KAWASAN di sekitar 148 lampu lalulintas di seluruh DKI Jakarta
kini jadi sumber keresahan. Bahkan 16 di antaranya menurut pihak
Kepolisian Metro Jaya dipandang rawan: sering terjadi penodongan
dan bentuk kejahatan lainnya. "Orang mendekati lampu lalulintas
sudah terpaksa menutup kaca mobilnya," kata Letkol Polisi RA
Tonang, Kepala Seksi Penerangan Kodak Metro Jaya.
Itu sudah cukup jadi alasan buat Wapangab/Pangkopkamtib
Laksamana Sudomo untuk memerintahkan Brigjen Polisi Anton
Soedjarwo, Kadapol Metro Jaya agar melakukan penertiban,
baru-baru ini. Brigjen Pol. Soedjarwo dikasih waktu 3 bulan. Ia
optimis berhasil melaksanakan perintah itu.
Tapi pelaksanaan perintah yang berupa larangan berjualan itu
membikin resah para penjaja koran eceran yang beroperasi di
sekitar lampu lalulintas. Setidaknya, itulah cerita Nur Anas
yang menghimpun sekitar 45 anak pengecer koran yang beroperasi
di lampu lalulintas Bunderan Senayan, Pintu IX, CSW, Pasar Santa
dan Tegal Parang.
Menurut Nur Anas, 36 tahun, biasanya sehari ia bisa menghabiskan
5000 eksemplar koran. Kini setelah ada larangan bocah-bocah itu
berjualan koran di sekitar lampu lalulintas, omzetnya merosot
jadi sekitar 800 eksemplar saja. Hingga ia kini tak lagi
membagi-bagi koran untuk ke 45 anak-anak yang kebanyakan juga
ikut mondok di rumah kayunya yang bertingkat dua yang bertengger
ditepi kali Krukut di kawasan Karet Tengsin.
Ketua Pelaksana Harian PWI Pusat Harmoko juga menggerutu. Dia
mengatakan baru-baru ini bahwa Pos Kota, korannya, menurun 5
sampai 70 setelah ada larangan bagi penjual koran di sekitar
lampu lalulintas itu.
Begitu menurunkah oplah koran dan majalah karena larangan
berjualan di lampu lalulintas? "Omong kosong," tukas Letkol
Polisi drs. Kusparmono Irsan, Komandan Satuan Reserse Kodak
Metro Jaya. Menurut Kusparmono sistim distribusilah yang
seharusnya diperbaiki. "Pembeli koran dan majalah sebenarnya
banyak, tapi karena mereka sulit didapat, orang mencarinya di
lampu la-lulintas," kata Kusparmono.
Yang agaknya kurang dipikirkan ialah bahwa tempat lampu
lalulintas merupakan pasar yang tumbuh secara wajar: kendaraan
berhenti disana sejenak. Si sopir baru punya waktu membeli koran
di situ, dan di situ pulalah si penjaja datang. Salahkah mereka?
Setelah larangan terjadi, konon polisi punya jalan keluar. Anton
Sudjarwo menyatakan akan memanggil para pemilik pompa bensin
agar para penjual koran bisa beroperasi di sana. Ini merupakan
realisasi pertemuan antara Kadapol dengan para pemimpin redaksi,
2 Agustus lalu. Tapi di pertemuan segitiga antara Kodak Metro
Jaya, wakil Pemda DKI dan PWI Jaya, Zulharmans dari PWI Jaya
yang mewakili Harmoko belum berani ambil keputusan karena belum
berkonsultasi dengan SPS' "Realisasinya masih menunggu SPS,"
ujar RA Tonang.
Si Bungsu
Tapi sementara menunggu, Zainudin sudah ketiban sial lebih dulu.
Pagi 22 Juli lalu, beberapa hari setelah keluar larangan Kadapol
Metro Jaya, Zainudin, 16 tahun, bersama Sujak dan Taufik
teman-temannya masih mencoba jualan koran di lampu lalulintas
Tegal Parang, Jakarta Selatan. Tentu saja "para pembangkang" itu
tak ayal lagi dikejar anak buah Brigjen Pol Anton Soedjarwo.
Zainudin, si bungsu dari 6 bersaudara anak keluarga petani
melarat asal desa Pandansari, Kecamatan Warung Asem, Batang itu,
lari terbirit-birit menyelamatkan diri dari kejaran polisi.
Malang. Sebuah bis Gamadi menggilasnya di seberang kantor PT
Krakatau Steel. Bocah tamatan SD yang merantau ke Jakarta 3
tahun lewat itu menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan
kedua temannya itu dalam perjalanan ke RSCM.
Menurut cerita Nur Anas, Zainudin sehari biasa menghabiskan 60
koran pagi dan sore. Dengan kelebihan rata-rata Rp 500 sehari
biasanya ia bisa mengirim ke orang tuanya sekitar Rp4.000
sebulan. Kini yang ada hanya kesedihan, dan ketakutan
orang-orang kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini