PROF. Soedarsono Hadisapoetro Menteri Pertanian, boleh merasa
lega dengan naiknya produksi padi. Tapi orang yang dikenal
sebagai pencipta BUUD/KUD itu pasti mengurut dada, setelah
membaca laporan tunggakan kredit Bimas. Sewaktu Prof. Tojib
Hadiwijaya masih menteri, tunggakan itu memang sudah membengkak
hingga sekitar Rp 80 milyar untuk seluruh Indonesia. Untuk
daerah Jawa Barat saja, sampai musim tanam (MT) 1976/1977 sudah
ngetop sampai Rp 23 milyar (TEMPO, 8 Oktober 1977).
Tapi sekarang -- sejak MT 1970/1971 sampai dengan MT 1977/1978,
berdasarkan posisi Juni lalu -- jumlah tunggakan itu sudah
menggapai Rp 32 milyar lebih. Bahwa setiap tahun terjadi
tunggakan, itu memang bukan barang baru. Tapi tunggakan di MT
1977/1978 itu sungguh dahsyat. Selain terjadi di tengah ramainya
suasana Opstib, tambahan tunggakan kredit itu cukup mengerikan:
sampai Rp 9 milyar.
Bukan secara kebetulan agaknya, kalau tunggakan itu terus
membesar. Di tahun 1974, ketika tunggakan kredit Bimas masih Rp
6 milyar, itu saja sudah dianggap serius oleh pemerintah. Maka
dibentuklah suatu Tim Khusus untuk menagih. Berhasil juga.
Ternyata tunggakan waktu itu bisa ditekan hingga menjadi Rp 1,5
milyar. Tapi Tim itu kemudian dibubarkan, dan permasalahan Bimas
-- sampai pada soal penagihan kredit pada petani dan non petani
-- di urus pihak Pemda.
Sanggupkah? Menurut Prof. Dr. Gunawan Satari, yang pernah
menjadi ketua Proyek Officer Bimas Ja-Bar, "gubernur, sekwilda
maupun bupati tidak mungkin bisa menangani masalah ini.' Sebab,
"mereka terlalu sibuk", katanya kepada TEMPO pekan lalu. Ia
juga tak yakin bahwa "cara-cara persuasif-educatif", yang
dilakukan selama ini dalam menagih tunggakan, bisa berjalan.
"Cara-cara begitu memang baik, dalam keadaan si penunggak sadar
akan tanggung jawabnya. Tapi mana orang ngutang dengan sukarela
membayar hutangnya, ditagih juga susah." Ya, jadi bagaimana
"Ditagih terus, dong", katanya yakin. "Dan inilah yang harus
ditangani secara khusus. "
Kebobolan
Tahun-tahun sebelumnya, pemerintah masih mengaitkan seretnya
tagihan itu dengan adanya musim kemarau yang panjang atau hama
wereng. Tapi kini musim sungguh baik. Juga hama wereng yang
sering melumpuhkan panen itu, tiba-tiba lenyap (Lihat: Lega,
Buat Sementara).
Seorang pejabat Pertanian di Bandung, tak ingin menyalahkan
petani Menurut dia, rakyat di desa, khususnya petani, biasanya
jujur dan menurut. "Oknum-oknum non petani itulah yang jahat,"
katanya. Siapa mereka? Pejabat itu tak mau tunjuk hidung. Tapi
ada sebuah kejadian di desa Parakan Tugu, kecamatan Kadupandak,
kabupaten Cianjur. Kepada para petani yang datang dari jauh dan
mengajukan permohonan kredit, kepala desa meminta agar
surat-surat pemilikan tanah itu ditinggalkan saja di desa.
Rupanya surat surat berharga milik petani itulah yang oleh
oknum-oknum petugas di desa digunakan untuk meminta kredit. Dan
dapat.
Maka petanilah yang ketiban pulung: Mereka kemudian didatangi
penagih, sekalipun tak pernah berhutang.
Kejadian di desa itu merupakan cara baru dari penciptaan areal
fiktif. Di Jawa Barat -- yang mewakili 23% dari produksi padi
nasional -- sudah dicoba cara pengawasan dengan sistim kartu,
yang antara lain mencatat segala sesuatu yang menyangkut
pemilikan tanah yang sah, dalam permohonan kredit. Tapi toh
sistim yang rapi itu kebobolan juga.
Agaknya, yang juga perlu didengar adalah para petugas BRI di
desa. Yakni, bagaimana sampai mereka lekas percaya pada para
petani yang tak punya sawah itu? Dalam hal ini Prof. Gunawan
Satari punya anggapan begini: "Harus diakui umumnya bangsa kita
ini kurang disiplin. Sebut misalnya soal administratif. Karena
percaya, seorang petani bisa saja titip kredit pada bank. Dan
petugas bank karena kurang teliti, seenaknya saja mengabulkan
permintaan kredit."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini