Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mencari lindungan datuk musa

Membanjirnya buruh-buruh gelap indonesia ke malaysia. mengakibatkan pemerintah melaysia melakukan penangkapan perlu ditangani persetujuan tenaga kerja antara kedua negara. (sd)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGADU nasib di negara tetangga, Malaysia, makin memikat tenaga-tenaga kerja dari Indonesia. Tetapi tak sedikit yang datang secara gelap. Mereka ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Bahkan diperlakukan dengan cukup kasar. Salah satu pembicaraan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Datuk Musa Hitam, dengan pejabat-pejabat Indonesia ketika berkunjung ke Indonesia pekan lalu, adalah tentang pengiriman tenaga kerja itu. Bahkan kepada Presiden Soeharto, seperti dikatakan Datuk Musa sesaat setelah bertemu dengan Kepala Negara RI, diminta agar persetujuan mengenai tenaga kerja itu segera ditandatangani. Perkebunan-perkebunan besar dan proyek-proyek pembangunan di negara tetanga itu memang salah saru penyedot buruh Indonesia. Dengan upah yang lebih baik dibanding dinegeri sendiri, dan dengan berbagai cara, tenaga-tenaga kerja dari Indonesia mengalir ke sana. Dan cara yang paling gampang dan paling banyak dilakukan tentulah dengan masuk secara gelap --satu hal yang tentu saja menyalahi ketentuan di negara itu. Buruh-buruh gelap, alias pendatang-pendatang haram itu, ternyata tak sedikit. Tak terkecuali di antaranya adalah para pencoleng. Keadaan serupa itu rupanya merepotkan kepolisian Malaysia. Razia dilakukan hampir setiap hari. Pendatang-pendatang yang tak memiliki surat-surat lengkap, ditahan, diadili dan dipenjarakan atau dipulangkan. "Tetapi akhir-akhir ini razia semacam itu sudah agak berkurang kecuali jika ada kasus pencurian, perkelahian, perampokan yang diduga dilakukan orang Indonesia," ungkap Yusuf, pemuda Tapanuli yang kini bekerja di salah satu perkebunan di Johor. Oktober lalu, misalnya, beberapa orang kaya di Johor kena rampok. Pelakunya ternyata orang Indonesia. "Akibatnya sekitar 500 orang pendatang haram, walaupun tak terlibat, ditangkap," kata Yusuf lagi. Orang-orang Indonesia itu kebetulan sedang berkeliaran di Kota Tinggi, Johor, asal dan kota-kota lainnya. Setelah bebas dari penjara, nasib pendatang haram itu belum tentu untung. Mereka sering dikeluarkan dari Malaysia secara diam-diam dengan perahu-perahu kecil. Biasanya, deportasi diam-diam itu hanya membawa 4-5 orang. Tapi 7 November tahun lalu, kedatangan 45 pendatang haram dari Malaysia di Tanjung Sekedi, ujung timur Pulau Bengkalis Riau, cukup mengagetkan. Tengah malam, mereka diturunkan dari tongkang yang mengangkut mereka dari Johor. Dalam keadaan lapar mereka -- termasuk seorang anak berumur 12 tahun dan seorang wanita--harus mengarungi laut setinggi leher beberapa puluh meter dari pantai. Hanya pakaian yang melekat di tubuh yang terbawa. Untung mereka segera ditolong penduduk setempat. Kejadian serupa terulang pula beberapa hari kemudian, dialami 100 orang Indonesia yang tertangkap di sekitar Batu Pahat, Johor. Pemulangan orang-orang Indonesia itu masih jauh lebih kecil dibanding jumlah yang terus menerobos ke Malaysia. "Sejak perkebunan dibuka tahun 1970-an, mereka membanjir ke sini," ujar Dollah, penduduk Johor Lama yang menampung pendatang haram dari Indonesia pada TEMPO. Maksudnya, sejak Malaysia melaksanakan program pembukaan perkebunan (Federal Land Development Authority Felda), 1972 . "Sehari sampai 30-40 orang masuk lewat sini," tambah Dollah yang mempunyai pangkalan khusus kapal motor tempel pengangkut buruh Indonesia. Di bagian selatan Semenanjung Malaysia, mulai dari Batu Pahat (bagian barat) sampai Pangerang (timur) dapat di jumpai puluhan pangkalan pendaratan serupa. Bentuknya, dermaga kayu untuk menambatkan perahu dan sebuah bangsal terbuat dari kayu bulat dengan atap plastik untuk penampungan sementara. Tempatnya tersembunyi. Dari pangkalan ini, para pendatang gelap itu diangkut ke perkebunan atau perusahaan yang memerlukan buruh. Buruh-buruh yang mau masuk semenanjung, biasanya berangkat dari Bengkalis, Dumai, Rupat dan Bagan Siapi-api. Pangkalan yang jadi sasaran ialah pantal barat Johor, seperti Pontianak dan Batu Pahat. Untuk menyusup ke negara tetangga itu, dari wilayah Indonesia mereka cukup menggunakan speed boat selama 4 jam atau perahu layar yang memakan waktu hampir semalam suntuk. Pintu masuk lainnya di Semenanjung Malaysia itu ialah bagian tenggara Johor seperti Pangerang, Guntung, Johor Lama dan Teluk Langsat. Pendatang haram yang masuk lewat pintu-pintu ini biasanya bertolak dari Tanjungpinang, Tanjunguban atau Batam. "Kalau cuaca baik, tiga jam sudah sampai," kata Daeng Borak, 45 tahun, seorang taikong (calo tenaga kerja pada TEMPO di Johor Lama. Memasuki Malaysia dengan cara tak halal semacam itu tidak sulit. Daeng Borak, sebagai pencari tenaga kerja yang berpengalaman sejak 1975 mengumpulkan mereka di Tanjungpinang. Setelah terhimpun 15-20 orang, barulah si Daeng mengangkut mereka ke Johor Lama sebuah kampung kecil bagian Kota Tinggi, Johor. Dari calon pekerja itu, Daeng Borak menarik bayaran Rp 29.000. "Kalau tidak bisa kontan, utang pun boleh," katanya. Dengan uang itu, taikong menanggung makan calon pekerja selama perjalanan, selama penampungan, sampai mempertemukan mereka dengan penadah yang akan menyalurkan buruh-buruh itu ke tempat kerja. Tapi kalau mau menghemat biaya, calon pekerja itu bisa juga lewat Bengkalis. Ongkos sampai di wilayah Malaysia cuma Rp 22.000. Di sini kebanyakan taikong adalah juga pemilik perahu layar yang mengangkut kayu arang. "Kadang-kadang bisa tidak bayar sama sekali," kata Hasan, 28 tahun, seorang pekerja asal Bengkalis di Batu Pahat, Malaysia. Caranya, mereka membantu menaikkan kayu bakau atau apa saja yang mau dibawa ke Malaysia dari wilayah Indonesia. Setelah masuk pelabuhan Batu Pahat, mereka diturunkan di tempat yang tersembunyi. Para penyalur pun sudah menunggu di sana. "Melalui kenalan, mereka gampang mencari kerja," kata Idris, 52 tahun, perantara yang tinggal di kampung Api-api, Pontian Johor. Arus buruh masuk semenanjung, kalau musim lagi cerah, cukup besar. November 1981, menurut seorang perantara, ia berhasil memasukkan 200 orang ke Johor Lama. Sedang taikong di kampung Guntung juga di Johor Lama bisa membawa 500 orang tiap bulan. Para taikong sebulan bisa mengantungi untung 8.000 ringgit (Rp 2,4 juta). Pengaturan serupa oleh taikong juga terjadi di Sabah, terutama lewat pintu masuk ke daerah perkebunan Jawa dan sekitarnya. Penerobosan-penerobosan gelap itu diakui Konsul Malaysia di Medan, Zainal Abidin Haji Ahmad. "Para calo sengaja meninggalkan prosedur resmi itu untuk mengejar untung," katanya. Bahkan mereka mempunyai jaringan mulai dari daerah asal calon buruh sampai penyalurannya di Malaysia" pengiriman tenaga kerja gelap itu diatur oleh sindikat," kata Ny. Raya Sunardi, Atase Pers KBRI di Kuala Lumpur pada TEMPO. Menurut Konsul Indonesia di Sabah, BoediSoetrisno, para calo pekerja Indonesia itu bukan hanya mempunyai kaki tangan di "ambang pintu", seperti Nunukan atau Tarakan, tapi juga sampal Nusa Tenggara Timur (NTT dan Parepare di Sul-Sel. (Lihat juga box). Membanjirnya buruh Indonesia sesungguhnya memang diharapkan Pemerintah Malaysia. "Tenaga kerja asal Indonesia masih diperlukan untuk membantu mengatasi kekurangan pekerja di perkebunan dan proyek pembangunan," kata sumber TEMPO di Departemen Wakil Perdana Menteri Malaysia. Berapa jumlah buruh Indonesia--baik yang masuk dengan sah maupun tidak bekerja di sana? Pemerintah Malaysia sendiri masih sulit menghitungnya. Tapi menurut sumber TEMPO di Kuala Lumpur, orang Indonesia yang memburuh di sana tidak kurang dari 300.000 orang. Mereka tersebar di Johor, Pagang dan Sabah. Angka yang hampir pasti bisa dilihat di Sabah. Konsulat Indonesia di Kinabalu mencatat, sekitar 96.000 orang Indonesia berada di Malaysia Timur itu. Ini belum termasuk pendatang haram yang di sana lebih dikenal dengan istilah "naik samping." Datuk Douglas Lind, 31 tahun, Kepala Penerangan negara bagian Sabah menperkirakan jumlah pendatang haram itu sekitar 10% dari penduduk Sabah yang berjumlah 1 juta jiwa itu. "Kedatangan mereka ini tidak menjadi masalah," kata Douglas pada TEMPO. Karena, "mereka rajin dan turut membantu kami membangun negeri ini." Tanpa buruh dari Indonesia, nyaris semua perkebunan di Malaysia tidak bisa dipetik hasilnya. Sikap Pemerintah Malaysia yang "lunak" dan membiarkan orang Indonesia mengalir masuk itu akhirnya mengundang kritik dari dalam. Partai Aksi Demokrasi (DAP)--"oposisi"-- menuduh pemerintah sengaja "menyelundupkan" ratusan ribu orang Indonesia, untuk mengimbangi komposisi warga negaranya yang sekitar 50% keturunan Cina. Tuduhan serupa juga datang dari Partai Perhimpunan Cina (MCA). Kelompok ini bahkan menuding kedatangan orang Indonesia mengakibatkan kejahatan meningkat. Konon kedua kelompok oposisi ini mengumpulkan dana untuk melacak orang Indonesia yang masuk secara gelap ke Malaysia. Berdasarkan hasil pelacakan itu, mereka mendesak agar Pemerintah Malaysia menindak para pendatang. Kebutuhan tenaga kerja yang mendesak, agaknya menyebabkan Pemerintah Malaysia agak mengenyampingkan kritik Semacam itu sambil mencari penyelesaian sebaik-baiknya. Misalnya buruh yang datang lengkap dengan surat-surat sah, dapat langsung mengajukan permohonan mendapat Indentity Card (II) semacam kartu penduduk berwarna Inel Dengan kartu ini, mereka bebas mencari pekerjaan di sana. Sedang pendatang haram, menurut sumber TEMPO di Departemen Wakil PM, akan dimaafkan. "Mereka akan dibantu mendapatkan surat tinggal di Malaysia yang sah, sekaligus memperoleh pas untuk bekerja," kata sumber itu. Mereka bisa langsung mengajukan permohonan lewat Kementerian Hal Ikhwal Dalam Negeri. "Kami tidak mengirimkan mereka kembali ke Indonesia," tambah sumber itu. Dengan ID merah, derajat pendatang haram diangkat menjadi pendatang sah. Prosesnya, tidak terlalu berbelit. Biayanya pun hanya 60 ringgit -- sama dengan gaji seorang huruh penderes karet selama seminggu. "Tapi kalau harus lewat perantara, biaya bisa sampai 500 ringgit," kata Yusuf di Johor. Pemerintah Malaysia juga memberi kelonggaran bagi pemegang ID merah dari Indonesia untuk mendapat ID biru. Caranya: mereka harus mengajukan permohonan menjadi warga negara Malaysia. Kebijaksanaan ini kabarnya pernah disinggung pula dalam suatu pembicaraan antara Presiden Soeharto dengan Mahathir Mohamad ketika masih menjabat Wakil PM tahun lalu di Sabah. Gagasan ini agaknya timbul karena beberapa buruh pemegang ID merah -yang sebelumnya masuk tidak sah--dipersulit bila ingin menjenguk keluarganya di Indonesia. "Supaya gampang, lebih baik menjadi warga negara Malaysia. Dengan paspor Malaysia, orang Indonesia itu dapat masuk Indonesia sebagai pengunjung dan bukan untuk pulang selamanya," kata seorang pejabat Imlgrasi RI di Jakarta. Indonesia dan Malaysia kabarnya telah menyepakati hal itu. Sebagai langkah lanjutan, Wakil PM Datuk Musa Hitam, dalam kunjungannya di Indonesia 17-20 Februari lalu membicarakan hal itu lagi dengan Prasiden Soeharto. Di Jakarta Datuk Musa Hitam mengakui "Malaysia sangat kekurangan tenaga kerja untuk perkebunan dan pembangunan. " Untuk itu, Malaysia mengharapkan Indonesia sebagai salah satu sumbernya. "Tenaga kerja Indonesia mempunyai kemampuan bekerja keras dan jumlahnya banyak. Yang penting lagi, mereka lebih mudah menyesuaikan diri di Malaysia dibanding tenaga asing lainnya," kata Datuk Musa Hitam selesai pertemuan selama 90 menit dengan Presiden Soeharto. "Indonesia bukan satu-satunya sumber tenaga kerja. Tapi hanya Indonesia gas imigrasi yang menumpang di kantor Pembantu Gubernur Sul-Sel di Pare-pare sampai Desember lalu telah dikeluarkan exit permit untuk 883 orang. "Kebanyakan untuk pergi ke Malaysia dan Singapura," kata A. Yamang Hasan, petuyang paling siap mengirimnya sekarang," tambahnya. Untuk memenuhi permintaan tcnaga lierja itu, Direktorat Imigrasi telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) di daerah asal buruh yang paling "laris" di sana. Yaitu Pare-pare (Sul-Sel) dan Larantuka (NTT) sejak Maret tahun lalu. Dari Satgas Satgas Imigrasi itu pada TEMPO. Selebihnya mereka juga bisa mengurus surat-surat jalan di Tarakan, Nunukan (Kal-Tim), Tanjungpinang (Riau) atau tempat lain. Pemerintah Malaysia sendiri kini tengah mempelajari masalah kekurangan tenaga kerja itu. "Pemerintah sedang mempertinbangkan kemungkinan mengmpor tenaga kerja yang diperlukan." kata Datuk Haji Zakaria bin Haji Aldul Rahim, Wakil Menteri Buruh dan Tenaga rakyat di Kuala lumpur. Untuk itu, pejabat tinggi Kementerian Perdagangan dan Industri, Kementrian Kemajuan Tanah dan Wilayah, Kementerian Perusahaan Utama dan Kementerian Buruh dan Tenaga Rakyat, sejak beberapa waktu lalu sibuk mempelajari untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja itu. "Malaysia masih memerlukan lebih banyak lagi tenaga kerja untuk per kebunan dan industri pembinaan," kata pembantu Datuk Musa Hitam di kantornya, pada TEMPO sebelum bertolak ke Jakarta minggu lalu. Pejabat di kantor Wakil PM itu juga menyebutkan, Malaysia masih membutuhkan sekitar 100.000 buruh untuk perkebunan dan lebih dari 100.000 orang lagi untuk pembangunan konstruksi dan industri. "Kami memerlukan tenaga sebanyak itu, karena pembangunan Malaysia kini pesat sekali," kata pembantu dekat Musa Hitam itu. Agaknya, kekurangan tenaga kerja ini pula yang menjadi salah satu pembicaraan penting antara Datuk Musa Hitam dengan Presiden Soeharto. Salah satu acara Wakil PM Malaysia itu selama di Indonesia adalah berkunjung ke Ujungpandang. Datuk Musa me mang pernah mengungkapkan nenek moyangnya berasal dari Bugis -- salah satu suku di Su-Sel yang warganya banyak merantau ke Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus