SUDAH dua setengah bulan yang lalu terdengar berita itu. Surat
Keputusan Menteri Agama Alamsyah, bernomor 44/1978, menyatakan
bahwa da'wah agama, sebagaimana juga kuliah subuh lewat radio,
tidak lagi memerlukan izin. SK yang dikeluarkan 23 Mei itu
dinyatakan Menteri merupakan hasil pertemuannya dengan
Pangkopkamtib tiga hari sebelumnya.
Dan dengan itu diharapkan tcrjadi perobahan. Khotbah Jum at,
seperti di beberapa daerah -- misalnya Bali -- tak perlu lagi
harus didahului penyerahan naskah kepada lurah, camat dan Kanwil
Departemen Agama. Mubaligh dari Bandung yang cuma hendak
memberikan akad nikah di Subang, tak perlu dibatalkan oleh pihak
otorita setempat. Prof. Hamka sendiri dahulu, di kampungnya,
Payakumbuh, sudah naik mimbar toh disuruh berhenti bicara,
Demikian juga Jawa Timur misalnya terkenal sebagai daerah yang
banyak menghadapi kasus perizinan da'wah.
Dan sekarang, di hari-hari awal bulan puasa, bagaimanakah
perkembangan di daerah? Berikut ini sekedar laporan dari
berbagai pelosok.
Awal Juli kemarin, mesjid Cupak di Kabupaten Solok, Sumatera
Barat, dipadati pengunjung. Organisasi Wirid Remaja Cupak malam
itu melakukan peringatan Isra' Mi'raj. Yang akan bicara sudah
datang: seorang dosen IAIN dari Padang, drs. Amirsyah namanya.
Tapi pengajian tak kunjung bisa dimulai -- dan memang takkan
bisa dimulai, sebab tiba-tiba Letda Pol. Sulono, Dan Sek
setempat bersama Wali Negeri memberitahukan, bahwa izin Dan Res
309 Kabupaten Solok tidak keluar. Pengunjung dipersilakan
pulang.
Masih di Sumatera Barat, di Pesisir Selatan peraturannya lebih
ketat. Pembicara dari luar daerah tetap tak dibolehkan masuk --
seperti dituturkan seorang mubaligh kepada TEMPO Polisi akan
selalu menolak argumentasi bahwa sudah ada instruksi Kopkamtib
untuk tak perlu lagi menuntut permohonan izin kecuali dengan
pihak KUA.
Sisa-sisa pelarangan masa lampau sendiri, khususnya terhadap
para da'i yang dinilai "keras," belum lagi hilang -- kalau tidak
malah akan tetap dan menjadi kebijaksanaan baru. Bukan saja
yang bisa berkhotbah di mesjid besar hanya melulu para da'i
(juru da'wah) yang "nak" -- seperti di Banda Aceh, di Mes Ampel
Surabaya, dan praktis di sem: mesjid agung di kota kabuparen.
Tetapi juga satu-dua kasus pelarangan da'i "garis keras" masih
terjadi. Di Kalimantan Selatan H. Birahsani, bulan Rajab kemarin
tiba-tiba dilarang Camat Awayan. Padahal, "saya dilahirkan dan
dibesuk di Awayan," kata Pak Haji --- sedang isi ceramahnya
sehari sebelumnya (yang, diketahuinya ada direkam oleh
seseorang) menurut pengakuannya sendiri "sama sekali tidak
meremehkan hasil-hasil pembangunan," katanya.
Tentu saja perobahan tak mungkin datang serta-merta. Seperti
dikatakan Menteri Alamsyah sendiri -- di depan Lokakarya
Peningkatan Da'wah yang diikuti utusan ulama se-Sumatera Barat
masih dibutuhkan waktu. Ibarat cekcok kecil dalam rumah tangga.
"Dengan isteri saja kita memerlukan sehari-dua untuk ada saling
pengertian lagi." Maka kalau ada di sana-sini hal-hal yang belum
jalan, itu karena kita sedang mencari "rasa," katanya.
Tetapi Alamsyah, dalam pengumuman tentang da'wah di bulan Mei
itu, juga sudah menyatakan bahwa dengan pencabutan izin tidak
berarti para da'i tidak diminta ikut menjaga stabilitas
nasional. Tidak "mengganggu jalannya pembangunan nasional" dan
sebagainya. Sedang Kaskobkamtib, sehari setelah pengumuman
Menteri Agama, masih mengharapkan da'wah jangan dijadikan
"khutbah politik." Bahkan di awal Agustus Kaskopkamtib
memerintahkan Laksusda Jaya untuk mengatur pelaksanaan kuliah
subuh melalui radio -- bersama dengan Kanwil Departemen Agama.
Perintah tersebut berdasar hasil pembicaraan telepon dengan
Menteri Agama sebagai kelanjutan SK Menteri di muka.
Walhasil "kita sebaiknya tak perlu menyimpang ke sana ke mari
dalam pidato, kalau akhirnya akan merepotkan diri sendiri."
Demikian nasihat Ustadz Muhammad Ghazali Hasan, Ketua Front
Muballigh Islam Sumatera Utara. "Kita juga harus bicara pada
masalah yang memang benar-benar dikuasai." Anjuran untuk
"pandai-pandai membawa diri" juga datang misalnya dari Mukeri
Gawith, da'i yang kini menduduki kursi salah satu Wakil Ketua
DPRD Kalimantan Selatan. Juga dari seorang sekretaris Dewan
Da'wah Kalimantan Selatan -- yang malah juga menuturkan bahwa
Dewan Da'wah Kalsel sebenarnya selalu menganjurkan para da'i
untuk sedapat mungkin "dekat dengan para penguasa."
Sebab kalau dipikir-pikir kalangan penguasa sendiri sebenarnya
membutuhkan da'wah, bukan? Tak heran bila mereka selalu memilih
para da'i yang "lunak", yang takkan menyebabkan mereka kikuk,
misalnya.
Betapapun, kebebasan memang sudah terasa sekarang ini. Moh.
Natsir, Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, menyatakan bahwa
"keterangan Menteri Agama itu pada umumnya melegakan
masyarakat." Bahkan "mudah-mudahan menimbulkan suasana baru yang
lebih baik." Sedang Yusuf Hasyim, anggota DPR yang juga kyai
Pesantren Tebuireng, menyatakan bahwa "sekarang bisa diharapkan
para da'i tidak memberikan pidatonya dalam situasi kedongkolan
-- yang bisa mempengaruhi ucapan-ucapannya." "Bayangkan
bagaimana tidak mendongkol, kalau untuk mengurus perizinan
pengajian saja musti menghubungi 5 sampai 12 instansi!",
katanya. Atau seperti di Padang mereka berjalan lebih 100 km.
Kalau ternyata sang da'i tak disukai, mereka bukan ditolak --
melainkan izinnya "digantung". Mereka akan kembali dua tiga
kali, lalu disuruh menunggu sampai acara akan berlangsung.
Kemudian, ternyata, tak diizinkan. Tetapi sebentar lagi tentu
tidak begitu.
Walaupun sekarang ini kebebasan itu diduga kuat memang belum
merata. Seperti dikatakan Hasyim Latief, Wakil Ketua DPRD Jatim
dan wakil PPP, daerah Jawa Timur -- sampai berita ini dilaporkan
-- sebagian besar masih belum menikmatinya. "Beberapa daerah
sudah. Misalnya Tulungagung, Pasuruan, Lamongan, dan seminggu
yang lalu menyusul Sidoarjo," katanya.
Yang agak unik terjadi di Pasuruan. Seperti diceritakan Yusuf
Hasyim, sebuah panitia mengajukan permintaan izin ke pihak
Kepolisian. Kepolisian bilang "Lho, tak usah minta izin lagi,
Pak. Ke Kanwil Depag saja." Lantas mereka pergi ke Kanwil.
Sampai di sana, justru pejabat di situ tak berani memberi
penegasan -- karena belum ada "petunjuk pelaksanaan." Walhasil
mereka menyuruh panitia kembali ke Kepolisian lagi. Pihak
Kepolisian terpaksa memberi keterangan tertulis bukan izin,
melainkan pemberitahuan bahwa mereka tak perlu minta izin.
Barulah Kantor Departemen Agama berani bertindak. Begitulah
gambarannya. Sehingga tak heran bila Kyai Adlan dari Tebuireng
sendiri, belum pernah mempraktekkan tak pakai izin. "Soalnya
sudah terbiasa minta izin sih," katanya. Demikian juga Habib Al
Attas dari Bondowoso. Tetap minta izin, "supaya afdol".
Itulah sebabnya mengapa Datuk Palimo Kayo, Ketua Majlis Ulama
Sumatera Barat, mengatakan bahwa pengertian baru tentang izin
itu masih terbatas hanya di tingkat atas. "Mereka yang di daerah
belum dapat instruksi," katanya. Contohnya drs. Husni Waluyo,
Kepala Kantor Depag Madiun. Tanggal 31 Juli ia masih berkata
"Masih belum ada perubahan. Sebab belum ada pedoman dari Menteri
Agama tentang kebebasan da'wah itu."
Toh masih ada lagi masalah "penafsiran". Seperti di Pekalongan.
Da'wahnya sendiri memang tak perlu pakai izin polisi atau Kodim
sekarang. "Tapi berkumpulnya orang-orang itu yang jadi masalah,"
kata Muhibin Lettu yang bertugas sebagai Kepala Bagian PKN
Kores 921. Lalu kebebasan izin itu sekarang diimbangi dengan
keharusan lain tiap penanggung jawab keramaian harus datang
sendiri (tak bisa diwakili seperti sebelumnya) untuk mengurusnya
ke kantor polisi. Ini ternyata cukup merepotkan si penanggung
jawab biasanya kan orang tua atau sesepuh yang tentunya banyak
kerepotan -- dan biasanya agak keder menghadapi urusan-urusan ke
kepolisian.
Ini lalu bisa meninggalkan persangkaan, seolah-olah untuk
"daerah-daerah Islam" tertentu rupanya perizinan masih dianggap
lebih perlu diperhitungkan dibanding misalnya daerah "netral"
atau di mana umat muslimin minoritas. Contoh daerah mayoritas
Islam seperti Aceh, Padang atau Jawa Timur, barangkali lalu bisa
dibandingkan dengan daerah mayoritas Kristen seperti di
Sulawesi Utara.
Di Manado, yang umat Islamnya terhitung 45%, "dari dulu kami
bebas dalam da'wah," menurut pengakuan Muballigh Hadi Adam.
Sebaliknya ia sendiri heran mendengar bahwa justru di Gorontalo,
yang mayoritas Islam, banyak terdapat ketidaksesuaian antara
keinginan pihak panitia da'wah dengan kebijaksanaan penguasa.
Apakah karena di sana mayoritas da'i berorientasi pada PPP
melulu? Hadi Adam (yang Golkar) hanya menjawab: "Yah, di daerah
itu rupanya banyak masalah yang dihadapi umat."
Kadang-kadang memang dibutuhkan juga pengarahan terorganisir
dari sesuatu induk organisasi da'wah. Khususnya dalam hal
topik-topik yang diharapkan lebih produktif dan sesedikit
mungkin menimbulkan salah faham -- meskipun tema nahi munkar
(melawan kejahatan) tetap dituntut untuk diberikan, dengan cara
yang lebih bijak. Majlis Ulama di beberapa daerah misalnya ada
memberikan pedoman tema-tema. Seperti dituturkan Ketua MU Jawa
Barat, E.Z. Muttaqien, di sana ada semacam kurikulum. Bulan
puasa ini misalnya diseyogiakan para da'i menggairahkan umat
dalam hal fitrah, zakat harta dan shadaqah -- untuk Juli dan
Agustus.
Menghadapi masa baru (kalau boleh disebut begitu) dalam da'wah
ini, Rusyad Nurdin, Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Jawa Barat,
sebaliknya akan mencetak kader da'wah. "Khusus untuk para
wanita, sebab itulah yang kurang. Kita laksanakan selesai
lebaran," katanya.
Sedang di Jawa Timur Yusuf Hasyim menyatakan pula akan
mengadakan penataran serupa agar da'wah lebih jernih dan lebih
mendidik. Yusuf memberi contoh salah satunya: "Misalnya
bagaimana umat Islam di desa memahami cara memperoleh kredit.
Bagaimana prosedurnya. Jiwa kepengusahaan umat Islam
(kewiraswastaan) harus dibangkitkan. Dengan demikian secara
langsung dapat meningkatkan kemampuan rakyat kecil." Ini
tentulah hanya satu contoh dari kemungkinan yang memang banyak
diharap orang: lebih banyak dimasukkannya hal-hal yang bersifat
kesejahteraan sosial, seperti yang dituntut ajaran agama
sendiri, dalam da'wah.
Dan topik-topik seperti itu memang topik-topik yang "damai" --
meskipun belum tentu akan selalu menarik. Sudah diketahui bahwa
titik berat da'wah selama ini, kalau tidak pada masalah akhlak,
keimanan atau ibadat, adalah soal-soal umum yang "hangat".
Syamsul Mu'arif, da'i jebolan IAIN Banjarmasin mengatakan bahwa
itulah dua topik yang dilihatnya "laku" -- yang jenis pertama di
kampung-kampung, jenis kedua di kota.
Oleh situasi lingkungan yang memang riil, para da'i sendiri
kemudian cenderung lebih mudah melihat hal-hal yang patut
"ditelanjangi" -- dan secara tak terasa terlatih sendirinya
untuk menjadi "penghantam" -- lebih dari melihat apa lagi
sebenarnya yang diperlukan dan belum ada. Sebab topik-topik
"panas", di kota-kota, memang kira-kira sama larisnya dengan
kemampuan humor seorang penceramah. Dan kalaupun tema lain
termasuk dalam da'wah, biasanya ia adalah tema 'mau-ilmiah' yang
kabur-seperti bisa didapati di sementara masjid di mana banyak
berkumpul kalangan muda.
Maka bidang amal sosial itupun lalu sepi dari peminat. Kenyataan
bahwa proyek-proyek yang disebut "pondok karya" sendiri, yang
mengutamakan pemberian bekal kerja dalam asuhan semangat
keagamaan masih juga belum begitu populer di kalangan muslimin
antara lain menunjukkan bahwa tekanan memang masih lebih pada
"suara" -- yang difahami sebagai syi'ar.
Bahwa di satu lingkungan terdapat lima buah mushalla dengan lima
buah pengeras suara, misalnya, rasanya masih lebih disukai
daripada mengusahakan berdirinya 10 langgar tanpa mikrofon.
Sebab dengan lima pengeras suara, orang merasa "Islam sudah
benar-benar "tertancap". "Memang, mushalla tanpa pengeras suara
dirasakan sudah kuno," H. Ghazali Hasan di Medan.
Bahkan di Tomohon yang disebut "benteng Kristen" (di sini
berpusat banyak gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen), dan
hanya ada ratusan umat Islam di bawah mubalig seperti Ahmad
Gasim, pengeras suara sebagai syi'ar tentu saja tak dilupakan.
Kota Manado sendiri setiap dinihari dibangunkan oleh pengeras
dari 37 mesjid yang bertebar di seluruh pelosoknya.
Sampai-sampai kata Mubaligh Adam, para tetangga keturunan Cina
yang beribadat di kelenteng, 70 meter dari mesjid "sudah hafal
bunyi isi suara itu." Mereka tidak terganggu? "Ah, mereka
memanfaatkan pengeras suara kita untuk bangun pagi dan
berolah-raga!"
Memang semustinya: azan dari masjid memakai mikrofon. Atau
sebuah majlis ta'lim yang memang menujukan tablighnya ke
lapangan dengan ribuan pengunjung. Toh gangguan pengeras suara
-- justru dari masjid atau mushalla -- yang tidak terkontrol,
menyebabkan orang-orang di Banjarmasin berfikir lebih baiklah
bila ada penertiban. Di Bandung KH Z. Muttaqien juga menyinggung
alat elektronik yang digunakan tak selayaknya itu -- di samping
di kota itu sendiri kabarnya soal tersebut sudah mulai tertib.
Juga di Jakarta (lihat box).
Yang dikehendaki semua orang tentunya: bagaimana da'wah akah
bisa menjadi lebih intens lagi, lebih produktif dan ramah --
tanpa kehilangan kewibawaannya dan hanya menjadi, misalnya,
saluran titipan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini