Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lima kapal misterius

Lima kapal pengangkut kayu lapis dari Indonesia menghilang. nama baik apkindo dipertaruhkan. banyak anggota insa yang suka menggunakan kapal-kapal gurem, karena ongkosnya murah, tapi berisiko tinggi.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOB Hasan, Ketua Apkindo, pernah bicara tentang kayu lapis sebagai primadona ekspor Indonesia. Datanya memang mendukung ke arah itu: pada 1988 nilai ekspor kayu lapis Indonesia adalah US$ 3 milyar atau 28,92% dari nilai total ekspor nonmigas. Tapi kabar yang tersiar awal bulan ini tentang menhilangnya lima kapal pengangkut kayu lapis bisa mencemarkan nama sang primadona. Adalah Bob Hasan pula yang dua pekan silam mengumumkan kasus kapal-kapal pengangkut kayu lapis jurusan RRC dan Arab Saudi yang kemudian raib. Dua kapal berbendera Honduras dan tiga Panama. Dan dua kapal yang berbendera Panama sudah dinyatakan hilang sejak Juni 1987. Yakni MV Zodiac Ace III (memuat kayu milik PT Benua Indah Pontianak, 2.977 m3) dan MV Anggro (memuat kayu milik PT Wijaya Tri Utama dan PT Hutrindo, total 3.701 m3). Keduanya bertujuan RRC. Tiga kapal lainnya raib akhir 1988. Yakni NV Narai (berbendera Panama), memuat kayu lapis 2.000 m3 dan particle board, yang biasanya digunakan untuk dinding penyekat di perkantoran, sebanyak 1.904 meter kubik. NV Narai berangkat dari pelabuhan muat Telukbayur dan Panjang, untuk menuju Huangpu, RRC, nenurunkan kayu lapis, dan ke Korea untuk menurunkan particle board. Lalu MV Olympic, 88 memuat particle board 500 m3, berangkat dari Banjarmasin menuju Taiwan. Masing-masing mengangkut kayu lapis milik PT Sumalindo (Astra Group) dan milik PT Bumi Raya. Terakhir, Oktober tahun lalu, adalah kapal MV Searex, mengangkut kayu lapis milik PT Daya Besar Agung, 1.900 m3, bertujuan RRC. Jusuf Hamka dari PT Daya Besar Agung (DBA) menjelaskan, kayu lapis milik perusahaannya yang dimuat oleh MV Searex itu nilainya mencapai US$ 700 ribu. MV Searex adalah kapal carteran berbendera Panama, waktu itu berangkat dari Pelabuhan Samarinda untuk menuju Huangpu, RRC. "Seharusnya dalam dua puluh hari, muatannya sudah sampai ke alamat pemesan," kata Jusuf. Yang kemudian diterima PT DBA pada pertengahan November, saat kapal diperkirakan sudah merapat ke pelabuhan tujuan, bukannya kabar tentang tibanya barang. Tapi malah berupa klaim dari mitranya di Daratan Cina itu. "Kayu lapis yang kami kirim ke sana ternyata belum sampai," tutur Jusuf. Padahal, waktu itu LC sejumlah nilai barang sudah dicairkan. Maka, "LC yang sudah kami tarik terpaksa kami kembalikan." Lalu ia melaporkan kejadian itu ke Apkindo, seterusnya ke PT Karana sebagai perusahaan yang ditunjuk Apkindo untuk keagenan angkutan yang kemudian mencarterkan kapal MV Searex, dengan ongkos US$ 30 per kubik. Instansi lain yang kemudian didatangi PT DBA adalah PT Tugu Pratama, yang ditunjuk Apkindo sebagai perusahaan asuransi ekspor. Untuk muatannya yang 2.000 m3 itu, DBA dikenai biaya asuransi US$ 2.500. Ajaib, memang, kenapa semua peristiwa yang telah merugikan pemasukan devisa sebanyak US$ 7,5 juta itu baru sekarang dikabarkan ke luar. Ketua Pelaksana Harian Apkindo A. Tjipto menerangkan, sebenarnya waktu itu sudah ada koran yang memberitakannya, tapi kecil saja. Sekarang menjadi ramai karena, menurut Tjipto, "kemarin ini, dalam suatu kursus wartawan, berita itu kemudian diangkat ke atas." Kehilangan itu sendiri, menurut Tjipto, sudah langsung dilaporkan ke Perhubungan Laut, Polri, dan Kejaksaan Agung. Karena ada dugaan, semua itu bisa juga merupakan hasil kerja sindikat internasional, interpol pun kemudian dikontak oleh Apkindo. International Marine Bureau, badan dunia yang diakui PBB, juga mereka mintai bantuannya menyelesaikan kasus raibnya lima kapal tersebut. Untuk perkara ini, para eksportir kayu lapis yang dirugikan tampaknya enggan bicara. Kecuali Jusuf Hamka, yang kemudian mengatakan bahwa pelacakan internasioinal pertama diarahkan ke Bangkok, mengingat keagenan MV Searex yang ia carter itu dikabarkan ada di sana. Ternyata hasilnya hanya menemukan sebuah "kantor" berukuran 2x3 meter, yang tak berpenghuni. Selanjutnya adalah mengejar informasi ke Filipina, sebab ada berita dari interpol negeri itu bahwa kapal Searex sudah ketangkap di pelabuhan Samboaga. Dan kemudian, setelah melalui sidang pengadilan, muatannya dinyatakan milik DBA dan Indonesia. "Sekarang masih dalam proses pengangkutan kembali," tutur Jusuf. Dalam kasus pembelokan arah tujuan kapal-kapal pengangkut kayu lapis kali ini, pihak pembeli tampaknya masih lebih untung karena bisa menagih klaim dari LC yang mereka keluarkan, mengingat para pengirimnya adalah perusahaan-perusahaan yang jelas. Jauh sebelum kasus ini muncul ke permukaan, sebenarnya dulu sudah sering terjadi hal yang mirip. Cuma, karena perusahaan pengirim di Indonesia banyak juga yang siluman alias di atas kertas belaka, klaim tak bisa dilakukan. Ini memang hasil kerja sebuah sindikat, yang jaringannya ada di Jakarta, Hong Kong, dan Tokyo. Para petualang yang berlagak jadi pemilik perusahaan kayu lapis ini, setelah mendapatkan tender pembelian lewat pialang (biasanya) di Hong Kong, akan mengajak mitranya itu meninjau lokasi -- salah satu favorit adalah di Kalimantan. Mereka menyiapkan sehuah sandiwara, melalui kerja sama dengan pabrik-pabrik kayu lapis kelas teri. Kalau perlu, sandiwara itu sampai ke pelabuhan, seolah-olah mereka sudah menyiapkan pengiriman kayu lapis. Begitu kapal berangkat, LC yang sudah dibuka oleh mitra mereka akan segera mereka uangkan. Sesudah itu mereka raib, sedangkan pihak kapalnya sendiri terserah, boleh balik ke pemilik kayu yang sebenarnya atau menjual kayu itu di pasar lain. "Dengan cara seperti ini, satu kali dapat tender, hasilnya bisa untuk hidup setahun," kata seorang pelakunya. Apa komentar INSA? Hartoto Hardikusumo, ketua umum asosiasi perkapalan nasional itu, cuma tertawa lebar ketika ditanya pasal menghilangnya kapal-kapal tadi. "Ibaratnya orang mau ke Pasar Senen, mestinya sudah tahu ada tukang copetnya. Jadi, mestinya sudah mengetahui kondisi itu," katanya. Tokoh INSA ini lalu menasihati, "sebaiknya pakailah kapal-kapal yang jelas pemiliknya, sehingga kalau ada kejadian seperti itu, si pemilik kapal langsung bisa dipegang." Ada dugaan, banyak anggota INSA yang gemar menggunakan kapal-kapal yang gurem itu, karena ongkosnya murah. Benar tidaknya dugaan begitu, wallahualam. Tapi yang agaknya pasti, raibnya lima kapal itu sendiri sungguh misterius.MC, Moebanoe Moera, Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum