SEPERTI halnya anak yang sedang tumbuh, Indonesia perlu banyak energi untuk berkembang. Kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan ini dibahas dalam lokakarya internasional berjudul "Peluang Swasta dalam Pembangkitan Listrik di Indonesia" di Jakarta, pekan lalu. Konsumsi energi per kapita di Indonesia, misalnya, cuma 235 kWh/tahun. Bandingkan konsumsi energi AS yang 10.500 kWh/tahun, dan rata-rata negara berkembang yang 500 kWh/tahun. Wajarlah kalau upaya meningkatkan produksi listrik merupakan salah satu prioritas pemerintah RI. Selama Pelita IV, misalnya, "sekitar 12% dari anggaran pembangunan dibelanjakan untuk pembangunan sarana pembangkit listrik ," kata Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, yang membuka lokakarya ini. Toh PLN tak mampu mengejar kebutuhan listrik masyarakat yang terus menanjak. Untuk tahun anggaran 1988-1989 saja, konsumsi listrik nasional diperkirakan mencapai 41.200 kWh. Tak sampai separuh dari kebutuhan itu (19.700 kWh) yang bisa diproduksi oleh PLN. "Sisanya dipasok oleh pembangkit listrik non-PLN," kata Dirjen Listrik dan Energi Baru Prof. Dr. A. Arismunandar. Misalnya, pembangkit yang dimiliki PT Krakatau Steel. Namun, ada juga listrik berlebih yang dijual ke PLN, dan dijual kembali ke masyarakat. Laporan Bank Dunia tahun lalu menyebutkan, harga listrik di Indonesia rata-rata Rp 93/kWh -- dianggap paling murah di Asia Tenggara. Rendahnya harga jual PLN ini, oleh Bank Dunia, dianggap sudah tak sehat lagi. Hingga, kalau tak menyesuaikan tarifnya -- yang ditetapkan sejak 1986 itu -- PLN dinilai tak akan mampu memelihara sarana yang dimilikinya secara memadai. Menurut David A. Keith, kepala perwakilan RCG International di Jakarta, PLN merugi sekitar Rp 170 milyar setiap tahun. Ini terutama karena ongkos pengadaan listrik di luar Jawa, yang umumnya banyak mengandalkan generator diesel. Sedangkan di Pulau Jawa, yang mengandalkan tenaga air dan batu bara, pengeluaran PLN diperkirakan sama dengan pendapatannya. Jadi, benarkah selentingan tarif listrik akan segera naik? Berbagai sumber TEMPO memperkirakan, akan ada kenaikan sekitar 25%. Namun, pemerintah tampaknya masih akan mempertimbangkan masak-masak. Maklum, masalah listrik punya dimensi macam-macam. Apalagi masih ada yang beranggapan, kerugian PLN dapat ditekan dengan meningkatkan efisiensi. Adalah dorongan efisiensi ini, dan besarnya dana untuk investasi di sektor listrik, yang mengharuskan pemerintah mengimbau swasta. Menurut Arismunandar, dibutuhkan sekitar Rp 20 trilyun untuk penambahan kapasitas 16.000 MW, yang dibutuhkan hingga tahun 2000. Sekitar 55% di antaranya adalah berupa valuta asing (valas). Inilah yang teramat sangat memusingkan pemerintah. Sebab, hasil yang diterima dari penjualan listrik, yang sulit diekspor itu, diterima berupa rupiah. Jadi, akan terjadi pemindahan devisa ke luar negeri. Dan ini bisa menggoyang neraca pembayaran Indonesia, yang DSR (Debt Service Ratio)-nya sudah hampir 40%. Padahal, Presiden Soeharto mencanangkan penurunan DSR itu ke 25%, di akhir Pelita V. Maka, pemerintah pun enggan menanggung pinjaman valas, dan berharap swasta asinglah yang akan melakukannya. Menurut Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie, hal ini dapat dilakukan dengan metode BOT (Built Operate Transfer). Menurut pola ini, swasta asinglah yang membangun pembangkit listrik dan menjual hasilnya pada PLN. Kabarnya, BOT ini sudah pula bisa diterapkan dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), berkapasitas 900 MW di Gresik, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini