MASALAH pengeras suara di mesjid-mesjid sebenarnya sudah lama
dipergunjingkan. Sastrawan Ali Audah, misalnya, kalau tak salah
orang yang pertama kali menulis soal itu di Harzan Kami di tahun
1969. Berikutnya Hasbullah Bakry.
Umumnya orang cenderung salah faham. Menyangka bahwa suara
azan, ayat suci dan sebagainya itu "sedang akan dibatasi"
dengan cara melarang pengeras suara. Atau bahwa soalnya pun
menjadi sedikit "peka".
Sementara itu lewat mikrofon dari pucuk mesjid-mesjid -- seperti
terlihat di Jakarta -- orang berteriak-teriak seenaknya.
Memanggil-manggil nama orang, memutar lagu gambus, berkhotbah
sendirian pada jam 3.00 malam, apa lagi di bulan puasa. Kalau
perlu bedug diturunkan dan digebugi beramai-ramai sambil jalan
-- mulai jam 11 malam.
Konon tanah-tanah di sekitar mesjid terkenal sebagai tidak
tinggi harganya, dan untuk orang asing, hanya yang sangat
melarat atau rada senewen sajalah yang suka tinggal di situ.
Tapi tak seorang berani mengeluh. Masalahnya seakan-akan "peka".
Karena itu, ketika diadakan lokakarya tentang Ketentuan
Penggunaan Pengeras Suara di Mesjid/Mushalla oleh P2A Pusat
(Pembinaan Perikehidupan Beragama Islam) dari Ditjen Bimas Islam
Departemen Agama, sebagian panitia sendiri pada heran. Mereka
menyangka sidang akan berjalan sengit. Ternyata . . . malah
kebalikannya.
Adapun sebabnya, tak begitu pentinglah. Tapi berikut ini adalah
keputusan yang ditandatangani oleh 22 nama, yakni sebagian dari
hadirin yang terdiri dari bermacam organisasi Islam.
Untuk tujuh orang penandatangan pertama bisa dibaca nama-nama KH
Syukri Gozali dan KH Hasan Basri dari Majlis Ulama Indonesia, KH
Rahmatullah Siddik dan KH Gozali Sahlan dari MU DKI, KH Muchtar
Natsir (Departemen Agama), H. Soedirman (PTDI), KH M.S.
Rahardjodikromo (Dewan Kemakmuran Masjid -- Pusat).
Di antara keputusannya dapat dipetik, bahwa penggunaan pengeras
suara ke luar oleh mesjid, langgar dan mushalla hanya
diperuntukkan untuk adzan pada waktunya. Kecuali pada waktu
shubuh adzan pertama dilakukan paling awal 15 menit sebelumnya.
Atau untuk membaca Qur'an menjelang shubuh paling lama 12 menit
sebelumnya. Atau untuk takbir 'Idul Fithri dan 'Idul Adha.
Di samping itu diputuskan, bahwa pengeras suara tidak digunakan
ke luar mesjid, langgar atau mushalla untuh dzikir dan lain-lain
yang dapat mengganggu orang-orang yang beribadah atau tidur,
seperti dengan pengumuman-pengumuman, panggilan untuk bangun dan
sebagainya.
Adapun di antara berbagai kitab yang disebut-sebut selama
lokakarya ini, dalam lampiran keputusan ada dinukilkan beberapa
buah kutipan.
Salah satu ialah dari iqna' dan syarahnya. Dalam kitab itu
disebut, bahwa selain adzan, maka pemberitahuan sebelum fajar
seperti dengan tasbih, puji-pujian, doa dengan suara keras dan
seumpamanya di atas menara, bukanlah sesuatu yang disunnahkan.
Tidak seorang ulama pun berkata hal itu disukai. Bahkan termasuk
perbuatan bid'ah yang dibenci, karena tidak terjadi pada zaman
Rasulullah maupun sahabatnya dan tidak ada dasar.
Yang lebih penting dan lebih terkenal ialah satu cerita dari As
Sunan wal Mubtada'at: Pernah Saidina Ali keras-keras membaca
shalat dan doanya di samping orang tidur, maka Rasullullah
menegurnya "Bacalah untuk dirimu sendiri. Karena engkau tidak
menyeru Tuhan yang tuli serta jauh, tetapi menyeru Allah Yang
Maha Mendengar dan Dekat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini