Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA The Federal Reserve memutuskan suku bunga acuan tidak naik, sudah semestinya angin segar berembus ke rupiah. Begitu pula saat keputusan sidang Federal Open Market Committee dirilis pada Rabu, 16 September lalu. Selama tingkat pengangguran di Amerika Serikat belum mencapai titik terendah dan inflasi belum melampaui angka patokan 2 persen selama kurun tertentu, suku bunga akan tetap berada di tempatnya sekarang, setidaknya hingga 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemungkinan penguatan rupiah seharusnya juga sejalan dengan konsensus para analis yang dihimpun oleh survei Bloomberg. Rupiah akan menguat memasuki akhir tahun ini. Bahkan estimasi yang optimistis berani mematok prediksi kurs sekitar Rp 14.300 per dolar Amerika Serikat, jauh lebih kuat dari posisi sekarang yang sekitar Rp 14.800.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Optimisme pada rupiah mencerminkan ekspektasi yang juga tinggi terhadap ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mungkin negatif tahun ini, tapi tidak terlalu dalam. Bank Pembangunan Asia memproyeksikan ekonomi kita cuma minus 1 persen pada 2020. Ini jauh lebih baik ketimbang negara tetangga, atau sesama negara berkembang lain, kecuali Cina yang tampaknya bisa pulih lebih cepat.
Jangan terlalu girang dulu. Optimisme itu tidak akan terwujud begitu saja. Ada tiga isu penting yang amat menentukan trayek perjalanan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun ini, bahkan juga jauh ke depan. Jika jawaban atas ketiga soal itu tak memuaskan pasar, investor tak akan datang. Rupiah tak akan menguat sesuai dengan perhitungan.
Persoalan pertama berkaitan dengan Covid-19. Dalam mengamati penanganan wabah di Indonesia, investor tak hanya terpaku pada jumlah kasus baru yang terus meningkat. Indikator penting yang juga menarik perhatian mereka, dan kebetulan masih sangat buruk di sini, adalah positivity rate atau persentase pengidap virus Covid-19 yang terdeteksi terhadap jumlah tes secara total. Angkanya masih 15 persen, jauh di atas ambang batas aman Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 5 persen.
Bagi pasar, perdebatan antara pemerintah pusat dan daerah tentang pembatasan sosial berskala besar versi orisinal atau transisional hanyalah penambah kepusingan. Selama positivity rate di sini masih tinggi, apalagi jika tingkat keterisian ranjang rumah sakit sudah jauh melampaui kapasitas, itu pertanda buruk. Kesimpulannya, Indonesia gagal menangani Covid-19 dan akan makin terkucil dari pergaulan internasional. Bagaimana ekonomi mau tumbuh jika Indonesia tidak bisa bergaul karena negara lain takut berinteraksi?
Pertanyaan kedua yang membikin pasar ragu-ragu terhadap Indonesia adalah bagaimana pemerintah akan mengatasi defisit anggaran tahun depan dan tahun-tahun berikutnya. Pernyataan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor awal September lalu masih terngiang, pemerintah akan meminta Bank Indonesia terus membantu pembiayaan anggaran hingga 2022.
Pembiayaan langsung dari Bank Indonesia sungguh membuat pasar tak nyaman. Investor yang akan berinvestasi di berbagai instrumen dalam rupiah tentu tak mau melihat nilai investasinya melorot karena Bank Indonesia terus mencetak rupiah demi membantu pemerintah. Belum ada jawaban tegas soal ini: sampai kapan dan apakah ada batasnya? Keterangan dari Menteri Keuangan ataupun Bank Indonesia belum tegas mendudukkan persoalan.
Soal ketiga, masih berhubungan dengan bank sentral, yaitu mengenai rencana perubahan berbagai peraturan yang akan memangkas wewenang dan independensi Bank Indonesia. Sama juga dengan jawaban untuk pertanyaan kedua, yang sudah ada hanyalah penjelasan normatif. Sementara itu, simpang-siur informasi tentang rencana revisi Undang-Undang Bank Indonesia ataupun penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang justru makin kencang.
Tiga soal inilah yang kini menggelayut di pasar menunggu kejelasan. Itulah sebabnya rupiah hanya beringsut sedikit di akhir pekan, tidak segera melejit sebagaimana yang sudah-sudah jika ada kabar bunga acuan Amerika Serikat akan turun. Padahal sinyal kali ini jauh lebih kuat. The Fed seolah-olah memberikan jaminan bahwa likuiditas dolar akan tetap melimpah dengan harga murah dalam tempo cukup lama. Ada baiknya pemerintah segera membuat tiga urusan ini menjadi terang benderang sebelum keyakinan terhadap Indonesia makin terguncang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo