terlalu berhemat, laporan wartawan bisa juga menjadi kabur dan menyalahi kaidah bahasa. Contoh ini dijumpai dalam satu headline, berita utama di halaman depan Pos Kota (7 Nopember) Pemeriksaan langsung yang dilakukan Majelis Hakirm pimpinan Haji Sumadiono SH, dalam perkara Pluit yang mengakibatkan kerugian negara R 22,- milyard. Koran itu jelas mengalami kesulitan editing. Kalimatnya tidak jalan." Mungkin redaksinya sedang tergesa-gesa waktu menurunkan berita itu. Tapi, dengan meminjam ucapan Dr Badudu, ia akan membawa pengaruh buruk bagi masyarakat. Sofyan Lubis, redaktur pelaksana Pos Kota, mengatakan pada TEMPO bahwa korannya memakai "bahasa sehari-hari rakyat Jakarta." Namun ada usahanya mendidik para wartawannya untuk memakai bahasa yang benar dan baik. Penyempurnaan bahasa, kata Lubis, "dilakukan dengan pelan-pelan. Dibanding tiga tahun lalu, sekarang agak tertolong." Lubis dan rekan-rekannya bangga bahwa pembaca mereka golongan bawah. "Tukang becak baca koran karena Pos Kota," kata mereka. Soedjatmoko, penasehat ahli Bappenas dan bekas diplomat, mengatakan di depan Kongres sahasa Indonesia III " .... kurun zaman 50 tahun yang pertama ini telah menunjukkan keberhasilan bahasa Indonesia terutama sebagai bahasa elite." Tanpa menyebut tukang becak, pada hakekatnya Soedjatmoko mengemukakan persoalan bagaimana bahasa Indonesia yang sebaiknya dipakai koran seperti Pos Kota. Sebaliknya, Antara tampak menyajikan berita tanpa perduli siapa konsumennya. Contoh kalimat Antara (10 Nopember, B) .... mereka sebagai warga negara ikut serta berpartisipasi dalam usaha itu. "Jika ditulis partisipasi, pembaca kami tidak tahu," kata orang Pos Kota. Pembaca Antara pasti memahaminya tapi di sini dijumpai lagi contoh mubazir pada ikut serta, yang bisa dibuang saja, jika berpartisipasi dipakai. Kekeliruan memakai kata asing juga terbaca di halaman Kompas (28 Oktober) ketika memberitakan satu desa pemuda di Labuhan Batu, Sumatera Utara, yang ditinggalkan penghuninya secara berangsur. Desa itu, tulis koran itu, monumental ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Bangsa Indonesia. Pasti semustinya monumen, bukan monumental. Ada anjuran para ahli bahasa ketika berkongres baru-baru ini Supaya media cetak menyediakan semacam Pojok Bahasa. Dari situ masyarakat, bahkan juga wartawan, bisa belajar. Rubrik Bahasa ini sudah teratur disajikan Kompas dan Intisari. Mungkin Sinar Harapan akan segera mengadakannya pula, apalagi redaktur pelaksananya, Samuel Pardede mengatakan "Kami merasa terpanggil dan ikut bertanggungjawab." Buat sementara, menurut redaktur ini, SH bertekad menghilangkan "istilah yang berbau feodal seperti berkenan, merestui, anjangsana, mohon pamit dan sebagainya. " Jawanya Medok Tapi kekacauan yang menyolok terutama di media cetak sekarang ini ialah menyangkut kata asing yang diindonesiakan. Ada anjuran, misalnya, supaya tradisionil dibaca tradisional, dan komersiil dibaca komersial. Ada pula tuntutan supaya kita kembali ke f atau v seperti Februari dan November. "Tidak perlu kita dalam bahasa Indonesia terlalu banyak meniru-niru atau menyandarkan diri pada bahasa Inggeris," Bung Hatta berpendapat. Kompas adakalanya suka jalan sendiri. Film, misalnya, ditulisnya film secara mengganjil. "Kami ini taat, mau mengikuti Pusat Pembinaan dan Peagembangan Bahasa," demikian Wakil Pemimpin Redaksi koran itu, P. Swantoro. "Tapi dalam hal-hal yang tak jelas kami ambil konsensus sendiri." Maka berdasar konsensusnya pula, orang tua yang berarti ibu-bapak ditulisnya dalam satu kata. "Kami memakai pedoman EYD," kata Pemimpin Redaksi Femina, Mirta Kartohadiprodjo. "Kami belum mendetil, misalnya, rumah makan harus dipisah atau disatukan. Demikian pula dengan orang tua. sagi kami yang penting gaya bahasanya." Bagaimana tatabahasanya? Femina terbilang teliti dalam menggunakan bahasa yang benar. Media elektronik, radio dan televisi, terutama disorot dalam soal lafal. Kongres Bahasa memutuskan supaya segera disusun lafal baku bahasa Indonesia untuk penyiar televisi dan radio. "Pedoman resmi belum ada untuk penyiar," kata Toeti Adhitama dari TVRI. "Kami saling mengingatkan, apalagi kalau ada penyiar yang Jawanya medok sekali." Tapi bahasa jelek juga terdengar dari siaran warta berita TVRI maupun RRI. "Sebenarnya penyiar tidak berhak merobah naskah berita," kata Yul Chaidir dari RRI, yang juga sering muncul di layar televisi. "Tapi selalu ada kompromi antara redaktur dan penyiar -- sebaiknya bagaimana .... " Dari siaran non-RRI, radio niaga, sering terdengar penyiar bercanda. Bicaranya santai yang tidak selalu beraturan. Apalagi iklannya, ampun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus