Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sebuah pulau perantau

Penduduk pulau bawean sebagian besar merantau ke malaysia atau singapura untuk mencari pekerjaan. sebagai buruh kasar. tempat pemukimannya bernama kampung boyan. (sd)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULAU Bawean sering dijuluki pulau wanita. karena sangat miskin laki-laki muda. Sebagian besar penduduknya yang 66.000 jiwa lebih itu adalah wanita, anak-anak dan laki-laki lanjut usia. Pria mudanya kebanyakan meninggalkan pulau kecil 80 mil sebelah utara Kota Gresik (Jawa Timur) itu untuk merantau ke Malaysia atau Singapura. Dalam sejarah orang Bawean, sejak sebelum Indonesia merdeka, Singapura dan Semenanjung Malaya dianggap "ladang kedua" untuk mencari rezeki. Pulau Bawean sendiri gersang. Hasil utamanya ubi kayu dan sedikit padi. Di Malaysia dan Singapura mereka menjadi buruh kasar. Beberapa tempat pemukiman orang Bawean dapat ditemukan di Kuala Lumpur, Singapura-terkenal dengan sebutan Kampung Boyan, kata lain dari Bawean. Bahkan "armada" orang Bawean ada pula yang nyasar sampai Kota Saigon (Ho Chi Minh City). Mereka membuat kampung tersendiri di sana sejak lebih 100 tahun lalu. Mengapa orang Bawean memilih Semenanjung Malaya sebagai tujuan? Konon raja Bawean, Babylino--penganut anismisme -- ditaklukkan seorang muballigh Islam, Maulana Muumar Masud dari Negeri Campa, Palembang. Sejak Maulana mempunyai pengaruh di pulau itu tahun 1601, orang Bawean mempunyai hubungan dekat dengan Palembang dan Semenanjung Malaya. Waktu itu, hubungan hanya berkisar pada soal agama dan perdagangan. Tapi selanjutnya, orang Bawean menjalin hubungan dengan daerah Semenanjung Malaya, terutama dalam hal mencari pekerjaan. Mereka masuk Singapura atau Malaysia sebagai imigran gelap. Tapi setelah masa konfrontasi selesai 1964, pintu kedua negara itu makin rapat tertutup untuk mereka. Namun ketentuan itu tidak menghalangi niat orang Bawean mencari nafkah di sana. "Negara itu seolaholah telah menjadi tanah air kedua bagi orang Bawean," kata Ayub Abdullah, carik Desa Pekalongan di Bawean pada TEMPO Semangat orang Bawean mencari nafkah di Singapura atau Malaysia bertambah besar karena orang tua yang sudah tidak kuat lagi merantau juga selalu memberi petuah: "Di sana, banyak hujan emas. " Tentu maksudnya, di negeri orang itu lebih gampang mendapat uang. Pulau seluas 188 kilometer persegi yang gersang itu hanya mampu memberi lapangan pekerjaan untuk petani ladang dan nelayan. Hidup di sana agaknya memang susah. "Mendapat hasil Rp 500 sehari saja, sudah berat di sini," kata Ayub. Kecuali itu, hubungan dengan daerah lainnya memang seret. Perahu layar yang mengangkut barang kebutuhan sehari-hari akibatnya, harga barang-barang tergolong tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Minyak tanah satu botol bir Rp 100, bensin Rp 350 seliter dan gula pasir Rp 750. Angkutan sepanjang pulau dari Sangkapura sampai Tambak sejauh 23 km hanya dilayani 25 buah kolt. Tarifnya Rp 1.500 seorang. Hasil bumi pulau yang terdiri merapat dari Gresik hanya setiap Rabu dan 2 kecamatan itu (paling banyah ubi kayu) sulit diangkut ke luar pulau. Karena itu, "paling gampang merantau," kata seorang penduduk Sangkapura. Tapi kini mereka tidak bisa "main gelap" masuk Singapura dan Malaysia. Perantau asal Bawean itu mesti membawa paspor, visa dan exit permit. "Rata-rata tidak kurang dari 50 orang tiap bulan berangkat dari Bawean," kata Miftah Helmy, 36 tahun, orang asal Bawean yang kini menjual jasa mengurus keberangkatan mereka ke negara tetangga itu. Lewat biro jasanya "Telaga Kastoba" -- nama danau di tengah pulau itu--seorang calon buruh harus membayar Rp 200.000. Ini sudah all in artinya termasuk pengurusan surat-surat, tiket pesawat, transpor Surabaya-Jakarta dan penginapan. "Pokoknya mereka ditanggung sampai di tempat," kata Miftah. Setelah sampai di tempat tuuan, orang Bawean yang sudah lama tinggal disana mencarikan pekerjaan bagi pendatang baru ini. Penampilan orang Bawean yang merantau memang kelihatan mentereng di kampungnya. Hampir tiap rumah yang ditinggalkan kepala keluarganya merantau di Malaysia atau Singapura, ada radio, televisi, radio kaset dan mainan anak-anak kualitas impor. Nyonya Rehana, 30 tahun, penduduk Desa Pekalongan salah satu contohnya. Ia bersama 7 anaknya hidup cukup di rumah batu yang terbilang mewah untuk ukuran pulau itu. Suaminya, Fakih, yang bekerja sebagai tukang batu di Kuala Lumpur, sebulan sekali mengirim duit Rp 150.000. Sang suami yang merantau sejak 1976 itu mendapat upah 30 ringgit atau hampir Rp 9.000 sehari. Setahun sekali, ia cuti menjenguk keluarganya di Bawean --naik pesawat terbang tentunya--dengan membawa berbagai barang "mewah" untuk oleh-oleh. Kecuali mengongkosi hidup keluarga, perantau dari Bawean ini juga menyumbang kampungnya. Sebulan sekali, mereka mengumpulkan sumbangan untuk memperbaiki surau, masjid dan tempat umum lainnya. Bahkan perantau dari Desa Pekalongan telah mengumpulkan uang untuk membeli sebuah pembangkit listrik berkekuatan 7000 watt. Malam hari, penduduk desa itu kini dapat menikmati cahaya listrik. Berapa banyak orang Bawean yang merantau belum diketahui pasti. "Karena mereka hilir mudik setiap saat," kata seorang pejabat pemerintahan di Bawean. Yang jelas, hampir setiap desa ada kepala keluarga atau orang muda yang merantau. "Tiap desa sedikitnya 50 orang," kata seorang penduduk Desa Sungai Rujing. Yang bisa diketahui agak pasti adalah umlah perantau dari Desa Pekalongan yang berpenduduk 380 kepala keluarga. "Di Kuala Lumpur saja, ada 350 orang dari desa ini," kata Machfud, perantau di Kuala Lumpur yang bulan lalu sedang pulang kampung di Desa Pekalongan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus