Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berani dingin, berani argo

DLLAJR DKI jakarta mengeluarkan izin untuk 14.500 mobil taksi, tapi yang beroperasi 6.500 taksi. perusahaan taksi semakin bersaing. ternyata cuma 3 dari 16 perusahaan taksi jakarta yang memenuhi syarat.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUKAH Anda bahwa naik taksi di Jakarta itu murah, paling murah sedunia? Mobilnya baru, dingin ber-AC, dan bisa dipanggil lewat telepon, karena ada radio. Hebatnya lagi, bisa dibayar dengan kartu kredit. Semua kemudahan ini ditonjolkan oleh perusahaan taksi, sementara calon penumpang silakan pusing dulu tujuh keliling, sebelum bisa menyetop taksi secanggih itu di tepi jalan. Kendati wajah taksi yang butut sudah bukan mode lagi, taksi yang bertaraf internasional sama sekali belum merata. Tapi karena persaingan cukup ketat, masing-masing mau tak mau harus berpacu menarik minat. Anehnya, Kepala DLLAJR DKI Jaya, Ir. Budihardjo Sukmadhi M.S. menyatakan, "Jumlah taksi sekarang ini masih jauh dari cukup." Mengapa? Karena cuma 6.500 taksi yang beroperasi, padahal pemda sudah mengeluarkan izin untuk 14.500 mobil. Jadi, jumlah yang kurang itu bukan dilihat dari permintaan pasar, tapi dari izin pemda. Ya, aneh. Namun, Senin pekan ini, para pengusaha taksi dikumpulkan juga di lantai 23 Balai Kota, untuk berembuk. Ternyata, cuma ada 3 perusahaan yang mempunyai 500 mobil seperti yang disyaratkan pemda: President Taxi, Steady Safe, dan Blue Bird. "Perusahaan taksi akan sehat dan feasible kalau memelihara 500 mobil," begitu pendapat Sukmadhi, yang tak dibantah oleh pengusaha taksi. "Mengelola 100 atau 500 mobil tak ada bedanya," kata Direktur PT Gamya, Martin Budi Ilham. Cuma hambatannya memang banyak. Gamya, misalnya, sedang membenahi komputer dan manajemennya. "Akhir tahun ini kami akan mencapai 500 mobil," Martin bicara yakin. Sekarang ia masih mengelola 316 mobil. Ada juga soal dana. "Kosti siap, tergantung Bukopin yang membiayai," kata Ketua Koperasi Sopir Taksi Indonesia, Mubha Kahar Muang. Sampai saat ini, Kosti baru mempunyai 310 unit dari 500 yang ditargetkan. Bukopin sebenarnya juga sudah siap. "Kita dapat kredit likuiditas dari BI, ini mirip KIK masal," kata Asisten Direktur Bukopin Toe Toe Soedjana. Jadi, untuk Kosti, cuma soal waktu. Tapi tak semua perusahaan bernasib sebaik Kosti. "Kita harus bertahap, tak mungkin langsung 500," kata Kepala Operasional dan Personalia PT Dian Taxi, Herry Pudji. Dan pemda bukan tidak menyadari hal ini. "Kita terus meneliti, kalau mereka berusaha, kan kasihan kalau main cabut," begitu Sukmadhi beralasan. Itu sebabnya, Dian yang cuma punya 65 mobil masih dianggap bagus, karena, menurut Sukmadhi, masih dalam proses. Sebaliknya, buat para pengusaha taksi, jumlah yang dinilai Sukmadhi kurang justru dirasa ideal. "Mungkin 14.500 itu kebutuhan ketika jam sibuk," ujar Presdir PT Tanda Widjaja Sakti, Jopie Widaja, pemilik taksi Steady Safe, yang menghimpun 500 mobil. Katanya, persoalan baru muncul ketika hari sudah lewat pukul 8 malam. "Saat itu Jakarta mungkin cuma butuh 1.000 taksi," ujarnya lagi. Martin sependapat. "Kalau perhitungan saya, yang baik itu 8.000 taksi," katanya. Buat Blue Bird, yang sekarang punya 1.000 mobil, jumlah itu juga dirasa cukup. "Kecuali kalau ingin pengembangan," kata direktur operasinya, dr. Purnomo Prawiro. Dengan jumlah sebesar ini pun, pengusaha tampaknya harus berhitung benar. Maklum, investasi mereka tak main-main. Blue Bird, yang beroperasi sejak 1972, mencatat investasi sekitar 20 milyar rupiah. Sementara Steady Safe menanam Rp 15 milyar. Gamya Rp 7 milyar, Bukopin sudah melepas Rp 5,5 milyar untuk Kosti. Mereka berharap dalam 5 tahun, modal itu hisa balik. Jalan satu-satunya, tinggal adu pelayanan buat pelanggan. Akibatnya, pendingin udara sekarang jadi syarat mutlak. Juga pelayanan panggilan lewat telepon atau menyediakan bacaan buat penumpang, bahkan menerima kartu kredit seperti yang dilakukan Gamya. "Tak apa sedikit keluar biaya, yang penting prestise kami naik," kata Martin. Perestroika di bidang pertaksian ini juga menyentuh President Taxi, yang sudah lama dianggap "brengsek". Keengganan penumpang naik mobil kuning -- warna khas President Taxi -- sampai-sampai membuat perusahaan ini memoleskan warna merah pada cat mobilnya. "Kami sedang menjalankan pembenahan besar-besaran," demikian Direktur Utama President Taxi Arnold Gultom menjelaskan. Langkah itu dilakukannya untuk mengembalikan nama baik yang sudah anjlok. Seperti diakui Arnold, "Kami ini lagi sakit parah." Dalam perhitungannya. cuma 30% dari 6.449 armadanya yang laik darat. Pembenahan ini juga merambat ke argometer. "Orang sudah bosan kena argo kuda," katanya. Akhir tahun ini seluruh armadanya sudah diremajakan total. Napas pembaruan ini juga menyentuh nasib sopir. Pengusaha tampaknya sadar, sukses mereka sangat tergantung tingkah dan kesejahteraan sopirnya. Gamya, misalnya, sampai harus mengadakan 5 jenis tes, sebelum menerima sopir baru. "Dari 100 pelamar, paling 25 yang layak," kata Martin. Demikian pula Steady Safe, Blue Bird, dan Kosti, ketiganya memberlakukan tes ketat untuk seleksi calon sopir. Untuk itu, sopir juga dapat imbalan cukup layak. Dengan berbagai macam sistem -- komisi di Blue Bird atau setoran di Steady Safe dan Gamya -- rata-rata pendapatan sopir taksi bisa mencapai Rp 300 ribu sebulan, dengan 20 hari kerja. Di Kosti, lebih elok lagi. Mereka langsung bisa mencicil mobil, yang dalam 5 tahun akan menjadi milik sendiri. "Kita membuktikan, dengan berkoperasi yang baik, kesejahteraan bisa ditingkatkan," kata Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Ir. Sarwono Kusumaatmadja, yang juga pembina Kosti. Perusahaan juga membantu pengadaan rumah sopir. "Biar mereka tenang," kata dr. Purnomo. Hanya saja, kemujuran itu belum mampir ke sopir President Taxi. "Kita ini cuma cari setoran untuk majikan," kata Wernada, seorang sopir dengan satu anak. Maklum, armada President Taxi adalah milik 2.800 anggota, yang masing-masing punya beleid terhadap sopir. "Kalau sakit, ya, tergantung belas kasihan mereka," katanya prihatin.Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum