Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI atas tanah tinggi dekat kilometer 93 jalan tol Jakarta-Merak, antrean ribuan truk terlihat bak ular panjang. Tak ada ruang tersisa di ruas jalan bebas hambatan menuju Pelabuhan Merak, Banten, itu. Tiga lajur jalan tol penuh sesak oleh truk berbagai ukuran. Ribuan truk dengan bak tertutup terpal berisi bermacam barang dan bahan pokok yang akan menyeberang ke Lampung itu diam tak bergerak.
Sopir dan kernet hanya bisa mengobrol atau merokok sambil makan atau minum kopi. Manakala lelah mendera, mereka rebahan di pinggir jalan atau bahkan di kolong kendaraan. Pada malam hari, ruas jalan tol itu ibarat tempat perkemahan. Sopir dan kernet tidur di dalam truk atau di jalan tol sambil berselimut sarung.
Sudah lebih dari dua pekan jalan menuju Pelabuhan Merak itu macet total. Kemacetan ini memang kerap terjadi. Tahun lalu, peristiwa serupa terjadi berkali-kali. Tapi kini kemacetan dan antreannya lebih parah. Tak tanggung-tanggung, panjangnya mencapai 18 kilometer. Antrean tak terhindarkan karena kapal-kapal di Pelabuhan Merak tak sepenuhnya bisa mengangkut penumpang dan truk barang menuju Pelabuhan Bakauheni, Lampung.
Pekan lalu, antrean truk sudah jauh berkurang setelah empat kapal milik pemerintah daerah Aceh, PT Pelni, TNI Angkatan Laut, dan satu operator swasta turun membantu penyeberangan. Toh, kekusutan di Merak belum sepenuhnya terurai. Ratusan truk masih berderet di sepanjang jalan menuju Merak.
Sopir dan kernetlah yang paling merana. Sunardi, misalnya, merasakan perjalanan ke Lampung dua pekan lalu itu sebagai perjalanan yang terberat. Sepuluh tahun menjadi sopir truk, baru kali ini pria 42 tahun itu mesti menggadaikan barang demi bertahan hidup di jalan. Radio-tape, jaket kulit, dan arlojinya sementara harus mondok di salah satu warung di jalan raya Cilegon-Merak sebagai jaminan ke pemilik warung. ”Terpaksa saya simpan di situ karena uang saku saya Rp 200 ribu dari bos (pemilik truk) habis,” ujarnya kepada Tempo di Merak pekan lalu.
Urusan gadai-menggadai tak hanya dilakukan Sunardi. Fahrizal, sopir truk berusia 46 tahun, menyerahkan telepon selulernya kepada petugas PT Marga Mandala Sakti, operator jalan tol Tangerang-Merak. Pria asal Jawa Tengah ini kehabisan uang saku dan tak bisa membayar tarif tol Rp 74.500. ”Uang untuk bayar tol sudah habis dipakai makan,” kata dia, yang sudah sepekan terlunta-lunta.
Para bos angkutan juga pusing tujuh keliling karena biaya operasional melonjak. Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Organisasi Angkutan Darat (Organda) Andriansyah menghitung biaya perusahaan ekspedisi membengkak rata-rata Rp 165 juta setiap hari gara-gara waktu tempuh semakin lama. Potensi kerugian semua anggota Organda per hari mencapai Rp 1,26 miliar. ”Krisis di Merak ini terparah dalam lima tahun terakhir,” ujarnya.
PENYEBERANGAN dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni dikelola oleh PT ASDP Indonesia Ferry. Badan usaha milik negara ini mengatur perjalanan 34 kapal, dengan perincian 3 kapal milik perseroan dan 31 kapal milik operator swasta.
Masalahnya, 13 kapal feri tak bisa beroperasi. Tujuh kapal (Jagantara, Bahuga Jaya, Menggala, Titian Nusantara, Mitra Nusantara, Victorius, dan Nusa Agung) memasuki masa perawatan rutin sejak awal Februari lalu. Satu kapal, Laut Teduh, terbakar. Lima kapal lainnya, yakni Jatra III, Nusa Setia, Tribuana, Nusa Mulia, dan Mustika Kencana, masuk galangan lantaran rusak berat. ”Khusus Jatra III perlu penggantian mesin induk,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Utama ASDP Indonesia Ferry Siradjudin Saini, pekan lalu.
Seharusnya ada 21 kapal beroperasi. Celakanya, tiga kapal lain menyusul masuk galangan. Alhasil, hanya tersisa 18 kapal untuk melayani penyeberangan Merak-Bakauheni.
Berdasarkan perhitungan manajemen ASDP Indonesia Ferry, kata Siradjudin, idealnya 24 kapal beroperasi setiap hari. Dengan memperhitungkan waktu sandar 60 menit dan waktu berlayar 120 menit, feri-feri itu bisa melayani 96 penyeberangan (trip) saban hari. Dalam setiap trip, 30 truk terangkut. Tapi, dengan 18 kapal, hanya ada 67 trip atau ada kekurangan 29 trip sehari. Akibatnya, 870 truk tak terangkut setiap hari. ”Inilah yang membuat antrean panjang di sekitar Merak,” tuturnya.
Masa perawatan belasan kapal secara bersamaan tak bisa dihindari. Pengelola Pelabuhan Merak merancang Februari-Maret sebagai waktu kapal masuk galangan, karena pada periode ini biasanya sepi penumpang. Ternyata ASDP Indonesia Ferry salah duga. Jumlah penumpang dan truk yang akan menyeberang ke Bakauheni melonjak lebih dari 10 persen. ”Ini memang di luar perkiraan,” ujar Siradjudin.
Terbatasnya jumlah kapal menjadi persoalan utama. Perusahaan pelat merah ini sampai sekarang belum bisa menambah armada kapal baru di Merak. Dua tahun lalu, direksi ASDP Indonesia Ferry pernah berencana menambah tujuh kapal baru. Namun gagal. Izin membeli kapal anyar tak keluar gara-gara ada kisruh antar-anggota direksi dan juga dengan komisaris.
Tahun lalu, kisruh internal ASDP Indonesia Ferry mereda setelah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar merombak jajaran direksi dan komisaris. Baru tahun ini pengajuan empat kapal baru berbobot 5.000 gross ton diajukan lagi. Anggaran Rp 500 miliar sudah disiapkan. ”Kami belajar dari pengalaman masa lalu,” kata Siradjudin. Gayung bersambut. Menteri Mustafa memberi lampu hijau. ”Kami akan membantu perizinannya dengan berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan,” katanya kepada Yandi M.R. dari Tempo di Jakarta pekan lalu.
MINIMNYA jumlah kapal penyeberangan bukan satu-satunya penyebab krisis di Merak. Ternyata kebanyakan kapal feri yang melayani Merak-Bakauheni sudah uzur. Separuhnya buatan 1971 hingga 1985. Kapal termuda dibuat pada 1997. Performa dan keandalan kapal sebagian besar sudah menurun. Sumber Tempo menyorongkan data penting. Dua pertiga kapal kecepatannya menurun hingga enam knot. Bahkan ada kapal yang kecepatannya anjlok dari 16 knot menjadi 5 knot. Jangan heran jika waktu tempuh jadi lebih lama, apalagi saat ombak sedang besar.
Ketua Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Merak, Togar Napitupulu, tak membantah cerita ini. Namun, kata dia, kapal-kapal itu masih laik beroperasi karena perawatan ekstra.
Kondisi galangan kapal ikut pula mempengaruhi krisis di Merak. Tak semua bengkel siap memperbaiki feri dan kapal laut. Ada kapal yang masuk perawatan akhir tahun lalu belum kelar sampai sekarang. Menurut Bambang Harjo Soekartono, Presiden Direktur PT Dharma Lautan Utama, salah satu operator feri terbesar di Merak, waktu perbaikan molor dari biasanya dua minggu menjadi dua bulan. ”Saya khawatir ini terus terakumulasi,” ujarnya.
Sumber Tempo punya cerita lain. Ada operator kapal diduga sengaja mengurangi perjalanan kapalnya untuk menekan beban operasi. Akibatnya, pasokan kapal berkurang, penumpang dan truk barang tak terangkut. Sejumlah operator kapal mengaku kesulitan menutup biaya operasi. Mereka tekor lantaran penumpang dari Bakauheni menuju Merak relatif sepi. Jumlah penumpang hanya mencapai 40 persen kapasitas kapal. Operator tak mungkin menaikkan tarif karena ongkos penyeberangan penumpang dan truk barang diatur oleh Kementerian Perhubungan. ”Bagi kapal besar, kekurangan penumpang ini berarti rugi gede,” katanya.
Masuknya kapal ke galangan, kata sumber ini, merupakan langkah operator kapal mencari perhatian pemerintah agar kembali menegosiasi kenaikan tarif. Dua tahun lalu, operator feri mengajukan kenaikan tarif hingga 70 persen. Namun, Desember 2010, pemerintah hanya menyetujui kenaikan sekitar 20 persen. Siradjudin menampik dugaan ini. Absennya kapal-kapal itu, menurut dia, murni semata lantaran persoalan teknis.
Terlepas dari masalah tersebut, kata Bambang, antrean di Merak harus segera diurai. Dalam jangka pendek, volume penyeberangan harus dinaikkan dua kali lipat. Pengelola pelabuhan perlu mengelompokkan kapal-kapal berkecepatan tinggi dan berdaya angkut besar dalam satu dermaga agar kinerjanya maksimal. Selama ini, kapal dengan kecepatan berbeda dicampur dalam satu dermaga, sehingga penyeberangan dalam sehari berjalan lebih lamban. ”Ada kapal berkecepatan 12 knot harus membuntuti kapal 8 knot,” katanya. Akibatnya, dalam sehari kapal itu hanya melayani tiga kali penyeberangan, padahal seharusnya enam kali.
Dispensasi jadwal perawatan kapal, menurut Bambang, juga diperlukan. Jadwal tiga kapal yang seharusnya masuk galangan akhir bulan ini sebaiknya ditunda karena kondisinya darurat. Kementerian Perhubungan mengabulkan permintaan ini. ”Demi ketersediaan armada, pengunduran waktu perawatan secara teknis masih diizinkan,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Suroyo Alimoeso. Apa pun cara yang akan diambil, menurut Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adi Lukman, krisis di Merak harus segera diatasi. Bila tidak, pasokan barang dan bahan pangan dari Jawa ke Sumatera dan sebaliknya akan terhambat.
Fery Firmansyah, Wasiul Ulum (Merak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo