Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi
Kaltim Prima Coal

Berita Tempo Plus

Perjalanan Masih Panjang

Pemerintah menolak usul tentang harga divestasi saham Kaltim Prima Coal. Gara-gara pemerintah kikuk.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Perjalanan Masih Panjang
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

EPISODE divestasi saham Kaltim Prima Coal (KPC) bakal molor setahun lagi. Menjelang batas akhir pena-waran 32,4 persen saham perusahaan batu bara itu, pada Maret nanti, pemerintah belum juga menentukan sikap jelas. Padahal proses divestasi seharusnya sudah dilakukan pada 2000.

Sampai saat ini, dari seharusnya mencapai 51 persen saham yang harus didivestasikan, baru 18,6 persen yang dibeli Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pangkal soalnya ketidakjelasan proses divestasi ini lagi-lagi soal harga. Pemilik KPC yang baru, Bumi Resources, mengajukan penawaran harga kelewat tinggi: US$ 1,98 miliar atau sekitar Rp 18,2 triliun.

Direktur Keuangan Bumi Resources, Eddy J. Sobari, mengatakan penawaran itu didasarkan pada harga batu bara di pasar dunia, yang naik dua kali lipat, dan keuntungan KPC di masa mendatang. Pada akhir 2004, perusahaan tambang itu memproduksi 24 juta ton.

Dibandingkan dengan penawaran dalam kesepakatan pada 2003, yang hanya US$ 822 juta, angka baru ini jauh lebih tinggi. Apalagi, ketika membeli KPC dari Rio Tinto dan BP pada Juli 2003, Bumi Resources hanya mengeluarkan US$ 500 juta. Dibandingkan dengan harga jual KPC kepada Kutai Timur pun masih jauh lebih tinggi. Pada Juni 2004, Kutai Timur membeli 18,6 persen saham KPC dengan harga US$ 104 juta?setara US$ 560 juta untuk 100 persen saham.

Wajar jika muncul pertanyaan, bagaimana Bumi Resources mengajukan penawaran hampir empat kali lipat dalam tempo tak lebih dari dua tahun. Semula, kata Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Simon F. Sembiring, pemerintah menawar US$ 1,1 miliar. Setelah negosiasi dan berhitung lagi, dicapai US$ 1,4 miliar. Harga sebelumnya, US$ 822 juta, berdasarkan harga jual batu bara US$ 29 per ton. Sekarang harganya US$ 40-50 per ton.

Tawaran tinggi itu, kata Simon, karena perusahaan batu bara yang memiliki wilayah operasi di Kalimantan Timur itu berasumsi akan memproduksi batu bara dalam jumlah besar, dan naiknya harga jual. "Tapi kami bilang pemerintah punya kebijakan penambangan batu bara nasional. Jadi tidak bisa seenak perut menambang begitu banyak." Harga memang naik, kata Simon, tapi apakah terus meningkat sampai kontrak habis pada 2021? Akhirnya ditemukan harga batas atas, US$ 1,4 miliar.

Kepala Sub-Direktorat Investasi dan Logistik Departemen Energi dan SDM, Mangantar S. Marpaung, menambahkan ada lima parameter yang dipakai untuk menentukan harga batas itu, yakni volume produksi, harga jual, harga pokok produksi, belanja modal, dan discount rate. Ketika merundingkan lima parameter itu, Mangantar bercerita bagaimana lihainya Bumi memainkan kartunya.

Mangantar mencontohkan soal harga pokok produksi (HPP). Dalam penawaran kepada pemerintah, Bumi mengajukan HPP yang rendah, sehingga marginnya sangat besar. "Tapi dia lupa bahwa setiap tahun perusahaan itu mengajukan rencana kerja anggaran dan belanja (RKAB) ke pemerintah. Nah, di rencana kerja itu KPC justru mengatakan HPP tinggi sehingga marginnya kecil." Setelah diteliti, katanya, harga pokoknya ternyata US$ 16-17 per ton.

Akhirnya, pada pekan pertama Desember lalu, pemerintah dan Bumi sepakat pada harga US$ 1,45 miliar. "Itu merupakan hasil negosiasi terbaik yang bisa didapat pemerintah," kata Simon. Hasil negosiasi ini sudah disetujui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, yang juga menjadi ketua tim perunding. Dengan demikian, untuk 32,4 persen, pemerintah harus mengeluarkan duit US$ 470 juta atau sekitar Rp 4,3 triliun.

Purnomo mengatakan sudah mengajukan harga itu kepada Menteri Keuangan Jusuf Anwar, pada 20 Januari lalu. Namun Menteri Keuangan agaknya belum berkenan. "Selain ketepatan investasi, dana juga menjadi pertimbangan," kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia P. Nasution. Surat penolakan sudah dikirim pada akhir Januari lalu.

Mestinya, berdasarkan hitungan pemerintah, pelepasan saham ini sudah bisa dilakukan sejak 2000. Namun sampai kini tak jelas juntrungannya. Dua tahun lalu, ketika pemerintah dan KPC sudah bersepakat pada harga US$ 822 juta, tiba-tiba BP dan Rio Tinto mengoper KPC dengan harga hanya US$ 500 juta.

Pergantian itulah yang kini membuat pemerintah terlihat serba kikuk. Kekikukan ini bersumber pada Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Sebagai bos para menteri ekonomi, Aburizal mesti cepat mengambil keputusan, mengingat batas waktu divestasi pada tahun ini adalah 31 Maret 2005. Tapi, sebagai salah satu pemegang saham Bakrie & Brothers, Aburizal menghadapi situasi pelik.

Bakrie diketahui menjadi salah satu pemegang saham Bumi Resources. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 2 persen, peran Aburizal dalam pengambilalihan Bumi atas KPC sangat kentara. Kini tak mengherankan jika muncul banyak pertanyaan ketika Bumi menawarkan KPC dengan harga sangat tinggi. Di atas kertas, keuntungan Bumi Resources dalam pembelian saham KPC jelas berlipat-lipat. Jika disetujui pemerintah, harga jual KPC kini paling tidak hampir tiga kali lipat dibandingkan ketika Bumi mengakuisisi KPC.

Dalam suratnya pada 5 November 2004, Aburizal menyerahkan penyelesaian kasus KPC kepada Purnomo. Ia membantah konflik kepentingan jabatannya dengan urusan pembelian saham KPC itu oleh pemerintah. Sebab, seluruh permasalahan menyangkut negosiasi yang terkait dengan masalah energi, bukan hanya menyangkut KPC, sesuai dengan peraturan pemerintah, harus melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. "Kebijakan ini merupakan kebijakan satu pintu yang sudah menjadi kebijakan pemerintah," kata Aburizal kepada Amal Ikhsan dari Tempo.

MT, Leanika Tanjung, M. Syakur Usman, S.S. Kurniawan


Divestasi KPC dari Waktu ke Waktu

2000-2003 Rio Tinto dan BP sebagai pemilik Kaltim Prima Coal (KPC) seharusnya sudah mendivestasi 51 persen sahamnya di KPC pada 2000. Namun, dalam waktu lebih dari dua tahun itu, perundingan tak pernah selesai karena ketidakcocokan harga.

16 Juli 2003 Bumi Resources membeli seluruh saham Rio Tinto dan BP Plc di KPC dengan harga US$ 500 juta. Akuisisi ini mengejutkan, karena pada saat itu pemerintah sedang bernegosiasi menyelesaikan divestasi 51 persen saham Kaltim Prima: 20 persen ditawarkan kepada PT Tambang Batubara Bukit Asam dan 31 persen ke Pemda Kalimantan Timur, seharga US$ 822 juta.

22 Juli 2003 Pemerintah menilai pemegang saham KPC melanggar perjanjian kontrak. Saham Rio Tinto dan BP Plc. dijual tanpa persetujuan pemerintah dan pemberitahuan tertulis. Pasal 29 PKP2B No. J2/Ji-D4/16 tahun 1982 menyebutkan hak kontraktor tidak boleh dialihkan atau diserahkan kepada orang lain, baik seluruh atau sebagian, tanpa izin tertulis Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral. Kontraktor harus segera memberi tahu secara tertulis setiap pengalihan atau penyerahan hak itu.

25 Juli 2003 Pemerintah tak lagi mempermasalahkan penjualan diam-diam saham KPC itu dan menekankan harga jual saham akan mengacu pada harga pembelian saham induk KPC. Harga berkisar US$ 500 juta untuk 100 persen saham.

Oktober 2003 Bumi Resources meminta pemerintah menaikkan harga saham di atas US$ 822 juta dan mengajukan US$ 1.987 juta karena harga batu bara di pasar dunia naik. Pemerintah menjawab tidak akan menaikkan harga. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pemerintah tetap menggunakan patokan harga lama karena sudah disepakati sebelumnya.

Juni 2004 Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur menyelesaikan transaksi pembelian 18,6 persen saham KPC senilai US$ 104 juta. Dalam transaksi ini, nilai 100 persen saham KPC berkisar US$ 560 juta.

Juli 2004 Pemerintah mengirimkan tim ke KPC di Sangatta, Kalimantan Timur, untuk melihat kondisi dan kinerja perusahaan pertambangan batu bara itu pada semester pertama 2004. Ini terkait proses evaluasi harga keseluruhan saham KPC yang sedang dilakukan pemerintah.

Oktober 2004 Pemerintah memperpanjang masa penilaian saham KPC sampai tiga bulan. Pemerintah menilai harga yang diajukan KPC, US$ 1.987 juta, masih terlalu tinggi. Jika tak sepakat, kedua pihak bisa menunjuk auditor independen.

5 November 2004 Menko Perekonomian Aburizal Bakrie mengeluarkan surat yang mengembalikan penanganan proses divestasi KPC kepada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Tim interdep dibubarkan.

7 Desember 2004 Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sepakat harga 100 persen saham KCP US$ 1.450 juta. Perhitungan itu hanya dilakukan Departemen Energi dan SDM tanpa melibatkan pakar keuangan.

20 Januari 2005 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan sudah meneken surat permintaan pembelian saham KPC. Surat itu dilayangkan kepada Menteri Keuangan.

Akhir Januari 2005 Menteri Keuangan menolak rencana pemerintah membeli 32,4 persen saham KPC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus