Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Proyek rumah susun yang digarap Istaka Karya menyisakan persoalan.
Istaka Karya terjerat utang karena pekerjaan subkontraktor yang tak selesai.
Ada kelebihan pembayaran kepada subkontraktor sehingga merugikan Istaka Karya.
RUMAH susun berkelir putih gading di belakang Markas Kepolisian Resor Probolinggo itu terlihat mencolok. Selain berbeda bentuk, gedung tiga lantai itu tampak berdiri sendiri dengan jarak 50 meter dari kompleks kantor polisi tersebut. Rumah susun di Jalan Raya Panglima Sudirman, Dusun Lesan, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu diperuntukkan bagi polisi yang berdinas di Polres Probolinggo. "Semua kamar terisi. Lantai 1 untuk perwira dan yang paling atas untuk anggota baru,” kata seorang polisi di gedung itu pada 6 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah susun itu rata-rata diisi polisi yang berasal dari luar Probolinggo. Gedung ini bagian dari proyek paket kedua pembangunan rumah susun Kepolisian RI garapan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2016-2017. Kontraktornya perusahaan pelat merah, PT Istaka Karya (Persero). Delapan tahun lalu, Istaka memenangi tender pembangunan rumah susun Polri dari Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan Satuan Kerja Penyediaan Rumah Susun Kementerian Pekerjaan Umum. Kontraknya berupa pengerjaan struktur, gedung rumah, hingga arsitektur berikut kelengkapan mekanis dan elektris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istaka Karya beroleh tiga paket proyek. Yang pertama adalah pembangunan rumah susun Polri dengan nomor kontrak KU.08.08/PPK-POLRI/SATKER-PRSS/RSN/POLRI 16-02/202. Proyek dengan nilai kontrak Rp 97,6 miliar itu ada di delapan lokasi. Salah satunya rumah susun di Polres Probolinggo yang digarap pada 15 Juli 2016-31 Maret 2017.
Paket kedua adalah pembangunan rumah susun Sumatera 2 dengan nomor kontrak KU.08.08/PPK-REG/SATKER-PRSS/RSN/REG 16-04/779. Nilai kontraknya Rp 39,97 miliar di tiga lokasi dengan waktu pelaksanaan proyek 15 Juli 2016-31 Maret 2017. Paket ketiga adalah rumah susun Sulawesi 2 dengan nilai kontrak Rp 44,096 miliar di dua lokasi dengan waktu pengerjaan 17 Februari-31 Desember 2016.
Kantor Bina Karya Mandiri yang tercatat berada di Wisma Yakyf lantai 4, Jakarta Selatan, 9 Februari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Untuk menggarap tiga proyek ini, Istaka Karya melibatkan sejumlah perusahaan subkontraktor. Dalam proyek rumah susun Polri, misalnya, Istaka menggandeng PT Georeksa Cartotama dan PT Bina Karya Mandiri Sejahtera. Dalam proyek rumah susun Sumatera 2, ada PT Alamanda Sakti dan PT Bina Karya Mandiri Sejahtera. Sedangkan proyek rumah susun Sulawesi 2 dikerjakan bersama dengan PT Inti Kharisma Jaya dan PT Bina Karya Mandiri Sejahtera.
Semestinya proyek-proyek itu selesai kurang dari satu tahun. Tapi penggarapan proyek oleh setiap subkontraktor molor melebihi waktu yang ditentukan. Seorang mantan pejabat Istaka Karya mengatakan saat itu ada pemberian waktu tambahan, tapi kebanyakan perusahaan subkontraktor mitra perseroan angkat tangan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun akhirnya mengambil alih proyek dan menunjuk dua perusahaan pelat merah lain, yaitu PT Waskita Karya (Persero) dan PT Brantas Abipraya (Persero), untuk menyelesaikan sisa pekerjaan.
Meskipun proyek belum sepenuhnya kelar, menurut pejabat tersebut, Istaka Karya ketika itu sudah menerima seluruh pembayaran. Walhasil, tatkala sisa pekerjaan dialihkan kepada Waskita Karya dan Brantas Abipraya, tanggung jawab pembayaran tetap dibebankan kepada Istaka. “Pembayaran saat itu bersifat at cost,” ucapnya.
Kondisi ini menimbulkan masalah baru. Menurut mantan petinggi Istaka Karya, rata-rata subkontraktor menerima pembayaran nyaris penuh meski pekerjaan mereka baru rampung kurang dari separuh. Akhirnya Dewan Komisaris Istaka meminta direksi mengaudit proyek rumah susun itu dengan melibatkan akuntan publik HGK (Hertanto, Grace, Karunawan).
Dalam laporan hasil audit yang disampaikan pada 19 Maret 2018, tercatat perkiraan kerugian Istaka Karya dari tiga proyek rumah susun itu sebesar Rp 56,486 miliar. Sebanyak Rp 48,225 miliar di antaranya adalah jumlah kelebihan pembayaran kepada subkontraktor yang pertama kali menggarap proyek.
Laporan audit itu juga menyebutkan ada kesalahan prosedur penagihan kepada pemberi kerja serta pembayaran kepada subkontraktor pertama. “Walaupun berita acara penagihan yang diajukan dengan dokumen pendukung lengkap, data yang diberikan tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” demikian petikan laporan itu.
Dari jumlah tersebut, nilai kelebihan pembayaran kepada subkontraktor proyek rumah susun Polri mencapai Rp 30,99 miliar. Adapun angka kelebihan pembayaran kepada subkontraktor rumah susun Sumatera 2 mencapai Rp 112 juta dan subkontraktor proyek rumah susun Sulawesi 2 sebesar Rp 17,119 miliar.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo (ketiga kiri) saat konferensi pers terkait perkembangan pembubaran tujuh BUMN di Jakarta, 29 Desember 2023. Dok.BUMN
Selain ada masalah kelebihan pembayaran, Istaka Karya terjerat utang karena mengalihkan pekerjaan yang tak diselesaikan para subkontraktor kepada perusahaan lain. Kepada Waskita Karya, Istaka berutang Rp 22,493 miliar. Sedangkan utang kepada Brantas Abipraya mencapai Rp 37,43 miliar. Secara keseluruhan, kerugian dari pengerjaan proyek rumah susun sebesar Rp 116,411 miliar. Kerugian semacam ini yang menyebabkan Istaka berdarah-darah, pailit, dan akhirnya dibubarkan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2023.
Imam Masyhudi, yang menjabat Direktur Keuangan Istaka Karya saat proyek itu berjalan, tidak memberi tanggapan. Demikian pula eks Kepala Divisi Operasi Istaka Karya, Bambang Eko Prabowo, dan manajer proyek rumah susun Polri, Heru Prianggodo. Sedangkan Yudi Kristianto yang menjabat Sekretaris Perusahaan Istaka Karya sebelum badan usaha milik negara ini dilikuidasi mengaku mengetahui adanya kerugian besar dari proyek tersebut. “Kami sempat meminta legal opinion dari ahli hukum dan ditemukan pelanggaran yang tidak sesuai dengan aturan perusahaan milik negara,” tuturnya pada 10 Februari 2024.
•••
KASUS kelebihan pembayaran dan utang bertumpuk adalah contoh persoalan yang menjerat Istaka Karya menjelang akhir hayatnya. Perusahaan konstruksi pelat merah atau BUMN karya ini sudah lama mengalami masalah keuangan sampai akhirnya menghadapi penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU pada 2013. Dalam upaya memperbaiki kinerja Istaka setelah adanya PKPU, Sigit Winarto diangkat sebagai direktur utama pada 2017, saat posisi utang perusahaan mencapai Rp 881 miliar.
Dengan beban utang masa lalu yang sangat besar, ditambah kondisi perusahaan yang makin terpuruk lantaran pandemi Covid-19, Istaka Karya tidak mampu memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo pada akhir 2021. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memutuskan membatalkan perjanjian perdamaian atau homologasi pada 12 Juli 2022. Istaka Karya lantas dinyatakan pailit.
Pada 2020, Kementerian Badan Usaha Milik Negara sebenarnya sudah mengupayakan penyehatan Istaka Karya melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Kepala Komunikasi PPA Muhammad Iqbal bercerita, untuk menyehatkan Istaka Karya, ada tahap restrukturisasi keuangan dengan memperhatikan aspek hukum, sosial, bisnis, dan keuangan. "Hasil asesmen tersebut menjadi dasar pertimbangan yang kuat dalam menentukan arah penanganan perusahaan, apakah akan direstrukturisasi, digabungkan, dicarikan investor strategis, atau dibubarkan,” katanya. Istaka rupanya menghadapi opsi terakhir.
Menurut laporan keuangan 2021 Istaka Karya, total asetnya yang tercatat senilai Rp 514 miliar. Adapun daftar yang disahkan pengadilan menyebutkan Istaka memiliki kewajiban atau utang Rp 783 miliar. Menurut Iqbal, saat ini penyelesaian kewajiban kepada semua kreditor Istaka Karya dilakukan dengan mengedepankan asas keadilan, sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan dan skema PKPU. “Mengenai jadwal pembayaran kepada para kreditor Istaka, silakan menghubungi kurator yang berwenang atas pengelolaan aset Istaka Karya,” ujarnya.
•••
PERSOALAN yang membebani Istaka Karya, seperti kelebihan pembayaran kepada subkontraktor, rupanya adalah buntut dari proses pemilihan mitra yang tak sesuai dengan prosedur. Dalam “Laporan Reviu Akuntan Independen Nomor 001.03.02/RVU-IK/HGK.HO-2018” tertanggal 19 Maret 2018, tertera informasi tentang adanya penunjukan langsung terhadap subkontraktor untuk proyek rumah susun Sumatera 2 dan Sulawesi 2. Adapun penunjukan subkontraktor rumah susun Polri hanya didasari negosiasi penyusunan evaluasi harga. “Dan tidak mengikuti prosedur pengadaan subkontraktor berdasarkan tender,” demikian petikan laporan tersebut.
Tercatat ada empat subkontraktor dalam proyek-proyek tersebut, yaitu Bina Karya Mandiri Sejahtera, Georeksa Cartotama, Alamanda Sakti, dan Inti Kharisma Jaya. Dari keempatnya, hanya Bina Karya Mandiri Sejahtera yang terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
Dalam akta terakhir, Bina Karya Mandiri Sejahtera dipimpin oleh Rosandy sebagai direktur utama, Winny Gayatri Maruf sebagai direktur, dan Purwanto sebagai komisaris. Posisi direktur utama perusahaan yang berdiri pada 2014 ini sebelumnya dipegang Maulana Farhan. Maulana menjabat hingga Maret 2021 atau saat Bina Karya Mandiri mengerjakan proyek rumah susun Istaka Karya.
Tempo mendatangi kantor Bina Karya Mandiri yang tercatat berada di Wisma Yakyf lantai 4, Buncit Raya, Jakarta Selatan. Namun rupanya kantor tersebut sudah kosong cukup lama. Hanya terlihat beberapa meja-kursi yang agak berantakan di ruangannya. Seorang petugas keamanan gedung mengatakan Bina Karya Mandiri sudah meninggalkan Wisma Yakyf sebelum terjadi pandemi Covid-19. “Sekitar empat tahun lalu. Banyak yang mencari mereka, sampai pernah ada polisi datang," ucap petugas yang enggan disebut namanya itu.
Penelusuran ke alamat kantor perusahaan subkontraktor lain pun berbuah nihil. Berdasarkan data yang diperoleh Tempo, sejumlah perusahaan ini memiliki hubungan dengan Wirawan Prasodho, mantan Kepala Divisi Pemasaran Istaka Karya. Di PT Georeksa Cartotama, misalnya, tercatat nama Fransisca E. Andriani yang merupakan istri Wirawan.
Beberapa perwakilan Georeksa Cartotama yang menjadi pelaksana lapangan terafiliasi dengan PT Putra Karindo, perusahaan yang menempatkan Fransisca sebagai direktur. Saat dimintai konfirmasi, Fransisca mengatakan sudah tak lagi memiliki jabatan di Georeksa. “Maaf, sudah tidak lagi,” tuturnya melalui pesan WhatsApp pada 10 Februari 2024. Sedangkan upaya konfirmasi kepada Wirawan tak mendapat respons.
Setelah proses audit independen berjalan, manajemen Istaka Karya menerbitkan laporan cut-off atau pemisahan catatan transaksi dari periode sebelumnya ke periode berjalan untuk menjadi bagian dari laporan serah-terima tugas. Upaya ini dilakukan setelah terbit Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-105/MBU/06/2017 tentang pemberhentian dan penggantian anggota direksi Istaka pada 5 Juni 2017.
Dalam laporan hasil cut-off Istaka Karya per 30 Juni 2017, pembangunan rumah susun masuk daftar proyek yang mengalami keterlambatan pelaksanaan. Dalam laporan tersebut juga disebutkan soal kelebihan pembayaran kepada subkontraktor. Menurut laporan itu, kelebihan pembayaran terjadi lantaran perusahaan subkontraktor meminta bayaran setelah pihak pemberi kerja membayar Istaka. Sedangkan Istaka melakukan pembayaran tanpa didasari pemeriksaan riil di lapangan. “Istaka Karya melakukan pembayaran berdasarkan instruksi lisan dari kantor pusat dan dokumen pembayaran,” demikian isi laporan itu.
Laporan itu menyebutkan nilai kelebihan pembayaran kepada Bina Karya Mandiri Sejahtera mencapai Rp 15,297 miliar, Inti Kharisma Rp 5,237 miliar, dan Georeksa Cartotama Rp 3,233 miliar. Dengan demikian, total kelebihan pembayaran kepada para subkontraktor dalam laporan cut-off mencapai Rp 23,768 miliar.
Tempo berupaya meminta tanggapan tentang laporan cut-off kepada Sri Maharti, yang ketika itu menjabat Kepala Divisi Keuangan Istaka Karya. Sri adalah pejabat yang menyusun laporan tersebut. Namun, saat dimintai tanggapan pada 7 Februari 2024, dia membantah adanya kelebihan pembayaran. Belakangan, dia tak mengakui soal dokumen laporan cut-off yang ditandatanganinya pada 31 Agustus 2017. “Tidak ada lebih bayar.”
Masalah ini dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pada pertengahan tahun lalu. Saat dimintai konfirmasi, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri tak memberikan jawaban. Namun Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Sinulingga memastikan pengusutan kasus dugaan korupsi tersebut tetap berjalan walau Istaka Karya sudah dibubarkan pemerintah. “Bukan berarti kalau perusahaannya sudah bubar kasus hukumnya bubar. Lanjut terus,” katanya pada 7 Februari 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ambyar Lantaran Lebih Bayar"