AHMED Kurnia, mahasiswa FIS UI dua pekan lalu menerima surat
dari universitasnya. Isinya: ucapan terima kasih bahwa ia
mendaftarkan diri ikut KKN, sekaligus memberitahu bahwa tahun
ini KKN di UI dibatalkan. Soalnya, sampai batas akhir, bulan
lalu, cuma ada 7 mahasiswa yang mendaftar. Padahal, tahun depan
direncanakan KKN menjadi kegiatan intrakurikulum di semua
perguruan tinggi negeri.
Memang, dari awalnya, 1972, KKN selalu dipertanyakan
untung-ruginya. Di IPB, kegiatan ini, yang sudah lama menjadi
kewajiban mahasiswa dan mempunyai nilai kredit 6 dipandang
sangat berguna. "Bayangkan, dari KKN itu ada mahasiswa yang baru
tahu bahwa taoge dibuat dari kacang hijau," tutur Andi Hakim
Nasution, rektor IPB. Di ITB, yang belum mewajibkan KKN,
kegiatan ini direncanakan dengan baik. Ada penyesuaian kebutuhan
daerah tempat KKN dan keterampilan mahasiswa. Bila itu tidak
klop KKN diundur.
Tapi di UGM, termasuk pelopor KKN, yang sudah mewajibkan
mahasiswanya berKKN sejak 1979, terdengar banyak keluhan. Bukan
hanya dari mahasiswa, tapi juga dari masyarakat tempat UGM
ber-KKN. "Benar, karena banyak mahasiswa bergantian menggarap
daerah itu," tutur Soedjito, ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat
UGM.
Maka, Prof. Dr. Tumbelaka, pembantu rektor I Urusan Akademis UI,
kini bertanya-tanya. Soalnya, bagi UI, "pengabdian masyarakat UI
tak hanya KKN, tapi juga, misalnya, pelayanan hukum dan
pelayanan kesehatan untuk masyarakat. "Tidak mungkinkah itu juga
bisa mendapat nilai kredit menggantikan KKN?" tanyanya. Agaknya,
untung-rugi KKN tak sama bagi semua perguruan tinggi. "Bisa
bermanfaat bila tak diwajibkan," kata Abdulrachman, alumnus UGM.
Sebab, seperti di ITB, lantas bisa direncanakan dengan pas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini