Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA optimisme yang meruah: per kuartal II 2021, statistik ekonomi Indonesia akan menunjukkan pertumbuhan pesat. Pemerintah bahkan berani memprediksi pertumbuhan lebih dari 7 persen. Optimisme ini tentu pertanda baik. Namun statistik kadang bisa mengecoh jika orang tidak cermat membacanya. Statistik mencorong pada akhir kuartal II 2021 ibaratnya baru titik awal. Bagaimana pertumbuhan ekonomi pada kuartal-kuartal selanjutnya, itulah yang harus menjadi fokus perhatian sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjelasannya sederhana. Basis untuk menghitung pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 adalah kondisi ekonomi pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal II 2020, ekonomi Indonesia sedang terpuruk di titik paling rendah, mengalami kontraksi minus 5,2 persen, karena pukulan pandemi Covid-19. Rendahnya basis perhitungan ini membuat angka pertumbuhan pada kuartal II 2021 akan tampak melejit, meskipun sebetulnya kinerja ekonomi masih tergolong biasa saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, pekan-pekan ini, risiko yang mengancam pasar dan juga ekonomi Indonesia justru sedang meningkat. Yang paling berat adalah ketidakpastian berakhirnya wabah. Ketika di Amerika Serikat situasi sepertinya terkendali, negara-negara tetangga kita yang terdekat justru harus kembali mengunci diri karena merebaknya varian virus corona dari India yang jauh lebih berbahaya.
Pemulihan ekonomi tentu sangat berkaitan erat dengan berakhirnya pandemi. Ketika faktor yang terakhir ini sangat sulit diprediksi, kapan dan sejauh mana kerusakan yang diakibatkannya, strategi terbaik semestinya adalah mempersiapkan diri menghadapi skenario terburuk. Jika terlalu terbuai optimisme karena statistik pertumbuhan ekonomi pada akhir satu periode saja, investor bisa keliru mengambil langkah.
Lagi pula, masih ada risiko lain yang tak kalah besar. Vaksinasi yang masif di Amerika Serikat berhasil menurunkan pertambahan kasus baru dan menumbuhkan kepercayaan publik sehingga ekonomi bergerak. Inflasi pun melonjak tajam. Salah satu indikator yang menjadi pertimbangan utama The Federal Reserve dalam membuat kebijakan moneter adalah inflasi inti yang tidak memasukkan harga pangan dan energi karena cenderung bergejolak. Indikator ini keluar pada Jumat, 28 Mei lalu. Per April 2021, secara tahunan, inflasi inti di Amerika mencapai 3,1 persen, tertinggi sejak April 1990. Ekonomi Amerika mulai panas.
Rentetan berikutnya, risiko yang selama ini menghantui pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kian meningkat. Memanasnya ekonomi Amerika akan mendorong The Federal Reserve mempercepat tapering, yaitu pengurangan suntikan likuiditas ke pasar finansial yang saat ini berjumlah US$ 120 miliar per bulan. Ketika aliran likuiditas ke pasar finansial menyusut, risiko keluarnya modal dari negara berkembang akan meningkat. Nilai tukar rupiah tertekan dan tingkat bunga pun melonjak.
Berbagai risiko yang mengancam itu, meski statistik menunjukkan optimisme, membuat ekonomi Indonesia sebetulnya masih dalam posisi amat rentan. Pemerintah harus tetap memberikan stimulus agar ekonomi tak terpuruk.
Hambatannya: kemampuan anggaran ada batasnya. Tak mungkin lagi pemerintah menambah stimulus dengan menambah utang. Pemerintah akan menarik utang baru hingga Rp 1.060 triliun tahun ini. Limit ini semestinya tak dilampaui karena ongkosnya sudah amat besar. Biaya bunga yang menjadi beban pemerintah tahun ini sudah mencapai Rp 374 triliun, menyedot 21,4 persen total pendapatan negara.
Di tengah keterbatasan ini, pemerintah sebetulnya masih punya ruang untuk memberikan stimulus lebih besar, asalkan bersedia memilih. Pengeluaran yang berdampak lebih besar pada ekonomi harus menjadi prioritas. Misalnya, pembangunan infrastruktur padat karya jelas berdampak lebih besar menolong rakyat yang sedang susah ketimbang proyek ibu kota baru beristana megah. Pengeluaran yang menggerus pertumbuhan ekonomi harus dipangkas. Contohnya anggaran pertahanan Rp 137 triliun tahun ini. Jika dana ini dipakai untuk mengimpor pesawat tempur, pertumbuhan justru bakal berkurang.
Pilihan-pilihan yang lebih masuk akal ini sampai sekarang belum terlihat. Para petinggi negara sepertinya sedang terbuai optimisme seraya melupakan realitas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo