Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menangguhkan keruwetan sampai 1986

Dengan dikenakan ppn, kemungkinan barang barang akan naik. ppn yang diberitakan mulai berlaku sejak 1 juli, ditangguhkan hingga januari 1986. (eb)

23 Juni 1984 | 00.00 WIB

Menangguhkan keruwetan sampai 1986
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PUSAT-pusat penjualan mobil bergelora: penjual melayani segala macam cara pembayaran, sedangkan pembeli mempertaruhkan apa saja sekadar "tanda jadi", agar transaksi boleh disebut terjadi sebelum 1 Juli. Bahkan, ada yang nekat memarkir mobilnya di pelataran sebuah perusahaan mobil, sebagai suatu cara untuk "menutup" pembelian dengan harga sebelum batas waktu mulai diberlakukannya PPN (Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Tapi suasana itu segera surut. Mobil, sabun mandi, ban, deterjen, televisi warna, dan lain-lain, batal naik harga, sesudah pemerintah, pekan lalu, mengumumkan penangguhan pelaksanaan PPN. Yang membuat tensi pasar naik ialah desas-desus: jika ketentuan pajak baru itu jadi dilaksanakan 1 Juli, harga pelbagai barang itu bakal naik 2,5% sampai 30% dari harga eceran kini. Sebuah sumber di sebuah perusahaan mobil menyatakan bahwa harga baru yang urung dipasang adalah 7% di atas kalkulasi Juni lalu. PPN ditangguhkan sampai selambat-lambatnya 1 Januari 1986. Hal itu terpaksa dilakukan mengingat masyarakat, pengusaha, dan aparat pajak dianggap belum slap melaksanakan ketentuan baru perpajakan itu. Buktinya, ada yang termakan "teror", beranggapan bahwa PPN itu akan menyebabkan harga mobil naik sekitar 20%. Toko mobil Mayapada Agung Ltd. di Salemba, Jakarta Pusat, misalnya, tentu tak menduga bulan Mei lalu diserbu pembeli. Sebulan terakhir itu, angka penjualan Suzuki Jimny dan Carry, yang rata-rata sebelumnya hanya empat unit, mendadak melonjak jadi sekitar 50 unit. Bahkan awal Juni lalu, konon, stok mobil di toko itu habis, hingga banyak permintaan terpaksa tidak dilayani. Dalam situasi samar-samar seperti itu pengusaha sendiri tampaknya senang jika konsumen, yang diliputi keragu-raguan akan kenaikan harga itu, main tubruk. Panik. Karena itulah, pemerintah beranggapan, kesiapan masyarakat dan pengusaha "perlu ditingkatkan lagi". Bertolak dari alasan itu, pemungutan PPN - demikian penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 tahun 1984 - secara pasti tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan rencana. Kalau dipaksakan, "Sangat dikhawatirkan bisa menimbulkan gangguan terhadap stabilitas ekonomi, dan pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya." Sinyalemen itu tampaknya sangat beralasan, mengingat rencana pemungutan PPN, dan akibatnya terhadap harga barang nantinya, telah ditafsirkan macam-macam oleh konsumen. Televisi warna, misalnya, diperkirakan bakal naik 30% dari harga eceran yang sekarang, karena besarnya PPN akumulatif atas barang mewah itu memang 30%. Padahal, menurut B. Ichsani, ketua Asosiasi Industri Elektronika, kenaikan itu paling banter hanya 25% saja. Dia mengaku, "terlalu riskan" pada hari-hari sebelum pengumuman itu untuk menaikkan harga barang-barang elektronik, kendati harga pelbagai komponennya sudah naik. Penafsiran keliru konsumen semacam itu dilihat Dirjen Pajak Salamun A.T. Katanya, kenaikan harga barang bukan mewah rata-rata 10% dari harga eceran, "Tidaklah tepat." Pemungutan PPN 10% itu, katanya, bakal dilakukan oleh para pabrikan, yang menyerahkan hasil rakitan olahan atau masakannya ke penyalur atau agen, yang memilih jadi pengusaha kena pajak. Jadi,"PPN 10% itu dipungut atas harga eks pabrik, bukan pada tingkat pengecer," ujar Salamun. "Karena itulah, kenaikan harga barang di eceran tidak harus 10%, sekalipun sebelumnya komponen dan bahan bakunya sudah kena pajak." Unilever, pabrikan yang menghasilkan pelbagai macam keperluan rumah tangga, karenanya, hanya akan menaikkan harga produknya di tingkat pengecer dengan maksimum 4% - jika ketentuan pajak baru itu jadi berlaku. Sabun mandi, misalnya, hanya akan naik 2,5% di tingkat pengecer. Tapi minyak goreng, yang bakal tidak kena PPN, tidak naik harganya. Hanya buku tampaknya yang tetap akan nalk harganya, sekalipun ketentuan pajak baru itu urung dilaksanakan. Naiknya harga kertas belakangan ini, seperti harga kertas HVO ukuran 62 cm x 86 cm dari Rp 11.000 pada April jadi Rp 16.000 pada Juni ini, di perkirakan bakal menyebabkan kenaikan biaya produksi 10%. Pada umumnya, kalangan pabrikan, yang sudah benar-benar memahami mekanisme pemungutan PPN, telah membuat secara terperinci rencana kenaikan, dan pengaruhnya terhadap produk mereka di pasar. PT Intirub, misalnya, merencanakan memberitahukan kenaikan banban produksinya, 5% sampai 7% dari harga eceran kini, baru 29 Juni mendatang kepada para agen. Jika kenaikan harga itu dilakukan agak dini, menurut A. Aziz Pane, direktur pemasaran Intirub, permintaan ban dikhawatirkan akan lari ke Yokohama. Bila PPN itu tidak ditangguhkan, dia memperkirakan, "Permintaan ban bulan Juli dan Agustus hanya sekitar 50% dari sekarang." Tapi persiapan dan perkiraan semacam itu tak dilakukan PT Gobel Dharma Nusantara. Sebab, penjual barang-barang elektronik merk National ini punya keyakinan bahwa masa berlaku ketentuan pajak itu bakal ditunda. "Dengan keyakinan itu, kami belum dan tidak pernah menaikkan harga jual barang ke para penyalur," ujar Jamien Tahir, direktur Gobel Dharma Nusantara. Yayat Rochimat, manajer pemasarannya, bahkan menyebut, "Kalau toh ada kenaikan harga itu bukan kami yang melakukannya." Naiknya harga barang-barang elektronik karena dikenai PPN justru dikhawatirkan hanya akan merangsang usaha penyelundupan besar-besaran ke Indonesia. "Lihat saja banyak pesawat terbang nantinya bakal penuh muatan video," ujar Jamien meramalkan. Di samping itu, Jamien sendiri mengaku belum paham betul bagaimana prosedur pemungutan PPN itu bakal dilakukan. Dia beranggapan, dalam situasi samar-samar seperti itu, jika ketentuan itu tetap dilaksanakan, "Malah hanya akan menambah kerumitan saja." Tapi PT Unilever tampaknya sudah siap. "Seandainya PPN itu diberlakukan mulai 1 Juli, secara administratif, kami sudah siap," ujar Yamani Hassan, presiden direktur Unilever. Kenyataan aneka ragam itu juga dilihat Dirjen Pajak Salamun. Terus terang, dia mengungkapkan bahwa pihaknya belum memberitahukan secara gamblang bagaimana seharusnya kclak pengusaha menyusun pembukuan. Sebab, katanya, pengenaan PPN ini efeknya terhadap pembukuan lain sama sekali. Karena itu, "Lebih baik menangguhkan sebentar, tapi nantinya lancar dalam pelaksanaan," katanya memberi alasan. Sudah sejak awal tahun ini, sesungguhnya, ketika RUU PPN itu mulai diundangkan, banyak kalangan pengusaha pesimistis bisa melaksanakannya. Kendati ketentuan pajak itu hanya mengenakan tarif tunggal 10%, pemungutannya pada setiap tingkat produksi dianggap cukup rumit, mengingat di setiap proses produksi itu pabrikan wajib membuat faktur pajak rangkap tiga. Di dalam faktur itu, yang tembusannya disampaikan pada Kantor Inspcksi Pajak setempat, harus disebutkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) penerima barang terakhir. Dengan cara itulah, pemerintah berusaha menjangkau subkontraktor atau agen, yang selama ini luput dari pemajakan, menjadi subyek pajak baru. Sistem tarif tunggal PPN itu sendiri sesungguhnya dianggap cukup maju dibandingkan dengan Pajak Penjualan (PPn) sekarang, yang mengenal delapan tarif atas perdagangan dalam negeri, dan enam tarif atas perdagangan luar negeri. Juga dengan PPN bisa dihindari kemungkinan pemungutan pajak berganda seperti terjadi hari-hari ini. Diharapkan pula, perusahaan kelak tidak terdorong lagi melakukan integrasi vertikal demi menghindari pajak berganda. Tapi semua kelebihan itu bagi kalangan pengusaha seperti tidak berarti lagi tatkala mereka tahu bahwa pemungutan PPN itu bakal dilakukan atas metode accrual basis. Dengan metode ini, menurut Salamun, barang sudah dikenai pajak saat keluar dari pabrik, termasuk barang konsinyasi - kendati uang kontan belum masuk. Sengaja PPN itu, kata Salamun, nantinya tidak akan dipungut berdasarkan metode cash basis: pemajakan baru dilakukan saat uang sudah masuk. "Kami takut gagal. Sebab, administrasinya berat sekali," ujarnya. Tapi bagi pengusaha, demi kepentingan kelancaran perputaran arus uang, mereka jelas lebih suka jika metode cash bass yang dipakai. Sebab, selama ini, penjualan barang cepada penyalur dan agen biasanya dilakukan dengan cara memberi utang maksimum selama tiga bulan. Sejumlah pengusaha kini malah ada yangberbalik menghitung "kerugian" akibat ditangguhkannya ketentuan pajak itu. Asosiasi Aneka Baja, yang pckan lalu menyelenggarakan seminar perpajakan di lotel Sahid, Jakarta, terpaksa membatalkan acara itu, ketika kemudian diketahui bahwa seminar hanya dihadiri 16 pengusaha penghasil baut, rak bala, dan staples. Yang pasti, Dirjen Salamun, pada harihari mendatang ini tampaknya bakal sibuk menghitung kembali sasaran pcnerimaan Pajak Penjualan (PPn). Untuk tahun anggaran 1984-1985 ini, sasaran penerimaan PPN diperkirakan meliputi Rp 958 milyar, atau 16,6% dari seluruh penerimaan pajak non migas (Lihat: Grafik). Apakah sasaran sebesar itu akan tercapai sesudah berlakunya PPN ditangguhkan, Salamun hanya mengatakan, "Semuanya masih belum jelas akibatnya terhadap APBN 1984-1985." Yang jelas, pemerintah belakangan ini, katanya, sudah terbiasa melakukan perubahan, seperti devaluasi, bila menghadapi kenyataan berbeda di lapangan. Pemerintah, menurut Salamun, sesungguhnya ingin cepat-cepat meninggalkan PPn lama, karena efek pajak bergandanya diangap memberatkan konsumen. Karena itulah dengan penyuluhan gencar ke kalangan pengusaha dan aparat pajak sendiri, "Kami bertekad bisa melaksanakan PPN ini pada 1 Januari 1986 nanti," katanya, bersungguh-sungguh. Selama jangka waktu itu, tentu saja, pabrikan punya kesempatan cukup longgar untuk meningkatkan pemasaran. Demikian juga PT Gobel Dharma Nusantara. Menurut Jamien Tahir, penjualan pelbagai barang elektronik National, hari-hari ini cukup baik. Tapi, "Karena konsumen sudah tahu dalam jangka satu setengah tahun mendatang harga tidak akan berubah, ledakan penjualan tak akan terjadi tahun ini," katanya pekan lalu. "Kalau toh ada ledakan penjualan, paling-paling sekitar tahun 1985."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus