Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Joko Widodo memperingatkan soal fenomena gig economy yang berpotensi menjadi tren perekonomian pada masa depan.
Bank Dunia pun mencatat sekitar 55 persen pekerja gig di Indonesia adalah individu berusia 30 tahun atau lebih muda. Banyak kelompok generasi Z atau gen Z yang terimpit di antara pengangguran dan jerat gig economy.
Belakangan ini, jumlah pekerja gig di sektor transportasi makin bertambah lantaran maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
PRESIDEN Joko Widodo memperingatkan soal fenomena gig economy yang berpotensi menjadi tren perekonomian pada masa depan. Dia mengatakan gig economy sebagai ekonomi serabutan. Tenaga kerja pada ekonomi serabutan kerap disebut sebagai pekerja gig. Perusahaan memilih pekerja dengan sistem paruh waktu dibanding karyawan tetap untuk mengurangi risiko ketidakpastian global.
"Gig economy. Hati-hati dengan ini, ekonomi serabutan, ekonomi paruh waktu. Perusahaan memilih pekerja independen, perusahaan memilih pekerja yang freelancer," ujar Jokowi dalam pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional 2024, Kamis, 19 September 2024.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mendefinisikan gig economy sebagai praktik ekonomi berbasis platform yang menggunakan Internet dan berpusat pada individu. Konsep ini memungkinkan individu mendapat penghasilan sambil memiliki otonomi dalam menentukan jadwal dan lokasi kerja mereka.
Gig awalnya lekat dengan musikus yang menerima pekerjaan dari panggung ke panggung. Gig economy juga mengambil referensi pada ekonomi yang digerakkan oleh mereka yang bekerja dari “panggung ke panggung”.
Menurut Jokowi, tren ekonomi serabutan terlihat dari banyaknya perusahaan yang memilih pekerja independen atau freelancer alih-alih mempekerjakan karyawan tetap. Walhasil, kesempatan kerja yang berkelanjutan makin langka. Sementara itu, jumlah orang yang mencari kerja makin banyak.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memprediksi tren ekonomi serabutan akan makin didorong oleh fleksibilitas waktu kerja yang membuat perusahaan bebas membuka kesempatan kerja lintas negara. Imbasnya, kesempatan kerja menjadi makin sempit dan berkurang.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional atau Sakernas 2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sebagian besar pekerja di Indonesia masih berada dalam sektor informal atau hampir 60 persen. Sebelum masa pandemi Covid-19 pada 2019, pekerja informal sebanyak 75,65 juta orang. Kini, pada 2024, tercatat jumlahnya mencapai 84,13 juta orang.
Laporan Bank Dunia pada 2023 tentang pekerja informal ekonomi serabutan di 17 negara menunjukkan 6-7 persen dari keseluruhan pekerja informal di Indonesia merupakan pekerja gig. Sebanyak 60 persen pekerja informal gig economy di Indonesia kesulitan memenuhi kebutuhan finansial mereka. Bahkan, hanya 34 persen yang memiliki tabungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Dunia pun pada Juli 2023 mencatat sekitar 55 persen pekerja gig di Indonesia adalah individu berusia 30 tahun atau lebih muda. Banyak kelompok generasi Z atau gen Z yang terimpit di antara pengangguran dan jerat gig economy. Melansir data BPS, gen Z atau penduduk yang lahir pada 1997-2012 menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Tanah Air.
Pekerja Informal Melonjak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan LPEM UI bertajuk Labor Market Brief yang dirilis pada Mei 2024 menunjukkan bahwa pekerja gig di sektor transportasi menjadi sumber pendapatan utama bagi sebagian besar pekerja gig di Indonesia. Tercatat ada 1,23 juta pekerja gig di sektor transportasi dengan rata-rata jam kerja mencapai 54 jam per pekan.
Dibanding pekerja formal dan informal lainnya, pekerja gig memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Rata-rata pendapatan per bulan para pekerja gig di sektor transportasi sebesar Rp 3,05 juta. Kondisi pekerja gig kerap melibatkan jam kerja yang panjang untuk mencapai target dan bonus.
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati mengungkapkan selama ini pemenuhan hak pekerja gig berstatus mitra, seperti pengemudi daring berbasis aplikasi, misalnya ojek online dan kurir, sering terabaikan. Ia menilai informalisasi kerja berkedok status kemitraan membuat pekerja gig rentan dieksploitasi.
"Para driver ojek online, kurir, dan taksi online tidak mendapat pelindungan dari negara karena status mitra yang mencabut hak-hak mereka sebagai pekerja," ucap Lily kepada Tempo, Jumat, 11 Oktober 2024. Pekerja gig hidup tanpa kepastian dari pekerjaan yang stabil dan penghasilan yang rutin.
Para pencari kerja di Jakarta Job Fair, Mal Grand ITC Permata Hijau, Jakarta, 14 Agustus 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Padahal, menurut Lily, sudah jelas terlihat dari pekerjaan sehari-harinya bahwa para pengemudi ojek online, kurir, dan taksi online termasuk dalam hubungan kerja dengan perusahaan aplikasi, bukan mitra. Hal ini ditandai oleh adanya aturan pekerjaan, upah, dan perintah melalui aplikasi yang dibuat perusahaan aplikasi. Dengan demikian, perusahaan memegang kendali atas para pekerja gig ini.
Lily mengimbuhkan, belakangan ini jumlah pekerja gig di sektor transportasi makin bertambah lantaran maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara itu, lowongan kerja bagi para pengemudi ojek online, kurir, dan taksi online terus dibuka sehingga persaingan mendapatkan konsumen makin sempit.
Jika pemerintah khawatir soal nasib pekerja gig, Lily berpendapat seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan sejak awal mengeluarkan regulasi yang menetapkan pengemudi online sebagai pekerja tetap sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan diakuinya para pekerja platform sebagai karyawan, pekerja gig ini bisa mendapatkan hak-haknya, seperti upah minimum, waktu kerja delapan jam, jaminan sosial, upah lembur, tunjangan, jam dan hari istirahat, cuti haid dan melahirkan, serta hak berserikat dan berunding.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan hingga saat ini masih menyiapkan regulasi khusus untuk mengatur hubungan kerja kemitraan. Setelah rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2024, mantan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, mengatakan telah memulai penyusunan rancangan peraturan menteri yang bertujuan melindungi tenaga kerja luar hubungan kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, berpandangan lonjakan pekerja gig disebabkan oleh perubahan jenis pekerjaan yang lebih mengarah pada hubungan kerja secara fleksibel. Ia menyarankan pemerintah untuk tidak membatasi atau melarang konsep ini karena sedang menjadi kebutuhan dunia kerja. "Aturan yang diperlukan adalah untuk melegitimasi dan mengatur, bukan membatasi apalagi melarang," katanya.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menuturkan pekerja gig menjadi tumpuan untuk pekerja yang terkena badai PHK dalam beberapa bulan terakhir. Karena itu, jumlah pekerja gig di Indonesia makin melonjak.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, pada periode Januari-1 Oktober 2024, terdapat 52.993 buruh terkena PHK. "Kehadiran pekerja gig, seperti ojek online, merupakan safety job bagi masyarakat yang menjadi pengangguran dan di tengah sulitnya pemerintah menghadirkan lapangan kerja formal," kata Nailul.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Nailul mengungkapkan bahwa kota atau kabupaten yang terlayani layanan ride-hailing mempunyai tingkat pengangguran 37 persen lebih rendah dibanding kota/kabupaten yang belum terlayani layanan ride-hailing ataupun sebelum layanan ride-hailing hadir di kota/kabupaten tersebut.
Namun ia menekankan pekerja gig juga menghadapi masalah kesejahteraan. Pekerja gig jarang mendapatkan perlindungan sosial, dari perlindungan kesehatan hingga dana pensiun. Menurut Nailul, masalah utamanya adalah skema pembayaran premi perlindungan yang belum sesuai dengan karakteristik pekerja gig.
Nailul berpandangan pengaturan pekerja gig memerlukan keseimbangan dari berbagai sisi, dari pekerja gig, konsumen, hingga industri. Dibutuhkan kebijakan yang tepat sasaran dan bisa membantu pekerja gig untuk naik kelas ke pekerjaan formal. Dengan regulasi itu, ia yakin kehadiran ekonomi digital bisa dirasakan oleh lebih banyak masyarakat dan membantu cita-cita pemerintahan baru mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.
Tempo telah menghubungi Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi untuk meminta konfirmasi soal lonjakan pekerja gig. Namun pesan yang dikirim Tempo belum direspons.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo