BELUM ketahuan benar berapa banyak dan siapa saja yang merasa
ditipu PT Agung Karya, yang mengaku sebagai pemborong rumah
murah dan berpusat di Surabaya. Setidaknya ada 52 orang, pegawai
rendahan di Lumajang (Jawa Timur) yang sekarang gigit jari.
Sertifikat tanah mereka dan sejumlah uang, yang mula-mula
dimaksud sebagai cicilan untuk memperoleh rumah murah, boleh
dibilang tak bakal kembali.
Sejak April lalu PT Agung Karya sudah membujuk para pegawai
rendahan dengan cara yang menarik. Perusahaan ini sanggup
membangunkan rumah dengan harga pokok Rp 1 juta, dapat diangsur
antara 5 sampai 20 tahun. Tanpa uang muka lagi! Mana ada
penawaran yang lebih enteng dari itu? Tentu saja peminatnya juga
berlimpah. Dalam waktu singkat perwakilan Agung Karya di
Lumajang tersebut sudah menerima 121 orang pendaftar. Berhubung
prioritas pertama hanya diberikan kepada pendaftar yang telah
memiliki tanah sendiri, maka dari sekian pendaftar yang dilayani
52 orang didahulukan.
Tak Muncul
Notaris khusus didatangkan dari Pasuruan. Para peminat dipanggil
untuk teken kontrak. Biaya notaris Rp 3.000 setiap kontrak,
ditanggung masing-masing "calon pemilik" rumah. Bersama itu juga
sertifikat tanah harus dititipkan kepada fihak pemborong sebagai
jaminan. Rencana pembangunan, begitu diumumkan, akan dimulai
antara 5 sampai 15 Juni 1978. Harap masing-masing pemilik tanah
menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Misalnya, meratakan tanah,
mencabut segala macam tanaman atau rumah yang ada di atasnya.
Dan jangan lupa, yang mau selamatan tanpa diminta juga dapat
dilaksanakan masing-masing. Hanya yang penting angsuran sudah
mulai ditarik bulan Juni. Yang akan mengangsur selama 20 tahun
boleh mencicilnya Rp 11.160 sebulan. Dan yang 10 tahun
angsurannya Rp 14.000.
Kesibukan pun mulai. Puluhan orang yang telah membongkar rumah
di samping yang cuma mencabuti tanaman saja. Untuk sementara ada
yang nebeng di rumah mertua atau numpang pada tetangga.
Selamatan diadakan di sana-sini. Tapi sampat selamatan selesai,
para pekerja yang dijanjikan pemborong tak kunjung muncul juga.
Mula-mula perwakilan Agung Karya menjanjikan pengunduran waktu
pembangunannya cuma seminggu. Tapi akhirnya dari minggu ke
minggu yang lain, belum tampak juga pekerjaan dimulai. Kantor
perwakilan selalu didesak-desak calon pemilik rumah.
Baru April berikutnya tanda-tanda pembangunan kelihatan. Tapi
tersendat-sendat. Dari beberapa keterangan diketahui, pihak
pelaksana seperti CV Karya Sumber Laut, CV Dwi Karya dan CV
Utama Karya tidak memperoleh droping uang secara wajar dari
Agung Karya. Bahkan, karanya, ketiga pelaksana tadi sudah
menghabiskan uangnya sendiri sampai Rp 22 juta. Pekerjaan pun
dihentikan. Ada yang sudah mulai selesai menembok, ada yang baru
selesai fondamen namun ada pula tanahnya yang digali-gali saja.
Sudah tiga bulan ini pembangunan macet. "Umumnya kami sudah
membayar angsuran untuk Juni, Juli dan Agustus," keluh Fadlan
Ikhsan, guru PGA Lumajang. Berkali-kali mereka mendesak
perwakilan Agung Karya. Tapi tak ada gunanya. Sebab Kepala
Perwakilan Agung Karya sendiri, Samad Notohardjo, pensiunan
mayor, tak bisa berbuat lebih dari kemampuannya.
Apakah ia menipu rakyat? Samad membantah keras. "Saya sendiri
merasa tertipu, " katanya. Diapun bercerita, sambil
mengetengahkan usahanya yang telah mati-matian ikut mencari
pimpinan pusar Agung Karya untuk memperoleh penyelesaian.
Baru Maret lalu ia jadi orang Agung Karya. Diangkat sebagai
Kepala Perwakilan, dengan tugas mencari peminat dengan imbalan
memperoleh komisi 2% dari setiap angsuran nasabah. Dia memang
mempercayai tawaran itu, terus-terang saja, karena melihat kop
surat perusahaan yang mentereng. Cabangnya saja, katanya, banyak
terdapat di Indonesia bagian Timur.
Setelah didesak kanan-kiri Samad segera menjumpai apa yang
disebut Kepala Wilayah III Agung Karya di Pasuruan. Dua-tiga
kali pertemuan dengan pimpinan wilayah, drs. Sarifin Sukardjo
BA, tapi yang diperoleh Samad hanya janji-janji melulu. Padahal
uang Samad sendiri, katanya, sudah masuk ke proyek sampai Rp 300
ribu. "Setengah tahun pensiun saya ludes tak keruan," katanya.
Berikutnya, tanpa tahu ujung-pangkalnya secara jelas, tahu-tahu
Agung Karya mengeluarkan SK yang memindahkan Sarifin, Kepala
Wilayah III ke Maluku. SK itu diketahui Samad diteken Dirut
Agung Karya, Salehuddin,dengan alamat Jalan Opak No. 62
Surabaya. Kepala Wilayah III yang baru, Abdul Azis, pun ternyata
tak berhasil membereskan proyek Lumajang.
Bagaimana kalau ketemu langsung pak Dirut Oh, aturannya,
katanya, kecuali seorang Kepala Wilayah tak ada yang boleh
langsung keremu Dirut. Tapi Samad nekad. Dia naik bis ke
Surabaya dan langsung menuju Jalak Opak. Di sinilah titik-titik
kecurigaan sudah mulai boleh dilontarkan. Ternyata rumah di
Jalan Opak itu sudah tak ada hubungannya dengan Agung Karya. Tak
hanya Samad yang keceawa. Beberapa surat tuntutan dari nasabah
lain juga sering diretour dengan catatan "pindah tanpa
pemberitahuan".
Samad belum putus asa. Dari Surabaya ia ke Malang, sebab katanya
di Jalan Widodaren No. 5 Malang, Dirut Agung Karya dapat
ditempuh Dari pagi hingga jam 2 malam Samad nongkrong di muka
rumah itu. Tapi yang dicarinya tak nongol juga. Keesokan harinya
barulah ada keterangan dari pembantu rumahtangga "Tuan lagi ke
Jember." Samad mengejar ke Jember. Kosong. Terus dikejar lagi ke
Bondowoso. Eh, katanya sudah ke Malang lagi. Pembantu di Malang
terus mengatakan, tuannya sudah ke Pasuruan.
Samad kembali ke Pasuruan. Kali ini ia tidak langsung mencari
Salehuddin. Lebih dulu ia menenggak bir tiga botol di sebuah
warung dan membungkus botol kosongnya dengan kertas. Barulah
mencari Salehuddin. "Untungnya Dirut tidak ada di tempat. Kalau
ada, tidak tahu lagi apa yang terjadi," katanya.
Tujuh hari tujuh malam Samad keliling berbagai kota mencari
penanggungjawab Agung Karya. Untuk menunjukkan dirinya tidak
terlibat, kalau memang Agung Karya melakukan penipuan, Samad pun
Oktober lalu kembali mencari Salehuddin ke Pasuruan, Malang,
Jember dan Bondowoso. Tapi tetap saja hasilnya nol besar.
Mempermainkan
Kepala Wilayah III Agung Karya ternyata, seperti juga Samad, tak
merasa ikut tanggungjawab sepenuhnya. Surat desakan Samad
dibalas Abdul Azis dengan tak kalah kasihannya: "Bahkan kalau
saudara hanya menghadapi nasabah di Lumajang dan tiga pemborong,
saya menghadapi nasabah di seluruh Jawa Timur," begitu seperti
yang dibacakan Samad kepada TEMPO. Agung Karya, demikian
diperoleh keterangan dari Samad, memang mempermainkan para
peminat rumah murah di Jember, Bondowoso, Pasuruan dan entah di
mana lagi.
Untuk menunjukkan ketidaktersangkutannya dengan ketidakberesan
Agung Karya, Samad sendiri melaporkan kekecewaan nasabahnya
kepada polisi. Bagi nasabah, sebenarnya, tak begitu dirugikan
benar. Mereka baru mengangsur tiga bulan. Sedangkan, menurut
Sutrisno, pegawai pemerintah daerah, "nilai bangunan yang macet
sudah ratusan ribu rupiah." Pelaksana proyek tentu lebih merasa
dirugikan.
Samad sendiri masih menerima surat Agung Karya yang entah
dikirim dari mana. Dia masih mendapat perintah untuk terus
menagih uang cicilan dari nasabah. Tapi sejak September lalu
Samad sudah tidak mau lagi melakukan penagihan -- toh tak ada
nasabah yang percaya lagi. Surat Agung Karya kepada pemborong
pelaksana lain lagi. Mereka disarankan agar terus membangun
kemudian menerima uang cicilan dari calon pemilik rumah.
Pokoknya, mereka boleh mengambil oper kontrak. Atau para nasabah
sendiri boleh meneruskan membangun rumah masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini