PRODUSEN minyak kenanga akhir-akhir ini terpukul karena harganya anjlok. Pekan lalu, harga bahan baku parfum itu -- biasa diimpor Prancis, Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang -- di Blitar cuma Rp 10.000. Padahal, "Sebulan lalu harganya masih Rp 41.000 per liter," ujar Soekar, Ketua Koperasi Industri Kerajinan Rakyat Kenanga (Koprinka) Blitar, Jawa Timur. Tak heran kalau koperasi yang membawahkan 134 orang perajin minyak kenanga itu seperti kapal dikocok badai. Anggota koperasi ingin produknya dibayar Koprinka dengan harga layak. Tapi Koprinka sulit memperjuangkan harga itu. "Lha, harus bagaimana, pengekspornya juga tak mau beli," tambah Soekar. Apalagi eksportir tak mengumpulkan minyak kenanga saja. Padahal, ada beberapa eksportir yang biasa menampung bahan baku parfum itu, yang pada 1984 pernah diekspor hampir 25 juta ton senilai lebih dari Rp 430 juta. Misalnya PT Aroma Medan, PT Jasula Wangi Jakarta, PT Sempati Raya Semarang, PT Petro Kenanga. H. Munif, Direktur Utama Petro Kenanga, anak perusahaan PT Petro Kimia Gresik, mengakui memang ada penurunan harga. Tapi cuma sekitar Rp 10 ribu. Sehingga, "Harga di tingkat petani mestinya belum sampai di bawah Rp 30 ribu," kata Munif. Ditambahkannya, Petro Kenanga sendiri menyodorkan harga Rp 37.500 per kg. Tapi pemasok belum menyetujuinya. Kalau pemasok itu petani, tentu nasib minyak kenanga tidak separah sekarang. Tangan-tangan tengkulak ternyata masih bergentayangan. Mereka menekan harga di tingkat petani sampai Rp 27.500 per kg. Dan karena Koprinka tak kuasa menampung, petani pun seperti lumpuh. Ny. Kharis, misalnya, seorang perajin yang memiliki 9 ketel penyulingan, hanya mau menjalankan sebuah ketel. Padahal, tanamannya lebih dari 250 batang kenanga, yang bisa memenuhi kapasitas ke-9 ketelnya. "Kalau dipaksakan berproduksi, percuma, karena kami rugi Rp 3.000 per liter," begitu dia mengeluh. Karena itu, Ny. Kharis lebih suka menjual kenanganya ke pasar secara eceran, ketimbang mengolahnya jadi minyak. Lain halnya Sutrisno, seorang perajin dari Desa Langon, sekitar 15 km dari Blitar. Ia sudah kehabisan akal, dan cuma bisa pasrah pada keadaan. Kecuali, "Saya terpaksa kerja sambilan untuk makan sehari-hari," katanya. Ketua Koprinka sendiri malah berdagang jagung, meskipun ia punya 6 ketel penyulingan. Sedangkan secara organisasi, Koprinka masih berani membeli sekitar 1,3 ton sehari. Itu terlalu kecil dibandingkan tahun lalu: menyerap sampai 20 ton. Biasanya pun koperasi itu membeli dengan harga kontan, bahkan sering membayar terlebih dulu (indent). Tapi akhir-akhir ini nasib minyak kenanga tak lebih baik dari gaplek. Dan Koprinka seperti kehilangan keseimbangan. Anggotanya cenderung berbuat semau sendiri, seperti Ny. Kharis yang menjual eceran. Koperasi tak bisa mencegahnya. Namun, Koprinka sudah melaporkan keadaan perajin itu kepada bupati, selain Dinas Koperasi. "Beliau akan memanggil para eksportir, supaya mereka tetap membeli minyak kenanga, untuk stok jangka panjang, sehingga perajin tak dirugikan secara sepihak," ujar Ketua Koprinka. Mudah-mudahan, minyak kenanga, yang sudah mengukir potensi Blitar sejak 1950 itu, tidak sekadar jadi kenangan. Suhardjo Hs. & M. Baharun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini