MENGADU nasib di negara tetangga, Malaysia, makin memikat
tenaga-tenaga kerja dari Indonesia. Tetapi tak sedikit yang
datang secara gelap. Mereka ditangkap, diadili dan dipenjarakan.
Bahkan diperlakukan dengan cukup kasar.
Salah satu pembicaraan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Datuk
Musa Hitam, dengan pejabat-pejabat Indonesia ketika berkunjung
ke Indonesia pekan lalu, adalah tentang pengiriman tenaga kerja
itu. Bahkan kepada Presiden Soeharto, seperti dikatakan Datuk
Musa sesaat setelah bertemu dengan Kepala Negara RI, diminta
agar persetujuan mengenai tenaga kerja itu segera
ditandatangani.
Perkebunan-perkebunan besar dan proyek-proyek pembangunan di
negara tetanga itu memang salah saru penyedot buruh Indonesia.
Dengan upah yang lebih baik dibanding dinegeri sendiri, dan
dengan berbagai cara, tenaga-tenaga kerja dari Indonesia
mengalir ke sana. Dan cara yang paling gampang dan paling banyak
dilakukan tentulah dengan masuk secara gelap --satu hal yang
tentu saja menyalahi ketentuan di negara itu.
Buruh-buruh gelap, alias pendatang-pendatang haram itu,
ternyata tak sedikit. Tak terkecuali di antaranya adalah para
pencoleng. Keadaan serupa itu rupanya merepotkan kepolisian
Malaysia. Razia dilakukan hampir setiap hari.
Pendatang-pendatang yang tak memiliki surat-surat lengkap,
ditahan, diadili dan dipenjarakan atau dipulangkan.
"Tetapi akhir-akhir ini razia semacam itu sudah agak berkurang
kecuali jika ada kasus pencurian, perkelahian, perampokan yang
diduga dilakukan orang Indonesia," ungkap Yusuf, pemuda Tapanuli
yang kini bekerja di salah satu perkebunan di Johor. Oktober
lalu, misalnya, beberapa orang kaya di Johor kena rampok.
Pelakunya ternyata orang Indonesia. "Akibatnya sekitar 500 orang
pendatang haram, walaupun tak terlibat, ditangkap," kata Yusuf
lagi. Orang-orang Indonesia itu kebetulan sedang berkeliaran di
Kota Tinggi, Johor, asal dan kota-kota lainnya.
Setelah bebas dari penjara, nasib pendatang haram itu belum
tentu untung. Mereka sering dikeluarkan dari Malaysia secara
diam-diam dengan perahu-perahu kecil. Biasanya, deportasi
diam-diam itu hanya membawa 4-5 orang. Tapi 7 November tahun
lalu, kedatangan 45 pendatang haram dari Malaysia di Tanjung
Sekedi, ujung timur Pulau Bengkalis Riau, cukup mengagetkan.
Tengah malam, mereka diturunkan dari tongkang yang mengangkut
mereka dari Johor. Dalam keadaan lapar mereka -- termasuk
seorang anak berumur 12 tahun dan seorang wanita--harus
mengarungi laut setinggi leher beberapa puluh meter dari pantai.
Hanya pakaian yang melekat di tubuh yang terbawa. Untung
mereka segera ditolong penduduk setempat. Kejadian serupa
terulang pula beberapa hari kemudian, dialami 100 orang
Indonesia yang tertangkap di sekitar Batu Pahat, Johor.
Pemulangan orang-orang Indonesia itu masih jauh lebih kecil
dibanding jumlah yang terus menerobos ke Malaysia. "Sejak
perkebunan dibuka tahun 1970-an, mereka membanjir ke sini," ujar
Dollah, penduduk Johor Lama yang menampung pendatang haram dari
Indonesia pada TEMPO. Maksudnya, sejak Malaysia melaksanakan
program pembukaan perkebunan (Federal Land Development Authority
Felda), 1972 . "Sehari sampai 30-40 orang masuk lewat sini,"
tambah Dollah yang mempunyai pangkalan khusus kapal motor tempel
pengangkut buruh Indonesia.
Di bagian selatan Semenanjung Malaysia, mulai dari Batu Pahat
(bagian barat) sampai Pangerang (timur) dapat di jumpai puluhan
pangkalan pendaratan serupa. Bentuknya, dermaga kayu untuk
menambatkan perahu dan sebuah bangsal terbuat dari kayu bulat
dengan atap plastik untuk penampungan sementara. Tempatnya
tersembunyi. Dari pangkalan ini, para pendatang gelap itu
diangkut ke perkebunan atau perusahaan yang memerlukan buruh.
Buruh-buruh yang mau masuk semenanjung, biasanya berangkat dari
Bengkalis, Dumai, Rupat dan Bagan Siapi-api. Pangkalan yang jadi
sasaran ialah pantal barat Johor, seperti Pontianak dan Batu
Pahat. Untuk menyusup ke negara tetangga itu, dari wilayah
Indonesia mereka cukup menggunakan speed boat selama 4 jam atau
perahu layar yang memakan waktu hampir semalam suntuk.
Pintu masuk lainnya di Semenanjung Malaysia itu ialah bagian
tenggara Johor seperti Pangerang, Guntung, Johor Lama dan Teluk
Langsat. Pendatang haram yang masuk lewat pintu-pintu ini
biasanya bertolak dari Tanjungpinang, Tanjunguban atau Batam.
"Kalau cuaca baik, tiga jam sudah sampai," kata Daeng Borak, 45
tahun, seorang taikong (calo tenaga kerja pada TEMPO di Johor
Lama.
Memasuki Malaysia dengan cara tak halal semacam itu tidak sulit.
Daeng Borak, sebagai pencari tenaga kerja yang berpengalaman
sejak 1975 mengumpulkan mereka di Tanjungpinang. Setelah
terhimpun 15-20 orang, barulah si Daeng mengangkut mereka ke
Johor Lama sebuah kampung kecil bagian Kota Tinggi, Johor. Dari
calon pekerja itu, Daeng Borak menarik bayaran Rp 29.000. "Kalau
tidak bisa kontan, utang pun boleh," katanya. Dengan uang itu,
taikong menanggung makan calon pekerja selama perjalanan, selama
penampungan, sampai mempertemukan mereka dengan penadah yang
akan menyalurkan buruh-buruh itu ke tempat kerja.
Tapi kalau mau menghemat biaya, calon pekerja itu bisa juga
lewat Bengkalis. Ongkos sampai di wilayah Malaysia cuma Rp
22.000. Di sini kebanyakan taikong adalah juga pemilik perahu
layar yang mengangkut kayu arang. "Kadang-kadang bisa tidak
bayar sama sekali," kata Hasan, 28 tahun, seorang pekerja asal
Bengkalis di Batu Pahat, Malaysia. Caranya, mereka membantu
menaikkan kayu bakau atau apa saja yang mau dibawa ke Malaysia
dari wilayah Indonesia. Setelah masuk pelabuhan Batu Pahat,
mereka diturunkan di tempat yang tersembunyi. Para penyalur pun
sudah menunggu di sana. "Melalui kenalan, mereka gampang mencari
kerja," kata Idris, 52 tahun, perantara yang tinggal di kampung
Api-api, Pontian Johor.
Arus buruh masuk semenanjung, kalau musim lagi cerah, cukup
besar. November 1981, menurut seorang perantara, ia berhasil
memasukkan 200 orang ke Johor Lama. Sedang taikong di kampung
Guntung juga di Johor Lama bisa membawa 500 orang tiap bulan.
Para taikong sebulan bisa mengantungi untung 8.000 ringgit (Rp
2,4 juta).
Pengaturan serupa oleh taikong juga terjadi di Sabah, terutama
lewat pintu masuk ke daerah perkebunan Jawa dan sekitarnya.
Penerobosan-penerobosan gelap itu diakui Konsul Malaysia di
Medan, Zainal Abidin Haji Ahmad. "Para calo sengaja meninggalkan
prosedur resmi itu untuk mengejar untung," katanya. Bahkan
mereka mempunyai jaringan mulai dari daerah asal calon buruh
sampai penyalurannya di Malaysia" pengiriman tenaga kerja gelap
itu diatur oleh sindikat," kata Ny. Raya Sunardi, Atase Pers
KBRI di Kuala Lumpur pada TEMPO. Menurut Konsul Indonesia di
Sabah, BoediSoetrisno, para calo pekerja Indonesia itu bukan
hanya mempunyai kaki tangan di "ambang pintu", seperti Nunukan
atau Tarakan, tapi juga sampal Nusa Tenggara Timur (NTT dan
Parepare di Sul-Sel. (Lihat juga box).
Membanjirnya buruh Indonesia sesungguhnya memang diharapkan
Pemerintah Malaysia. "Tenaga kerja asal Indonesia masih
diperlukan untuk membantu mengatasi kekurangan pekerja di
perkebunan dan proyek pembangunan," kata sumber TEMPO di
Departemen Wakil Perdana Menteri Malaysia. Berapa jumlah buruh
Indonesia--baik yang masuk dengan sah maupun tidak bekerja di
sana? Pemerintah Malaysia sendiri masih sulit menghitungnya.
Tapi menurut sumber TEMPO di Kuala Lumpur, orang Indonesia
yang memburuh di sana tidak kurang dari 300.000 orang. Mereka
tersebar di Johor, Pagang dan Sabah. Angka yang hampir pasti
bisa dilihat di Sabah. Konsulat Indonesia di Kinabalu mencatat,
sekitar 96.000 orang Indonesia berada di Malaysia Timur itu. Ini
belum termasuk pendatang haram yang di sana lebih dikenal dengan
istilah "naik samping."
Datuk Douglas Lind, 31 tahun, Kepala Penerangan negara bagian
Sabah menperkirakan jumlah pendatang haram itu sekitar 10% dari
penduduk Sabah yang berjumlah 1 juta jiwa itu. "Kedatangan
mereka ini tidak menjadi masalah," kata Douglas pada TEMPO.
Karena, "mereka rajin dan turut membantu kami membangun negeri
ini." Tanpa buruh dari Indonesia, nyaris semua perkebunan di
Malaysia tidak bisa dipetik hasilnya.
Sikap Pemerintah Malaysia yang "lunak" dan membiarkan orang
Indonesia mengalir masuk itu akhirnya mengundang kritik dari
dalam. Partai Aksi Demokrasi (DAP)--"oposisi"-- menuduh
pemerintah sengaja "menyelundupkan" ratusan ribu orang
Indonesia, untuk mengimbangi komposisi warga negaranya yang
sekitar 50% keturunan Cina.
Tuduhan serupa juga datang dari Partai Perhimpunan Cina (MCA).
Kelompok ini bahkan menuding kedatangan orang Indonesia
mengakibatkan kejahatan meningkat. Konon kedua kelompok oposisi
ini mengumpulkan dana untuk melacak orang Indonesia yang masuk
secara gelap ke Malaysia. Berdasarkan hasil pelacakan itu,
mereka mendesak agar Pemerintah Malaysia menindak para
pendatang.
Kebutuhan tenaga kerja yang mendesak, agaknya menyebabkan
Pemerintah Malaysia agak mengenyampingkan kritik Semacam itu
sambil mencari penyelesaian sebaik-baiknya. Misalnya buruh yang
datang lengkap dengan surat-surat sah, dapat langsung mengajukan
permohonan mendapat Indentity Card (II) semacam kartu penduduk
berwarna Inel Dengan kartu ini, mereka bebas mencari pekerjaan
di sana.
Sedang pendatang haram, menurut sumber TEMPO di Departemen Wakil
PM, akan dimaafkan. "Mereka akan dibantu mendapatkan surat
tinggal di Malaysia yang sah, sekaligus memperoleh pas untuk
bekerja," kata sumber itu. Mereka bisa langsung mengajukan
permohonan lewat Kementerian Hal Ikhwal Dalam Negeri. "Kami
tidak mengirimkan mereka kembali ke Indonesia," tambah sumber
itu. Dengan ID merah, derajat pendatang haram diangkat menjadi
pendatang sah. Prosesnya, tidak terlalu berbelit. Biayanya pun
hanya 60 ringgit -- sama dengan gaji seorang huruh penderes
karet selama seminggu. "Tapi kalau harus lewat perantara, biaya
bisa sampai 500 ringgit," kata Yusuf di Johor.
Pemerintah Malaysia juga memberi kelonggaran bagi pemegang ID
merah dari Indonesia untuk mendapat ID biru. Caranya: mereka
harus mengajukan permohonan menjadi warga negara Malaysia.
Kebijaksanaan ini kabarnya pernah disinggung pula dalam suatu
pembicaraan antara Presiden Soeharto dengan Mahathir Mohamad
ketika masih menjabat Wakil PM tahun lalu di Sabah.
Gagasan ini agaknya timbul karena beberapa buruh pemegang ID
merah -yang sebelumnya masuk tidak sah--dipersulit bila ingin
menjenguk keluarganya di Indonesia. "Supaya gampang, lebih baik
menjadi warga negara Malaysia. Dengan paspor Malaysia, orang
Indonesia itu dapat masuk Indonesia sebagai pengunjung dan bukan
untuk pulang selamanya," kata seorang pejabat Imlgrasi RI di
Jakarta. Indonesia dan Malaysia kabarnya telah menyepakati hal
itu.
Sebagai langkah lanjutan, Wakil PM Datuk Musa Hitam, dalam
kunjungannya di Indonesia 17-20 Februari lalu membicarakan hal
itu lagi dengan Prasiden Soeharto. Di Jakarta Datuk Musa Hitam
mengakui "Malaysia sangat kekurangan tenaga kerja untuk
perkebunan dan pembangunan. "
Untuk itu, Malaysia mengharapkan Indonesia sebagai salah satu
sumbernya. "Tenaga kerja Indonesia mempunyai kemampuan bekerja
keras dan jumlahnya banyak. Yang penting lagi, mereka lebih
mudah menyesuaikan diri di Malaysia dibanding tenaga asing
lainnya," kata Datuk Musa Hitam selesai pertemuan selama 90
menit dengan Presiden Soeharto. "Indonesia bukan satu-satunya
sumber tenaga kerja. Tapi hanya Indonesia gas imigrasi yang
menumpang di kantor Pembantu Gubernur Sul-Sel di Pare-pare
sampai Desember lalu telah dikeluarkan exit permit untuk 883
orang. "Kebanyakan untuk pergi ke Malaysia dan Singapura," kata
A. Yamang Hasan, petuyang paling siap mengirimnya sekarang,"
tambahnya.
Untuk memenuhi permintaan tcnaga lierja itu, Direktorat Imigrasi
telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) di daerah asal buruh yang
paling "laris" di sana. Yaitu Pare-pare (Sul-Sel) dan Larantuka
(NTT) sejak Maret tahun lalu. Dari Satgas Satgas Imigrasi itu
pada TEMPO. Selebihnya mereka juga bisa mengurus surat-surat
jalan di Tarakan, Nunukan (Kal-Tim), Tanjungpinang (Riau) atau
tempat lain.
Pemerintah Malaysia sendiri kini tengah mempelajari masalah
kekurangan tenaga kerja itu. "Pemerintah sedang
mempertinbangkan kemungkinan mengmpor tenaga kerja yang
diperlukan." kata Datuk Haji Zakaria bin Haji Aldul Rahim, Wakil
Menteri Buruh dan Tenaga rakyat di Kuala lumpur. Untuk itu,
pejabat tinggi Kementerian Perdagangan dan Industri, Kementrian
Kemajuan Tanah dan Wilayah, Kementerian Perusahaan Utama dan
Kementerian Buruh dan Tenaga Rakyat, sejak beberapa waktu lalu
sibuk mempelajari untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja itu.
"Malaysia masih memerlukan lebih banyak lagi tenaga kerja untuk
per kebunan dan industri pembinaan," kata pembantu Datuk Musa
Hitam di kantornya, pada TEMPO sebelum bertolak ke Jakarta
minggu lalu.
Pejabat di kantor Wakil PM itu juga menyebutkan, Malaysia masih
membutuhkan sekitar 100.000 buruh untuk perkebunan dan lebih
dari 100.000 orang lagi untuk pembangunan konstruksi dan
industri. "Kami memerlukan tenaga sebanyak itu, karena
pembangunan Malaysia kini pesat sekali," kata pembantu dekat
Musa Hitam itu. Agaknya, kekurangan tenaga kerja ini pula yang
menjadi salah satu pembicaraan penting antara Datuk Musa Hitam
dengan Presiden Soeharto.
Salah satu acara Wakil PM Malaysia itu selama di Indonesia
adalah berkunjung ke Ujungpandang. Datuk Musa me mang pernah
mengungkapkan nenek moyangnya berasal dari Bugis -- salah satu
suku di Su-Sel yang warganya banyak merantau ke Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini