Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Matinya Seorang Penjaja

Dengan terjadinya penodongan disekitar lampu lalu lintas, Sudomo memerintahkan Anton Sujarwo untuk menertibkan daerah-daerah itu dari penjaja koran. Penjaja menjadi resah & menjadi korban pengejaran polisi.(md)

12 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN di sekitar 148 lampu lalulintas di seluruh DKI Jakarta kini jadi sumber keresahan. Bahkan 16 di antaranya menurut pihak Kepolisian Metro Jaya dipandang rawan: sering terjadi penodongan dan bentuk kejahatan lainnya. "Orang mendekati lampu lalulintas sudah terpaksa menutup kaca mobilnya," kata Letkol Polisi RA Tonang, Kepala Seksi Penerangan Kodak Metro Jaya. Itu sudah cukup jadi alasan buat Wapangab/Pangkopkamtib Laksamana Sudomo untuk memerintahkan Brigjen Polisi Anton Soedjarwo, Kadapol Metro Jaya agar melakukan penertiban, baru-baru ini. Brigjen Pol. Soedjarwo dikasih waktu 3 bulan. Ia optimis berhasil melaksanakan perintah itu. Tapi pelaksanaan perintah yang berupa larangan berjualan itu membikin resah para penjaja koran eceran yang beroperasi di sekitar lampu lalulintas. Setidaknya, itulah cerita Nur Anas yang menghimpun sekitar 45 anak pengecer koran yang beroperasi di lampu lalulintas Bunderan Senayan, Pintu IX, CSW, Pasar Santa dan Tegal Parang. Menurut Nur Anas, 36 tahun, biasanya sehari ia bisa menghabiskan 5000 eksemplar koran. Kini setelah ada larangan bocah-bocah itu berjualan koran di sekitar lampu lalulintas, omzetnya merosot jadi sekitar 800 eksemplar saja. Hingga ia kini tak lagi membagi-bagi koran untuk ke 45 anak-anak yang kebanyakan juga ikut mondok di rumah kayunya yang bertingkat dua yang bertengger ditepi kali Krukut di kawasan Karet Tengsin. Ketua Pelaksana Harian PWI Pusat Harmoko juga menggerutu. Dia mengatakan baru-baru ini bahwa Pos Kota, korannya, menurun 5 sampai 70 setelah ada larangan bagi penjual koran di sekitar lampu lalulintas itu. Begitu menurunkah oplah koran dan majalah karena larangan berjualan di lampu lalulintas? "Omong kosong," tukas Letkol Polisi drs. Kusparmono Irsan, Komandan Satuan Reserse Kodak Metro Jaya. Menurut Kusparmono sistim distribusilah yang seharusnya diperbaiki. "Pembeli koran dan majalah sebenarnya banyak, tapi karena mereka sulit didapat, orang mencarinya di lampu la-lulintas," kata Kusparmono. Yang agaknya kurang dipikirkan ialah bahwa tempat lampu lalulintas merupakan pasar yang tumbuh secara wajar: kendaraan berhenti disana sejenak. Si sopir baru punya waktu membeli koran di situ, dan di situ pulalah si penjaja datang. Salahkah mereka? Setelah larangan terjadi, konon polisi punya jalan keluar. Anton Sudjarwo menyatakan akan memanggil para pemilik pompa bensin agar para penjual koran bisa beroperasi di sana. Ini merupakan realisasi pertemuan antara Kadapol dengan para pemimpin redaksi, 2 Agustus lalu. Tapi di pertemuan segitiga antara Kodak Metro Jaya, wakil Pemda DKI dan PWI Jaya, Zulharmans dari PWI Jaya yang mewakili Harmoko belum berani ambil keputusan karena belum berkonsultasi dengan SPS' "Realisasinya masih menunggu SPS," ujar RA Tonang. Si Bungsu Tapi sementara menunggu, Zainudin sudah ketiban sial lebih dulu. Pagi 22 Juli lalu, beberapa hari setelah keluar larangan Kadapol Metro Jaya, Zainudin, 16 tahun, bersama Sujak dan Taufik teman-temannya masih mencoba jualan koran di lampu lalulintas Tegal Parang, Jakarta Selatan. Tentu saja "para pembangkang" itu tak ayal lagi dikejar anak buah Brigjen Pol Anton Soedjarwo. Zainudin, si bungsu dari 6 bersaudara anak keluarga petani melarat asal desa Pandansari, Kecamatan Warung Asem, Batang itu, lari terbirit-birit menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Malang. Sebuah bis Gamadi menggilasnya di seberang kantor PT Krakatau Steel. Bocah tamatan SD yang merantau ke Jakarta 3 tahun lewat itu menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan kedua temannya itu dalam perjalanan ke RSCM. Menurut cerita Nur Anas, Zainudin sehari biasa menghabiskan 60 koran pagi dan sore. Dengan kelebihan rata-rata Rp 500 sehari biasanya ia bisa mengirim ke orang tuanya sekitar Rp4.000 sebulan. Kini yang ada hanya kesedihan, dan ketakutan orang-orang kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus