Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, Nur Hidayati, menilai pemerintah sedang meningkatkan risiko kematian di tengah pandemi Covid-19 dengan menghapus limbah batu bara fly ash dan bottom ash (FABA) dari kategori B3 atau limbah berbahaya. Menurut Nur, sikap pemerintah tersebut tidak etis.
“Pemerintah melonggarkan aturan yang meningkatkan risiko. Ini tidak etis karena kita tahu, dari studi yang dilakukan Harvard, ditemukan bahwa penderita Covid yang hidup di daerah polusi tinggi punya potensi kematian lebih tinggi,” ujar Nur dalam diskusi yang digelar secara virtual pada Ahad, 14 Maret 2021.
FABA merupakan limbah padat hasil pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku konstruksi. Aturan penghapusan FABA dari kategori limbah B3 tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai turunan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Nur menjelaskan, saat FABA tergolong kategori B3, limbah dengan volume besar ini sudah memberikan dampak bahaya kepada lingkungan dan masyarakat dalam jangka panjang. Walhi menemukan setidaknya 15 anak-anak di Jawa Tengah yang tinggal dengan jarak 100 meter dari penampungan batu bara mengidap bronkitis.
Kemudian sebelas tahun lalu, satu orang berumur 20 tahunan yang bermukim 100 meter dari kolam abu juga pernah ditemukan meninggal. Korban meninggal selanjutnya ditemukan pada 2019. Korban adalah warga berusia 39 tahun yang tinggal dengan jarak 200 meter dari penampungan batu bara.
Nur lantas menyebut kebijakan dalam aturan turunan Omnibus Law ini memutihkan kejahatan pencemaran lingkungan. Seumpama limbah batu bara tidak digolongkan dalam kategori berbahaya, proses pembuangannya bisa disamakan dengan limbah biasa sehingga dampaknya berkali lipat lebih mengancam.
“Limbah bisa dibuang ke alam hanya dengan memenuhi baku mutu kualitas, tapi sebetulnya tingkat toksisitasnya tidak diketahui,” ujar Nur.
Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana mengimbuhkan organisasinya sejak awal telah menolak terbitnya undang-undang sapu jagat Omnibus Law. Sebab, pasal-pasal dalam beleid ini tidak hanya mengatur tentang cipta kerja, tapi juga mengotak-atik ketentuan ihwal lingkungan.
Undang-undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR berpihak terhadap korporasi dengan mengendurkan kewajiban mutlak perusahaan terhadap lingkungan. “Faktualnya kemudian ini memberikan karpet merah bagi korporasi, kemudian memberikan pemutihan kejahatan terhadap lingkungan,” katanya.
Konsekuensi terhadap hilangnya FABA dari kategori limbah B3, kata Wahyu, akan mempengaruhi proses penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak memenuhi tanggung jawabnya. “Ini hanya akan menurunkan standar bagaimana meminimalisasi risiko lingkungan,” kata dia.
Sebelumnya, Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim Nani Hendriati mengatakan penyusunan peraturan pencabutan kategori limbah batu bara FABA telah melalui proses yang panjang. "Penyusunan PP 22 yang dikawal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membutuhkan proses yang cukup panjang dan akhirnya mengeluarkan FABA dari Daftar B3," kata dia.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Tidak Dibuang, Begini Aturan Penyimpanan Limbah Batu Bara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini