NILAI informasi Antara ternyata kecil sekali hanya 9 permil.
Perhitungannya njlimet. Harga langganannya Rp 23,50 per bulan --
untuk setiap eksemplar koran pelanggan. Artinya, mengutip atau
tidak, jumlah yang dibayar koran pelanggan tergantung dari
jumlah oplahnya. Maka, bila harga koran Rp 100 per eksemplar,
nilai informasi yang dijual Antara hanya 9 permil. Gambaran itu
jelas: dibanding kantor berita asing, Antara belum apa-apanya.
"Nilai informasi kantor berita asing bisa mencapai lima persen,"
kata M. Hamidy, direktur pemasarannya.
Padahal, 95% surat kabar berlangganan Antara. Tapi ternyata
pemasukan dari pelanggan media cetak dan elektronik (RRI dan
TVRI) hanya sekitar 15%, sedangkan sebagian besar penghasilan
kantor berita nasional ini dari pelanggan perorangan, instansi
pemerintah, swasta, dan badan-badan asing. "Kantor berita yang
sehat, 70-80% penghasilannya mestinya dari pelanggan pers,"
kata Hamidy lagi. Meski begitu, biaya rutin dan operasional
(setahun sekitar Rp 1 milyar) terpenuhi dari usaha menjual
berita.
Soalnya Antara juga mendapat subsidi dari pemerintah yang khusus
digunakan membiayai keperluan nonrutin, seperti membeli
peralatan, kendaraan, dan pembangunan perumahan karyawan
jumlahnya dari tahun ke tahun tidak tetap, tergantung usul yang
diajukan. Itu pun tidak semuanya dipenuhi. Berapa jumlahnya?
Hamidy enggan menyebutkan. "Itu rahasia perusahaan," katanya
tertawa. Tapi satu hal yang agaknya bukan rahasia, Antara lebih
beruntung dengan statusnya sekarang ini karena tetap bisa
menadah subsidi.
Tidak berarti Antara berleha-leha. Dari waktu ke waktu, lembaga
semipemerintah ini membenahi diri. Minggu lalu, malah Pimpinan
Umum/Redaksinya, Mayjen (Purn.) August Marpaung, digantikan
Marsma Tranggono, S.H. Sebelumnya, di lingkungan keredaksian
juga terjadi penyegaran: Direktur Redaksi, Junisaf Anwar,
digantikan Ismail Albandjar, kemudian Wakil Pimpinan
Umum/Redaksi, M. Nahar, digantikan Dja'far H. Assegaf.
Banyak karyawan berharap Tranggono lebih memusatkan perhatian
pada konsolidasi ke dalam. Barangkali karena terdengar adanya
suara-suara mengenai penyelewengan dalam tubuh Antara? "Wah,
kalau soal itu no comment," tukas Hamidy. "Sebab, kalau
membicarakan masalah itu berarti menyangkut pribadi orang,"
ujarnya menambahkan. Yang jelas, para pendahulu Tranggono sudah
berbenah. Pada 1981, Antara menempati Wisma Antara berlantai 20
yang megah, yang telah direncanakan di masa kepemimpinan
Harsono. Jumlah teleks yang di zaman Harsono baru enam cabang,
di zaman Ismail Saleh menjadi 20 cabang, dan meningkat menjadi
27 provinsi di zaman Marpaung. Dan mulai awal bulan ini, jam
kerja pelayanan teleks ditingkatkan menjadi 24 jam.
Langkah paling akhir, sejak 7 September lalu, ialah pelayanan
radiofoto. Pemancarnya bantuan pemerintah Jerman Barat,
pesawatnya (merk Unifax-II produksi UPI) sebanyak 12 buah,
masing-masing seharga Rp 200 juta lebih. Sebelumnya, foto
dikirim dengan pesawat udara hingga sering terlambat. Kini
dengan peralatan baru itu, dalam 14 menit foto dapat langsung
diterima secara serentak oleh pelanggan -- yang memiliki pesawat
penerima, seperti Kompas, Sinar Harapan, AB (Jakarta), Pikiran
Rakyat (Bandung), Kedaulatan Rakyat (Yogya), Suara Merdeka
(Semarang), Suara Indonesia Baru, Waspada, Analisa (Medan),
Haluan (Padang), Pedoman Rakyat (Ujungpandang), Surabaya Post,
dan Banjarmasin Post.
Dengan hubungan teleks di semua ibu kota provinsi dan layanan
radiofoto untuk beberapa koran ibu kota dan daerah, maka salah
satu penerbitan buletin Antara, yaitu Warta Berita, hanya untuk
pelanggan yang tidak memiliki teleks -- umumnya koran-koran
daerah beroplah kecil -- atau majalah yang tidak memerlukan
kecepatan informasi. Terdiri dari dua edisi, pagi dan sore,
Warta Berita dicetak 2.500 eksemplar. Saat ini, Antara
menerbitkan 20 jenis buletin: 10 dalam bahasa Indonesia dan 10
dalam bahasa Inggris.
Selain bisnis jasa informasi, kantor berita ini juga punya
bisnis sewa-menyewa ruangan perkantoran di Wisma Antara yang
dikelola PT Anpa International. Perusahaan ini patungan antara
PT Antar Kencana (anak perusahaan Antara) dan sebuah perusahaan
Belanda. Tak kurang dari 60 perusahaan berkantor di sana dengan
sewa sekitar Rp 21.000 per m2 per bulan. Namun, uang scwa itu
hampir habis untuk melunasi kredit pembangunannya, yang
jumlahnya meliputi US$35 juta, dan untuk biaya perawatan. "Jadi,
bisnis yang satu ini belum mendatangkan untung," kata Hamidy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini