Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA pengusaha angkutan terhitung kelompok yang paling cemas terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Biaya usaha mereka otomatis akan naik. Padahal, pendapatan segitu-gitu juga karena tarif tak bisa langsung "disesuaikan". "Kami inginnya harga BBM tak naik," kata Aip Syarifuddin, Ketua Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Jakarta.
Aip sadar, harapan itu bagai menggantang asap. Jika mengikuti cita-cita Aip, anggaran belanja pemerintah tahun ini bisa jebol. Namun, Organda tak akan serta-merta mengusulkan kenaikan tarif angkutan ke pemerintah. "Kami tak berniat menambah beban masyarakat." Bagaimana perhitungan bisnisnya?
Ada kecemasan di antara pengusaha angkutan, terutama kelas ekonomi, tarif sudah di ambang tak terjangkau. Hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di sembilan kota besar menunjukkan, antara 14 dan 20 persen pendapatan per bulan masyarakat tersedot buat membayar ongkos transpor.
Angka itu jauh di atas rata-rata belanja masyarakat di negara maju. Penduduk Amerika Serikat, misalnya, cuma menghabiskan 12 persen pendapatannya per bulan untuk ongkos transpor. "Ada kesalahan sistemis dalam industri transportasi sehingga masyarakat harus membayar mahal," kata Tulus Abadi, anggota pengurus YLKI.
Itu pula yang dirasakan para pengusaha, terutama menjelang kenaikan harga BBM. Mereka mengeluh karena biaya operasi, seperti harga suku cadang kendaraan, sepenuhnya dikendalikan pasar. Sedangkan besar kecilnya ongkos yang boleh ditarik pengusaha ditentukan pemerintah.
Saat ini, tarif angkutan darat selain bus non-ekonomi, seperti Patas AC, ditentukan pemerintah provinsi. Para pengusaha angkutan hanya berhak mengajukan usul. Di beberapa kota, seperti Jakarta, usul kenaikan tarif juga bisa datang dari dewan transportasi.
Jalan tengah yang ditawarkan Aip dan Tulus adalah pemberian subsidi kepada para pengusaha angkutan. "Subsidi yang diberikan termasuk pemberian harga khusus BBM bagi pengusaha angkutan," Aip mengusulkan. Bentuk subsidi lain ialah pemberian kredit pembelian kendaraan yang lebih terjangkau.
Pada saat ini perbankan mengenakan bunga 18-20 persen untuk pembelian kendaraan niaga, jauh lebih tinggi ketimbang bunga kredit mobil pribadi, yang berkisar 6-10 persen. Pemerintah juga dapat memberikan subsidi dengan membebaskan pajak untuk suku cadang kendaraan angkutan umum.
Subsidi mungkin pula diberikan dalam bentuk pengurangan pajak. "Yang penting, subsidi tidak dalam bentuk tunai," ujar Tulus. Jika usul pemberian subsidi itu ditolak, barulah Organda menggodok usul kenaikan tarif. "Besarnya tergantung kenaikan harga BBM," ujar Aip.
Yakobus Yut, pengusaha Mikrolet, menyebut tarif layak naik Rp 200 jika har- ga premium yang baru Rp 2.750. Angka kenaikan yang sama juga diharapkan oleh Abdul Nasution, pemilik Metro Mini. Kalangan pengusaha taksi juga tak berpangku tangan. "Mungkin perusahaan taksi akan meng-ajukan usulan kenaikan tarif lagi ke Pemda Jakarta," kata Teguh Wijyanto, juru bicara kelompok Blue Bird.
Usulan kenaikan yang disinggung Teguh pernah diajukan para pengusaha taksi tahun lalu. Ketika itu mereka minta tarif argo naik dari Rp 3.000 jadi Rp 5.700, sementara tarif per kilometer naik dari Rp 1.600 jadi Rp 2.000. Kendati sudah pernah ditolak Pemda, Teguh menilai usulan kenaikan tarif yang mencapai 90 persen itu wajar, karena sudah tiga tahun tarif tak pernah naik. "Argo taksi di Jakarta saat ini jauh lebih murah dibandingkan taksi di Surabaya dan Bali," ujar M. Simbolon, pemilik lima taksi Prestasi.
Tulus menilai usulan kenaikan tarif itu terlampau tinggi. "Biaya BBM hanya 15 persen dari biaya operasi," katanya. Biaya terbesar pengoperasian kendaraan umum adalah perawatan, seperti suku cadang. "Nah, harga suku cadang pasti akan ikut jika BBM naik," ujar Aip. Sialnya, subsidi untuk pengusaha angkutan tak disebut-sebut pemerintah ketika membicarakan dana kompensasi BBM.
Thomas Hadiwinata, Bernarda Rurit, Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo