Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para vendor dan subkontraktor Istaka Karya memiliki tagihan hingga Rp 800 miliar.
Kepailitan Istaka Karya membuat dana para vendor dan subkontraktor tersangkut.
Pengusaha difabel di Yogyakarta menjadi korban Istaka Karya.
SAMBIL terbata-bata, Joeliman Notokoesoemo mengisahkan upayanya selama lebih dari sepuluh tahun menagih piutang kepada PT Istaka Karya (Persero). Karena haknya tak kunjung dibayarkan oleh Istaka, pria 84 tahun ini terpaksa melego dua rumahnya di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, untuk menutup utang modal kerja dari bank. Tak hanya itu, Oktober tahun lalu, Joeliman terserang stroke. “Habis semua,” bapak tiga anak ini bercerita kepada Tempo, 6 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joeliman dan istrinya, Estiningrum, kini tinggal di kediaman besan mereka yang telah berpulang. Sebelum keuangannya amburadul, Joeliman dan istrinya menjalankan PT Trimatra Bias Inti, perusahaan jasa arsitektural aluminium, kaca, dan aluminium composite panel. Trimatra Bias yang biasa membuat kosen jendela, panel pintu, hingga aluminium penutup gedung sering menggarap proyek swasta ataupun badan usaha milik negara sejak 1994. Joeliman menjabat komisaris utama, sementara Estiningrum menduduki posisi direktur utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trimatra Bias bekerja sama dengan Istaka Karya dalam sejumlah proyek, antara lain pembangunan gedung Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan serta kantor Bea dan Cukai di Jakarta Timur; kantor sejumlah bank; hanggar Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten; dan beberapa rumah susun sederhana sewa. Terakhir, sebelum Istaka pailit, Trimatra Bias ikut mengerjakan pembangunan gedung Kantor Imigrasi Kelas I di Jakarta Selatan pada 2011.
Berbagai upaya ditempuh Joeliman untuk menagih sisa pembayaran dalam proyek-proyek tersebut kepada Istaka Karya. Namun langkahnya terhenti di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, ketika Istaka masuk proses penundaan kewajiban pembayaran utang. Pada Desember 2016, Trimatra Bias mendapat surat dari manajemen BUMN karya tersebut tentang putusan pengesahan perdamaian (homologasi).
Dalam surat itu disebutkan saldo utang Istaka Karya kepada Trimatra Bias Inti senilai Rp 723 juta akan dikonversi menjadi penyertaan saham sementara (equity). Saham itu bersifat sementara, yang dapat ditarik kembali. Pemegang saham jenis ini tidak berhak atas dividen dan tak memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang saham. Putusan ini membuat Joeliman kecewa karena berarti tagihannya seperti dibekukan. Kini, di tengah derita akibat stroke, dia terus berupaya menagih haknya dengan berbagai cara.
Korban lain Istaka Karya adalah JHS-Saeti Group—produsen produk beton precast, pengembang properti, sekaligus kontraktor infrastruktur. Dua perusahaan di bawah grup JHS-Saeti memiliki piutang di Istaka, yakni PT Saeti Beton Pracetak senilai Rp 1,16 miliar dan PT Saeti Concretindo Wahana sebesar Rp 4,91 miliar.
Grup JHS-Saeti turut menggarap sejumlah proyek Istaka Karya. Salah satunya jalan tol Sedyatmo yang rampung pada 2012. Saat itu jalan akses ke Bandara Soekarno-Hatta itu terendam banjir rob. Pemerintah pun membangun infrastruktur jalan tol baru di sisi kiri-kanan jalan yang sudah ada dengan konstruksi layang. Namun hingga kini pembayaran atas pekerjaan tersebut belum beres. "Padahal proyek ini sudah selesai 12 tahun lalu," kata Rizky P., penasihat perusahaan JHS-Saeti Group. Perusahaan ini juga memiliki tagihan atas pengerjaan jalan tol Bawen di Jawa Tengah serta jembatan Cut Meutia dan rumah susun Jatiwarna di Kota Bekasi, Jawa Barat.
•••
BAMBANG Susilo bersuara lantang di acara “Tabrak, Prof!”, forum diskusi dan konsultasi hukum dengan narasumber Mahfud Md., mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan sekaligus calon wakil presiden yang bertarung dalam Pemilihan Umum 2024. Pada Senin malam, 5 Februari 2024, acara tersebut berlangsung di Koat Kopi Seturan, Yogyakarta.
Bambang, Ketua Persatuan Rakyat Korban BUMN Istaka Karya (Perkobik), memanfaatkan pertemuan dengan Mahfud untuk menumpahkan unek-uneknya tentang nasib para subkontraktor dan vendor proyek Istaka. Dalam pertemuan itu, dia mengatakan 300 anggota Perkobik memiliki tagihan kepada Istaka senilai Rp 800 miliar. Sebagian besar dari mereka yang berstatus pengusaha kecil dan menengah tak kunjung mendapatkan hak mereka karena Istaka pailit.
Ketua Persatuan Rakyat Korban BUMN Istaka Karya (Perkobik) Bambang Susilo (kanan) berdialog dengan Mhfud MD di acara “Tabrak, Prof!”, di Koat Kopi Seturan, Yogyakarta, 5 Februari 2024. Dok. Bambang Susilo
Bambang pun menilai Istaka Karya berlindung di balik Undang-Undang Kepailitan. “Memailitkan diri agar tidak membayar utang kepada rakyat. Lawan!” suaranya yang memekik disambut riuh peserta diskusi. Bambang adalah pengusaha difabel—dengan beberapa karyawan difabel pula—yang menjadi korban letusan Gunung Merapi beberapa tahun lalu. Ia salah satu pemasok batu untuk fondasi proyek underpass Kentungan di Jalan Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam proyek itu, Bambang memasok batu hingga 2.000 meter kubik senilai Rp 2 miliar. Awalnya tak ada masalah. Pembayaran lancar, meski lama. Tapi belakangan pencairan dana mandek. Padahal Bambang masih harus membayar cicilan utang bank untuk modal kerja menggarap proyek Kentungan. Kini rumah Bambang satu-satunya terancam disita bank. Beberapa pengusaha difabel lain korban letusan Gunung Merapi—bergabung dalam Perkumpulan Pengusaha Disabilitas Indonesia—juga memasok material untuk proyek Kentungan. “Ada yang menggarap beton, memasok besi, dan lainnya,” tutur Bambang.
Proyek underpass Kentungan dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VII Jawa Tengah. Pembangunan jalan lintas bawah sepanjang 900 meter itu dimulai pada 2018 dengan biaya sekitar Rp 110 miliar. Simpang empat Kentungan menjadi simpul kepadatan lalu lintas Kota Yogyakarta. Proyek jalan ini diharapkan dapat mengurai kemacetan menuju kawasan wisata Kaliurang dan Yogyakarta International Airport. “Proyek ini turut memperlancar perjalanan Prof Mahfud ke bandara,” ujar Bambang.
Ketika pekerjaan rampung pada akhir 2019, Bambang mengatakan, kantor perwakilan Istaka Karya di Kentungan sudah tutup. Ia pun mengurus tagihan ke kantor pusat Istaka di Jakarta, tapi “dilempar” ke sana-sini. Nasib membawanya bersama ratusan kreditor lain ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk menagih pembayaran proyek Istaka.
Babak baru perjuangan pun dimulai. Para vendor korban Istaka Karya yang berhimpun dalam Perkobik menggelar unjuk rasa di depan kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara pada 15 Maret 2023. Mereka menuntut tanggung jawab Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menuntaskan kewajiban Istaka.
Namun bukan solusi yang diperoleh dari pemerintah. Dua hari setelah aksi tersebut, Perkobik mendapat kiriman dokumen peraturan pemerintah yang berisi informasi pembubaran Istaka Karya. Perkobik berencana menggelar aksi lanjutan di Istana Merdeka, tapi tidak mendapat izin. Akhirnya mereka hanya berorasi di sekitar patung kuda dekat gedung Bank Indonesia, Jakarta Pusat.
Kementerian BUMN sempat menyatakan akan menyiapkan solusi. Pemerintah akan mendorong perusahaan negara dan Perusahaan Pengelolaan Aset menyelesaikan utang Istaka kepada kreditor, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah. "Insya Allah, kami akan menuntaskan masalah yang sebenarnya sudah ada sebelum kami menjabat di Kementerian BUMN," kata Menteri Erick Thohir dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Rencananya, para korban pelaksana pembangunan infrastruktur akan mengeluarkan petisi yang menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera membentuk panitia kerja penyelesaian pembayaran utang Istaka Karya. "Kaum penyandang disabilitas menjadi korban buruknya BUMN, yang seharusnya memakmurkan rakyat,” tutur Bambang.
Menurut Bambang, ada banyak korban proyek infrastruktur. Mereka menjaminkan aset untuk mendapatkan modal kerja dari bank. Tapi, setelah proyek rampung, BUMN mitra mereka seperti Istaka Karya malah dilikuidasi. Dia khawatir skema serupa akan diterapkan terhadap BUMN lain yang bermasalah. “Kami tidak tahu harus menagih uang kami ke mana. Rakyat akan menjadi tumbal.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Macet Piutang Berbuntut Utang"