Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Masa Baru Dalam Dakwah, Mudah-mudahan

SK Menteri Agama no.44/1978, menyatakan da'wah agama, kuliah subuh lewat radio tidak memerlukan izin. Semoga hal ini menimbulkan suasana baru yang lebih baik, walau belum semua daerah menikmatinya. (ag)

12 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua setengah bulan yang lalu terdengar berita itu. Surat Keputusan Menteri Agama Alamsyah, bernomor 44/1978, menyatakan bahwa da'wah agama, sebagaimana juga kuliah subuh lewat radio, tidak lagi memerlukan izin. SK yang dikeluarkan 23 Mei itu dinyatakan Menteri merupakan hasil pertemuannya dengan Pangkopkamtib tiga hari sebelumnya. Dan dengan itu diharapkan tcrjadi perobahan. Khotbah Jum at, seperti di beberapa daerah -- misalnya Bali -- tak perlu lagi harus didahului penyerahan naskah kepada lurah, camat dan Kanwil Departemen Agama. Mubaligh dari Bandung yang cuma hendak memberikan akad nikah di Subang, tak perlu dibatalkan oleh pihak otorita setempat. Prof. Hamka sendiri dahulu, di kampungnya, Payakumbuh, sudah naik mimbar toh disuruh berhenti bicara, Demikian juga Jawa Timur misalnya terkenal sebagai daerah yang banyak menghadapi kasus perizinan da'wah. Dan sekarang, di hari-hari awal bulan puasa, bagaimanakah perkembangan di daerah? Berikut ini sekedar laporan dari berbagai pelosok. Awal Juli kemarin, mesjid Cupak di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, dipadati pengunjung. Organisasi Wirid Remaja Cupak malam itu melakukan peringatan Isra' Mi'raj. Yang akan bicara sudah datang: seorang dosen IAIN dari Padang, drs. Amirsyah namanya. Tapi pengajian tak kunjung bisa dimulai -- dan memang takkan bisa dimulai, sebab tiba-tiba Letda Pol. Sulono, Dan Sek setempat bersama Wali Negeri memberitahukan, bahwa izin Dan Res 309 Kabupaten Solok tidak keluar. Pengunjung dipersilakan pulang. Masih di Sumatera Barat, di Pesisir Selatan peraturannya lebih ketat. Pembicara dari luar daerah tetap tak dibolehkan masuk -- seperti dituturkan seorang mubaligh kepada TEMPO Polisi akan selalu menolak argumentasi bahwa sudah ada instruksi Kopkamtib untuk tak perlu lagi menuntut permohonan izin kecuali dengan pihak KUA. Sisa-sisa pelarangan masa lampau sendiri, khususnya terhadap para da'i yang dinilai "keras," belum lagi hilang -- kalau tidak malah akan tetap dan menjadi kebijaksanaan baru. Bukan saja yang bisa berkhotbah di mesjid besar hanya melulu para da'i (juru da'wah) yang "nak" -- seperti di Banda Aceh, di Mes Ampel Surabaya, dan praktis di sem: mesjid agung di kota kabuparen. Tetapi juga satu-dua kasus pelarangan da'i "garis keras" masih terjadi. Di Kalimantan Selatan H. Birahsani, bulan Rajab kemarin tiba-tiba dilarang Camat Awayan. Padahal, "saya dilahirkan dan dibesuk di Awayan," kata Pak Haji --- sedang isi ceramahnya sehari sebelumnya (yang, diketahuinya ada direkam oleh seseorang) menurut pengakuannya sendiri "sama sekali tidak meremehkan hasil-hasil pembangunan," katanya. Tentu saja perobahan tak mungkin datang serta-merta. Seperti dikatakan Menteri Alamsyah sendiri -- di depan Lokakarya Peningkatan Da'wah yang diikuti utusan ulama se-Sumatera Barat masih dibutuhkan waktu. Ibarat cekcok kecil dalam rumah tangga. "Dengan isteri saja kita memerlukan sehari-dua untuk ada saling pengertian lagi." Maka kalau ada di sana-sini hal-hal yang belum jalan, itu karena kita sedang mencari "rasa," katanya. Tetapi Alamsyah, dalam pengumuman tentang da'wah di bulan Mei itu, juga sudah menyatakan bahwa dengan pencabutan izin tidak berarti para da'i tidak diminta ikut menjaga stabilitas nasional. Tidak "mengganggu jalannya pembangunan nasional" dan sebagainya. Sedang Kaskobkamtib, sehari setelah pengumuman Menteri Agama, masih mengharapkan da'wah jangan dijadikan "khutbah politik." Bahkan di awal Agustus Kaskopkamtib memerintahkan Laksusda Jaya untuk mengatur pelaksanaan kuliah subuh melalui radio -- bersama dengan Kanwil Departemen Agama. Perintah tersebut berdasar hasil pembicaraan telepon dengan Menteri Agama sebagai kelanjutan SK Menteri di muka. Walhasil "kita sebaiknya tak perlu menyimpang ke sana ke mari dalam pidato, kalau akhirnya akan merepotkan diri sendiri." Demikian nasihat Ustadz Muhammad Ghazali Hasan, Ketua Front Muballigh Islam Sumatera Utara. "Kita juga harus bicara pada masalah yang memang benar-benar dikuasai." Anjuran untuk "pandai-pandai membawa diri" juga datang misalnya dari Mukeri Gawith, da'i yang kini menduduki kursi salah satu Wakil Ketua DPRD Kalimantan Selatan. Juga dari seorang sekretaris Dewan Da'wah Kalimantan Selatan -- yang malah juga menuturkan bahwa Dewan Da'wah Kalsel sebenarnya selalu menganjurkan para da'i untuk sedapat mungkin "dekat dengan para penguasa." Sebab kalau dipikir-pikir kalangan penguasa sendiri sebenarnya membutuhkan da'wah, bukan? Tak heran bila mereka selalu memilih para da'i yang "lunak", yang takkan menyebabkan mereka kikuk, misalnya. Betapapun, kebebasan memang sudah terasa sekarang ini. Moh. Natsir, Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, menyatakan bahwa "keterangan Menteri Agama itu pada umumnya melegakan masyarakat." Bahkan "mudah-mudahan menimbulkan suasana baru yang lebih baik." Sedang Yusuf Hasyim, anggota DPR yang juga kyai Pesantren Tebuireng, menyatakan bahwa "sekarang bisa diharapkan para da'i tidak memberikan pidatonya dalam situasi kedongkolan -- yang bisa mempengaruhi ucapan-ucapannya." "Bayangkan bagaimana tidak mendongkol, kalau untuk mengurus perizinan pengajian saja musti menghubungi 5 sampai 12 instansi!", katanya. Atau seperti di Padang mereka berjalan lebih 100 km. Kalau ternyata sang da'i tak disukai, mereka bukan ditolak -- melainkan izinnya "digantung". Mereka akan kembali dua tiga kali, lalu disuruh menunggu sampai acara akan berlangsung. Kemudian, ternyata, tak diizinkan. Tetapi sebentar lagi tentu tidak begitu. Walaupun sekarang ini kebebasan itu diduga kuat memang belum merata. Seperti dikatakan Hasyim Latief, Wakil Ketua DPRD Jatim dan wakil PPP, daerah Jawa Timur -- sampai berita ini dilaporkan -- sebagian besar masih belum menikmatinya. "Beberapa daerah sudah. Misalnya Tulungagung, Pasuruan, Lamongan, dan seminggu yang lalu menyusul Sidoarjo," katanya. Yang agak unik terjadi di Pasuruan. Seperti diceritakan Yusuf Hasyim, sebuah panitia mengajukan permintaan izin ke pihak Kepolisian. Kepolisian bilang "Lho, tak usah minta izin lagi, Pak. Ke Kanwil Depag saja." Lantas mereka pergi ke Kanwil. Sampai di sana, justru pejabat di situ tak berani memberi penegasan -- karena belum ada "petunjuk pelaksanaan." Walhasil mereka menyuruh panitia kembali ke Kepolisian lagi. Pihak Kepolisian terpaksa memberi keterangan tertulis bukan izin, melainkan pemberitahuan bahwa mereka tak perlu minta izin. Barulah Kantor Departemen Agama berani bertindak. Begitulah gambarannya. Sehingga tak heran bila Kyai Adlan dari Tebuireng sendiri, belum pernah mempraktekkan tak pakai izin. "Soalnya sudah terbiasa minta izin sih," katanya. Demikian juga Habib Al Attas dari Bondowoso. Tetap minta izin, "supaya afdol". Itulah sebabnya mengapa Datuk Palimo Kayo, Ketua Majlis Ulama Sumatera Barat, mengatakan bahwa pengertian baru tentang izin itu masih terbatas hanya di tingkat atas. "Mereka yang di daerah belum dapat instruksi," katanya. Contohnya drs. Husni Waluyo, Kepala Kantor Depag Madiun. Tanggal 31 Juli ia masih berkata "Masih belum ada perubahan. Sebab belum ada pedoman dari Menteri Agama tentang kebebasan da'wah itu." Toh masih ada lagi masalah "penafsiran". Seperti di Pekalongan. Da'wahnya sendiri memang tak perlu pakai izin polisi atau Kodim sekarang. "Tapi berkumpulnya orang-orang itu yang jadi masalah," kata Muhibin Lettu yang bertugas sebagai Kepala Bagian PKN Kores 921. Lalu kebebasan izin itu sekarang diimbangi dengan keharusan lain tiap penanggung jawab keramaian harus datang sendiri (tak bisa diwakili seperti sebelumnya) untuk mengurusnya ke kantor polisi. Ini ternyata cukup merepotkan si penanggung jawab biasanya kan orang tua atau sesepuh yang tentunya banyak kerepotan -- dan biasanya agak keder menghadapi urusan-urusan ke kepolisian. Ini lalu bisa meninggalkan persangkaan, seolah-olah untuk "daerah-daerah Islam" tertentu rupanya perizinan masih dianggap lebih perlu diperhitungkan dibanding misalnya daerah "netral" atau di mana umat muslimin minoritas. Contoh daerah mayoritas Islam seperti Aceh, Padang atau Jawa Timur, barangkali lalu bisa dibandingkan dengan daerah mayoritas Kristen seperti di Sulawesi Utara. Di Manado, yang umat Islamnya terhitung 45%, "dari dulu kami bebas dalam da'wah," menurut pengakuan Muballigh Hadi Adam. Sebaliknya ia sendiri heran mendengar bahwa justru di Gorontalo, yang mayoritas Islam, banyak terdapat ketidaksesuaian antara keinginan pihak panitia da'wah dengan kebijaksanaan penguasa. Apakah karena di sana mayoritas da'i berorientasi pada PPP melulu? Hadi Adam (yang Golkar) hanya menjawab: "Yah, di daerah itu rupanya banyak masalah yang dihadapi umat." Kadang-kadang memang dibutuhkan juga pengarahan terorganisir dari sesuatu induk organisasi da'wah. Khususnya dalam hal topik-topik yang diharapkan lebih produktif dan sesedikit mungkin menimbulkan salah faham -- meskipun tema nahi munkar (melawan kejahatan) tetap dituntut untuk diberikan, dengan cara yang lebih bijak. Majlis Ulama di beberapa daerah misalnya ada memberikan pedoman tema-tema. Seperti dituturkan Ketua MU Jawa Barat, E.Z. Muttaqien, di sana ada semacam kurikulum. Bulan puasa ini misalnya diseyogiakan para da'i menggairahkan umat dalam hal fitrah, zakat harta dan shadaqah -- untuk Juli dan Agustus. Menghadapi masa baru (kalau boleh disebut begitu) dalam da'wah ini, Rusyad Nurdin, Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Jawa Barat, sebaliknya akan mencetak kader da'wah. "Khusus untuk para wanita, sebab itulah yang kurang. Kita laksanakan selesai lebaran," katanya. Sedang di Jawa Timur Yusuf Hasyim menyatakan pula akan mengadakan penataran serupa agar da'wah lebih jernih dan lebih mendidik. Yusuf memberi contoh salah satunya: "Misalnya bagaimana umat Islam di desa memahami cara memperoleh kredit. Bagaimana prosedurnya. Jiwa kepengusahaan umat Islam (kewiraswastaan) harus dibangkitkan. Dengan demikian secara langsung dapat meningkatkan kemampuan rakyat kecil." Ini tentulah hanya satu contoh dari kemungkinan yang memang banyak diharap orang: lebih banyak dimasukkannya hal-hal yang bersifat kesejahteraan sosial, seperti yang dituntut ajaran agama sendiri, dalam da'wah. Dan topik-topik seperti itu memang topik-topik yang "damai" -- meskipun belum tentu akan selalu menarik. Sudah diketahui bahwa titik berat da'wah selama ini, kalau tidak pada masalah akhlak, keimanan atau ibadat, adalah soal-soal umum yang "hangat". Syamsul Mu'arif, da'i jebolan IAIN Banjarmasin mengatakan bahwa itulah dua topik yang dilihatnya "laku" -- yang jenis pertama di kampung-kampung, jenis kedua di kota. Oleh situasi lingkungan yang memang riil, para da'i sendiri kemudian cenderung lebih mudah melihat hal-hal yang patut "ditelanjangi" -- dan secara tak terasa terlatih sendirinya untuk menjadi "penghantam" -- lebih dari melihat apa lagi sebenarnya yang diperlukan dan belum ada. Sebab topik-topik "panas", di kota-kota, memang kira-kira sama larisnya dengan kemampuan humor seorang penceramah. Dan kalaupun tema lain termasuk dalam da'wah, biasanya ia adalah tema 'mau-ilmiah' yang kabur-seperti bisa didapati di sementara masjid di mana banyak berkumpul kalangan muda. Maka bidang amal sosial itupun lalu sepi dari peminat. Kenyataan bahwa proyek-proyek yang disebut "pondok karya" sendiri, yang mengutamakan pemberian bekal kerja dalam asuhan semangat keagamaan masih juga belum begitu populer di kalangan muslimin antara lain menunjukkan bahwa tekanan memang masih lebih pada "suara" -- yang difahami sebagai syi'ar. Bahwa di satu lingkungan terdapat lima buah mushalla dengan lima buah pengeras suara, misalnya, rasanya masih lebih disukai daripada mengusahakan berdirinya 10 langgar tanpa mikrofon. Sebab dengan lima pengeras suara, orang merasa "Islam sudah benar-benar "tertancap". "Memang, mushalla tanpa pengeras suara dirasakan sudah kuno," H. Ghazali Hasan di Medan. Bahkan di Tomohon yang disebut "benteng Kristen" (di sini berpusat banyak gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen), dan hanya ada ratusan umat Islam di bawah mubalig seperti Ahmad Gasim, pengeras suara sebagai syi'ar tentu saja tak dilupakan. Kota Manado sendiri setiap dinihari dibangunkan oleh pengeras dari 37 mesjid yang bertebar di seluruh pelosoknya. Sampai-sampai kata Mubaligh Adam, para tetangga keturunan Cina yang beribadat di kelenteng, 70 meter dari mesjid "sudah hafal bunyi isi suara itu." Mereka tidak terganggu? "Ah, mereka memanfaatkan pengeras suara kita untuk bangun pagi dan berolah-raga!" Memang semustinya: azan dari masjid memakai mikrofon. Atau sebuah majlis ta'lim yang memang menujukan tablighnya ke lapangan dengan ribuan pengunjung. Toh gangguan pengeras suara -- justru dari masjid atau mushalla -- yang tidak terkontrol, menyebabkan orang-orang di Banjarmasin berfikir lebih baiklah bila ada penertiban. Di Bandung KH Z. Muttaqien juga menyinggung alat elektronik yang digunakan tak selayaknya itu -- di samping di kota itu sendiri kabarnya soal tersebut sudah mulai tertib. Juga di Jakarta (lihat box). Yang dikehendaki semua orang tentunya: bagaimana da'wah akah bisa menjadi lebih intens lagi, lebih produktif dan ramah -- tanpa kehilangan kewibawaannya dan hanya menjadi, misalnya, saluran titipan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus