POSISI Indonesia dalam "perang rotan" sudah lebih kuat sekarang. Ada restu dari PBB. Larangan ekspor rotan setengah jadi, yang ramai diprotes MEE dan AS, ternyata mendapat dukungan. Larangan itu dinilai baik, untuk pengembangan industri rotan di Indonesia. Tapi dukungan itu bukannya tanpa biaya. UNDP (United Nation Development Program) segera merogoh kantung mengeluarkan US$ 100.000, untuk menyelenggarakan lokakarya rotan dan bambu di Jakarta. "Kami sudah keliling, dan akhirnya pilih Indonesia," kata Gwyn Davies, ahli industri hutan FAO. Food and Agnculture Organization milik PBB ini memang aktif. Bekerja sama dengan UNIDO (United Nation Industrial Development Organiation), FAO terjun menyelenggarakan lokakarya ini. Kedua badan internasional itu lantas mengajak Asmindo (Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia) sebagai mitra. Dan selama 11 hari, mulai 6 Maret lalu, pakar-pakar rotan dan bambu pun bertemu. Mereka membahas banyak hal. Misalnya bagaimana mengganti paku, yang selama ini dipakai di mebel rotan buatan Cirebon, dengan sekrup kuningan agar tak berkarat. "Teknologi dan desain mebel Indonesia memang masih rendah," kata Direktur Pemasaran PT Bali Rattan Indah Pertama, Harry J. Haurissa, mengakui. Itu salah satu sebab mengapa Indonesia yang dipilih UNDP. Mutu rendah, sementara potensinya luar biasa. Menteri Perindustrian Hartarto bahkan mengatakan, "Kita punya 18,2 juta ha hutan yang menghasilkan rotan." Bukan rahasia lagi, negara-negara tetangga seperti Filipina dan Taiwan-lah yang menikmati kekayaan itu, sebelum pemerintah melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi. Mereka beli rotan dari sini, diolahnya, lalu diekspor lagi. Nilai tambah jelas mengalir, sementara di sini petani rotan gigit jari. Tapi bukan berarti setelah ekspor itu dilarang semua lantas jadi lebih baik. Industri rotan ternyata tak siap menampung semua hasil rotan. Akibatnya, petani juga yang rugi. Rotan mereka tak terbeli. Sampai-sampai Bank Indonesia mengeluarkan kredit khusus, agar eksportir dan industri rotan mampu menumpuk stok dan membeli rotan petani (lihat TEMPO, 6 Agustus 1988). Bagaikan domino runtuh, industri-industri di Filipina dan Taiwan ikut terpukul akibat tersumbatnya suplai bahan baku. Nasib serupa juga diderita industri pengolahan rotan di Eropa, yang juga bergantung pada Indonesia dalam hal bahan bakunya. Dan inilah akhirnya yang menjadi pangkal perselisihan Indonesia dan MEE, yang kemudian disokong AS itu. Dalam situasi terjepit seperti ini, lokakarya rotan UNDP itu terasa sangat tepat. "Kita harus meningkatkan keterampilan, agar bisa mengisi pasar," kata Joes Tuarissa, ketua penyelenggara lokakarya. Selama ini, mebel rotan Indonesia belum juga bisa menang bersaing lawan Filipina dan Taiwan, yang satu kelas lebih tinggi. "Tapi tunggu saja, pelan-pelan mereka akan mati kekurangan bahan baku," Joes menambahkan. Maka, jika di sana mati, di sini tumbuh. Seperti disebut Menteri Hartarto, pertumbuhan industri rotan sangat mengesankan. Dalam 2 tahun saja, telah muncul 245 perusahaan baru. Bisnis kadang begitu, jika yang satu tumbuh, yang lain harus mati. YP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini