PULAU Bawean sering dijuluki pulau wanita. karena sangat miskin
laki-laki muda. Sebagian besar penduduknya yang 66.000 jiwa
lebih itu adalah wanita, anak-anak dan laki-laki lanjut usia.
Pria mudanya kebanyakan meninggalkan pulau kecil 80 mil sebelah
utara Kota Gresik (Jawa Timur) itu untuk merantau ke Malaysia
atau Singapura.
Dalam sejarah orang Bawean, sejak sebelum Indonesia merdeka,
Singapura dan Semenanjung Malaya dianggap "ladang kedua" untuk
mencari rezeki. Pulau Bawean sendiri gersang. Hasil utamanya ubi
kayu dan sedikit padi.
Di Malaysia dan Singapura mereka menjadi buruh kasar. Beberapa
tempat pemukiman orang Bawean dapat ditemukan di Kuala Lumpur,
Singapura-terkenal dengan sebutan Kampung Boyan, kata lain dari
Bawean. Bahkan "armada" orang Bawean ada pula yang nyasar sampai
Kota Saigon (Ho Chi Minh City). Mereka membuat kampung
tersendiri di sana sejak lebih 100 tahun lalu.
Mengapa orang Bawean memilih Semenanjung Malaya sebagai tujuan?
Konon raja Bawean, Babylino--penganut anismisme -- ditaklukkan
seorang muballigh Islam, Maulana Muumar Masud dari Negeri Campa,
Palembang. Sejak Maulana mempunyai pengaruh di pulau itu tahun
1601, orang Bawean mempunyai hubungan dekat dengan Palembang dan
Semenanjung Malaya. Waktu itu, hubungan hanya berkisar pada soal
agama dan perdagangan.
Tapi selanjutnya, orang Bawean menjalin hubungan dengan daerah
Semenanjung Malaya, terutama dalam hal mencari pekerjaan. Mereka
masuk Singapura atau Malaysia sebagai imigran gelap. Tapi
setelah masa konfrontasi selesai 1964, pintu kedua negara itu
makin rapat tertutup untuk mereka.
Namun ketentuan itu tidak menghalangi niat orang Bawean mencari
nafkah di sana. "Negara itu seolaholah telah menjadi tanah air
kedua bagi orang Bawean," kata Ayub Abdullah, carik Desa
Pekalongan di Bawean pada TEMPO Semangat orang Bawean mencari
nafkah di Singapura atau Malaysia bertambah besar karena orang
tua yang sudah tidak kuat lagi merantau juga selalu memberi
petuah: "Di sana, banyak hujan emas. " Tentu maksudnya, di
negeri orang itu lebih gampang mendapat uang.
Pulau seluas 188 kilometer persegi yang gersang itu hanya mampu
memberi lapangan pekerjaan untuk petani ladang dan nelayan.
Hidup di sana agaknya memang susah. "Mendapat hasil Rp 500
sehari saja, sudah berat di sini," kata Ayub. Kecuali itu,
hubungan dengan daerah lainnya memang seret. Perahu layar yang
mengangkut barang kebutuhan sehari-hari akibatnya, harga
barang-barang tergolong tinggi dibandingkan dengan daerah lain.
Minyak tanah satu botol bir Rp 100, bensin Rp 350 seliter dan
gula pasir Rp 750. Angkutan sepanjang pulau dari Sangkapura
sampai Tambak sejauh 23 km hanya dilayani 25 buah kolt. Tarifnya
Rp 1.500 seorang. Hasil bumi pulau yang terdiri merapat dari
Gresik hanya setiap Rabu dan 2 kecamatan itu (paling banyah ubi
kayu) sulit diangkut ke luar pulau.
Karena itu, "paling gampang merantau," kata seorang penduduk
Sangkapura. Tapi kini mereka tidak bisa "main gelap" masuk
Singapura dan Malaysia. Perantau asal Bawean itu mesti membawa
paspor, visa dan exit permit. "Rata-rata tidak kurang dari 50
orang tiap bulan berangkat dari Bawean," kata Miftah Helmy, 36
tahun, orang asal Bawean yang kini menjual jasa mengurus
keberangkatan mereka ke negara tetangga itu.
Lewat biro jasanya "Telaga Kastoba" -- nama danau di tengah
pulau itu--seorang calon buruh harus membayar Rp 200.000. Ini
sudah all in artinya termasuk pengurusan surat-surat, tiket
pesawat, transpor Surabaya-Jakarta dan penginapan. "Pokoknya
mereka ditanggung sampai di tempat," kata Miftah. Setelah sampai
di tempat tuuan, orang Bawean yang sudah lama tinggal disana
mencarikan pekerjaan bagi pendatang baru ini.
Penampilan orang Bawean yang merantau memang kelihatan mentereng
di kampungnya. Hampir tiap rumah yang ditinggalkan kepala
keluarganya merantau di Malaysia atau Singapura, ada radio,
televisi, radio kaset dan mainan anak-anak kualitas impor.
Nyonya Rehana, 30 tahun, penduduk Desa Pekalongan salah satu
contohnya. Ia bersama 7 anaknya hidup cukup di rumah batu yang
terbilang mewah untuk ukuran pulau itu. Suaminya, Fakih, yang
bekerja sebagai tukang batu di Kuala Lumpur, sebulan sekali
mengirim duit Rp 150.000. Sang suami yang merantau sejak 1976
itu mendapat upah 30 ringgit atau hampir Rp 9.000 sehari.
Setahun sekali, ia cuti menjenguk keluarganya di Bawean --naik
pesawat terbang tentunya--dengan membawa berbagai barang "mewah"
untuk oleh-oleh.
Kecuali mengongkosi hidup keluarga, perantau dari Bawean ini
juga menyumbang kampungnya. Sebulan sekali, mereka mengumpulkan
sumbangan untuk memperbaiki surau, masjid dan tempat umum
lainnya. Bahkan perantau dari Desa Pekalongan telah mengumpulkan
uang untuk membeli sebuah pembangkit listrik berkekuatan 7000
watt. Malam hari, penduduk desa itu kini dapat menikmati cahaya
listrik.
Berapa banyak orang Bawean yang merantau belum diketahui pasti.
"Karena mereka hilir mudik setiap saat," kata seorang pejabat
pemerintahan di Bawean. Yang jelas, hampir setiap desa ada
kepala keluarga atau orang muda yang merantau. "Tiap desa
sedikitnya 50 orang," kata seorang penduduk Desa Sungai Rujing.
Yang bisa diketahui agak pasti adalah umlah perantau dari Desa
Pekalongan yang berpenduduk 380 kepala keluarga. "Di Kuala
Lumpur saja, ada 350 orang dari desa ini," kata Machfud,
perantau di Kuala Lumpur yang bulan lalu sedang pulang kampung
di Desa Pekalongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini