Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN calon penumpang masih membeludak di kompleks pertokoan Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jumat sore dua pekan lalu. Mereka antre untuk mengambil uang pembelian tiket atau refund akibat pembatalan penerbangan sepihak PT Lion Mentari Airlines sehari sebelumnya. Jumlah penumpang semakin menumpuk karena penerbangan selanjutnya mengalami delay serupa.
Kekesalan penumpang memuncak dan berubah jadi amarah lantaran karyawan Lion di bandara itu tak terlihat bagai ditelan bumi. Di tengah protes keras penumpang, datang Djoko Murjatmodjo, Direktur Operasional dan Service PT Angkasa Pura II, di Terminal 3. Dengan wajah tegang, penumpang menyemut mengerubungi Djoko. "Silakan yang mau refund," kata Djoko kemudian.
Kehadiran Djoko sore itu melengkapi langkah yang diambil Angkasa Pura II sebagai otoritas bandara, yang memutuskan mengambil alih kewajiban Lion. Perusahaan negara ini menalangi pengembalian tiket bagi para penumpang yang terpaksa batal terbang. Uang Rp 4 miliar disiapkan karena Lion tak mampu menyediakan dana tunai. Dana talangan disediakan untuk mengantisipasi penumpang yang dikhawatirkan merusak infrastruktur bandara. "Penumpang sudah mulai bertindak kisruh," ucap Djoko.
Di tengah proses refund, Edward Sirait, Direktur Umum Lion Air, mulai muncul di terminal bandara. Dia mengatakan perusahaannya terlambat mengembalikan duit tiket dan kompensasi buat penumpang karena kesulitan mengambil uang di Bank. "Bank-bank libur Imlek. Kami tidak menyimpan Rp 20 miliar di kantor," ujarnya. Akibatnya, sebagian penumpang sempat mengamuk. Dia menambahkan, delay pada hari itu terjadi akibat mesin jet tiga pesawat mereka bermasalah lantaran kemasukan burung. "Situasi tidak terkendali."
Tapi keterlambatan parah pada Kamis dan Jumat itu sebetulnya bukan peristiwa tiba-tiba. Sejak Rabu, tanda-tanda mulai terlihat dari data kinerja ketepatan waktu atau on-time performance (OTP) pesawat-pesawat Lion yang sudah drop ke level 37 persen. Hari berikutnya, angkanya tambah jeblok jadi 22 persen. Padahal, meski Lion tercatat sebagai yang terburuk dibanding para pesaingnya, rata-rata OTP maskapai penerbangan itu tahun lalu masih di atas 73 persen.
Bagi Budhi Mulyawan Suyitno, mantan Menteri Perhubungan, masalah delay yang dihadapi Lion Air mudah diprediksi dan hampir pasti terjadi-sebagai imbas dari tak seimbangnya jumlah pesawat dan kru. Rasio ini menghitung kebutuhan pilot dan kopilot beserta awak kabinnya dengan mengacu pada batasan maksimal terbang kru per hari, per minggu, per bulan, hingga per tahun.
Seorang pengawas maskapai di Kementerian Perhubungan mengatakan normalnya satu pesawat dioperasikan 4-5 set kru, terdiri atas 8-10 pilot dan kopilot. "Ini yang diajarkan di sekolah pilot," katanya. Yang terjadi pada Lion, rasio itu jauh dari terpenuhi.
Menurut pengawas ini, kekurangan terjadi karena Lion terus mendatangkan pesawat hampir setiap bulan tanpa diimbangi penambahan jumlah kru. Sebab lain terkait dengan strategi perusahaan yang berusaha menekan jumlah awak pesawat sebagai bagian dari efisiensi maskapai berbiaya rendah. "Efisiensi kerap menabrak komponen bisnis penerbangan yang seharusnya tidak bisa ditawar lagi."
Jomplangnya rasio itu akan makin tampak bila dibandingkan dengan yang berlaku di perusahaan lain yang setara, seperti PT Garuda Indonesia Tbk. Menguasai 25 persen ceruk pasar penerbangan domestik pada 2014, Garuda Indonesia memiliki 1.300 kru, terdiri atas pilot dan kopilot. Adapun Lion, yang mendominasi dengan market share 27 persen, hanya ditopang oleh 725 awak kokpit yang mengoperasikan 100 lebih pesawat. "Keterlambatan parah itu adalah puncak gunung es dari kekurangan sumber daya manusia," ujar Budhi, Selasa pekan lalu.
Direktur Pengembangan Bisnis Lion Air Daniel Putut Kuncoro Adi membantah anggapan bahwa mereka kekurangan kru pesawat. Berbeda dengan data Kementerian Perhubungan yang mencatat di angka 725, Daniel menyebutkan jumlah pilot dan kopilot mereka 780 orang. Menurut dia, personel sebanyak itu masih memadai untuk mengoperasikan 108 unit pesawat Lion. "Jika tambah pesawat memang nanti akan kurang pilotnya."
Pembelaan terhadap Lion juga disampaikan Direktur Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan Muzaffar Ismail. Menurut dia, rasio pesawat dan kru tidak bisa dipukul rata buat setiap maskapai. Untuk Lion, kata dia, "Masih cukup."
KESULITAN Lion mengganti uang tiket pada Jumat sore itu mendapat sorotan dari mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara Said Didu. Dia menilai hal itu menunjukkan perusahaan ini mengalami persoalan finansial. Said mengatakan ketidakmampuan Lion menyediakan duit Rp 4 miliar tak sebanding dengan keberanian mereka meneken kontrak pembelian 464 unit Boeing dan Airbus bernilai lebih dari US$ 45 miliar atau sekitar Rp 565 triliun. "Aneh secara logika bisnis."
Kinerja keuangan Lion juga menjadi buah bibir di antara petinggi otoritas penerbangan sipil. Seorang pejabat di Kementerian Perhubungan mengatakan Lion diduga banyak mengeluarkan ongkos di luar operasi bisnis. Indikasinya semakin kuat ketika pemilik Lion, Rusdi Kirana, berkiprah di arena politik sebagai Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa-salah satu partai penyokong Presiden Joko Widodo.
Ketika penyusunan kabinet, Rusdi disebut-sebut salah satu kandidat yang diplot sebagai calon Menteri Perhubungan. Belakangan, Rusdi ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Namun kabar soal kegiatan politik dan kaitannya dengan keuangan Lion itu ditampik Daniel Putut Kuncoro Adi. "Saya masih terima gaji."
Kementerian Perhubungan juga dituding menganakemaskan Lion karena tak lekas menjatuhkan sanksi atas keteledoran mereka. Banyak yang kemudian membandingkannya dengan hukuman yang dengan cepat diberikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan kepada AirAsia Indonesia sebagai buntut dari kecelakaan Airbus PK-AXC QZ-8501 pada 28 Desember tahun lalu. "Ada kesan pilih kasih," ucap Dudi Sudibyo, pengamat penerbangan senior.
Mantan pejabat Kementerian Perhubungan mengatakan keistimewaan bagi Lion tak cuma berlaku kali ini. Ia menyebutkan contoh sewaktu digelar investigasi kelayakan operasi maskapai penerbangan swasta pada 2007. Aspek yang disorot di antaranya keselamatan, kepatuhan pada regulasi, dan standar keselamatan. Hasilnya, semua maskapai swasta, termasuk Lion, mendapat ponten di kisaran 60-85 persen dalam hal kepatuhan. "Tidak layak terbang," ujar mantan pejabat ini.
Namun hasil rekomendasi tim investigasi tak lagi bergigi saat menghadapi Lion. Masih menurut bekas pejabat itu, melalui berbagai kompromi dan desakan kanan-kiri, para petinggi Kementerian Perhubungan menyulap laporan dan rekomendasi tersebut menjadi sekadar sanksi berupa teguran untuk Lion.
Perihal keistimewaan ini, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, yang pekan lalu sedang berkunjung ke Eropa, tak menjawab pertanyaan Tempo yang dikirim melalui surat kepada anggota staf khususnya, Hadi Musthofa Juraid. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Suprasetyo berjanji akan memberikan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran. Tapi Suprasetyo masih harus menunggu investigasi, yang menurut dia akan kelar pada Selasa pekan ini.
Akbar Tri Kurniawan, Angga Sukma Wijaya, Khairul Anam, Odelia Sinaga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo