LARANGAN ekspor barang rotan setengah jadi sudah sejak beberapa bulan lalu diberlakukan. Tapi kriteria tentang itu, tampaknya, belum jelas benar. Apa yang dimaksud rotan setengah jadi dan rotan jadi? Pernah, barang-barang jadi rotan yang siap dikapalkan batal dikirim karena dinilai masih barang setengah jadi. Apa yang terjadi di pelabuhan Telukbayur, Sumatera Barat, belum lama berselang, mirip peristiwa yang disebut pertama. Di situ eksportir harus bersitegang dengan Sucofindo, yang bertindak sebagai pemeriksa barang-barang yang akan diekspor. Sebanyak 350 keranjang-bunga milik PT Sari Prima Rahardic (SPR) gagal diekspor, karena tidak memperoleh izin dari Sucofindo. Alasannya, keranjang bunga itu tidak sesuai dengan LKPS (Laporan Kebenaran Pemeriksaan Barang Ekspor Sementara). Menurut I Nyoman Moena, Direktur Sucofindo, ketika LKPS diterbitkan, keranjang rotan itu tidak bertangkai. Tapi saat akan dikapalkan, tiba-tiba saja muncul rotan asalan yang berupa lingkaran, yang menurut SPR merupakan tangkai dari keranjang bunga yang akan diekspor. Dengan adanya "partai tambahan" tersebut, Sucofindo tak mau mengeluarkan dokumen ekspor. Artinya, komoditi itu tidak memperoleh izin pengapalan. Kecuali, kalau SPR mau mengirimkan produknya tanpa tangkai, "Sebab, ketika pemeriksaan pun tangkai-tangkai itu tidak ada," kata Warlis HS, Kepala Cabang Sucofindo Padang. Apalagi, tangkai keranjang lebih merupakan rotan asalan yang belum diolah. Selain belum dipoles, tangkai-tangkai itu juga merupakan rotan mentah yang belum dicuci. "Pokoknya, sangat tidak sesuai dengan keranjangnya yang halus dan bagus itu," kata Warlis. Di sini jelas, ada perbedaan pandangan antara eksportir dan Sucofindo tentang rotan jadi. Direktur SPR, Me Jabar, berpendapat, tangkai keranjang bunga tak perlu dibikin bagus. Yang penting kuat? "Sebab, di Jepang, keranjang-keranjang itu kerap digunakan sebagai tempat buahbuahan," ujarnya. Lalu Jabar menghadap ke Kanwil Perdagangan Padang. Hasilnya, Kanwil Perdagangan setuju bahwa tangkai merupakan bagian dari itu keranjang bunga. Syaratnya, semua tangkai harus dipasangkan pada setiap keranjang yang akan diekspor. Sayang, rekomendasi yang diberikan Kanwildag tidak menolong SPR. Memang akhirnya, berdasarkan surat persetujuan dari Kanwildag, Sucofindo mau menerbitkan LKPE (Laporan Kebenaran Pemeriksaan Barang Ekspor). Tapi terlambat. Ketika dokumen itu muncul, kapal milik NV Sriwijaya -- yang akan mengangkut rotan SPR -- sudah berangkat. Jabar pun gusar. Ia, bersama seorang pengacaranya, kini telah siap menuntut ganti rugi dari Sucofindo Rp 500 juta. Harus diakui, harga 350 keranjang bunga itu hanya 10 ribu dolar (sekitar Rp 17,5 juta). Tapi, kata direktur SPR tersebut, ini menyangkut kepercayaan dari importir. "Bisa-bisa hanya karena soal seperti ini, kepercayaan konsumen pada kami hilang," ujarnya. Maklum, ekspor SPR ke Nagoya baru berlangsung enam bulan. Kalau hingga akhir tahun ini pengiriman berjalan lancar, pihak Jepang akan mengajukan pesanan senilai 1 juta dolar untuk tahun 1990. Yang pasti, untuk memenuhi pesanan, Jabar mencoba mengirimkan keranjang melalui pelabuhan Belawan, Medan. "Nah, kalau di Medan juga terhambat, kami pasti akan meneruskan tuntutan itu," ujarnya. Terlepas dari soal tuntut-menuntut, kriteria rotan jadi dan setengah jadi memang perlu diperjelas. Sebab, di situlah permasalahannya. Contohnya, ya kasus SPR. Di satu pihak, SPR sengaja memisahkan tangkai keranjang, dengan tujuan untuk menghemat pemakaian kontainer -- dari dua menjadi satu kontainer. Sementara itu, pihak Sucofindo bersikukuh bahwa yang namanya barang rotan jadi harus dikirim lengkap, tak boleh dipisah-pisah. Mana yang benar? Dalam hal ini, jawabnya ada pada Pemerintah. Setidaknya, Pemerintah harus segera merumuskan kriteria yang lebih jelas tentang rotan mana yang boleh diekspor, mana yang tidak. Tentu supaya, tidak lebih banyak lagi pengusaha atau eksportir yang merasa dirugikan. BK, Fachrul Rasyid, Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini