Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjatuhkan sanksi terhadap 34 perusahaan yang tak memenuhi kontrak pasokan batu bara ke PLN.
Banyak PLTU milik PLN kritis akibat stok batu bara menipis sejak akhir 2020.
Sistem pengadaan PLN dianggap buruk, sedangkan pengusaha tambang dituding sedang doyan ekspor.
RAPAT virtual pada akhir pekan, 7 Agustus lalu, dimanfaatkan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia untuk membela anggotanya. “Perencanaan kebutuhan batu bara PLN juga harus dievaluasi, dibenahi,” kata Hendra menceritakan ulang tuntutan asosiasinya dalam rapat kepada Tempo, Selasa, 17 Agustus lalu•
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu siang itu, Hendra dalam posisi terjepit. Pengundang rapat, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin, baru saja menjatuhkan hukuman kepada 34 perusahaan batu bara berupa larangan ekspor. Empat di antaranya perusahaan tambang anggota APBI. Mereka dianggap tak memenuhi kewajiban yang tertuang dalam kontrak pasokan batu bara ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) periode Januari-Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paginya, sebelum rapat digelar, Ridwan melayangkan surat tentang larangan ekspor tersebut kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, serta Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Surat itu menyebutkan larangan ekspor bisa dicabut apabila perusahaan yang dikenai sanksi telah memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri sesuai dengan kontrak penjualan.
Empat anggota APBI, yaitu PT Arutmin Indonesia, PT Bara Tabang, PT Borneo Indobara, dan PT Prima Multi Mineral, tercatat dalam lampiran berisi daftar perusahaan yang dituding tak memenuhi kontrak. Surat itu disertai salinan peraturan yang menjadi dasar pengenaan sanksi: Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.
Rupanya, di tengah ancaman krisis keuangan akibat surplus daya yang membengkak akibat turunnya permintaan listrik selama masa pandemi Covid-19, PLN juga mengalami defisit pasokan batu bara. Sistem kelistrikan nasional memang amat bergantung pada PLTU. Lebih dari separuh dari total kapasitas terpasang 72.899 megawatt saat ini berupa pembangkit berbahan bakar batu bara tersebut. Sebagian besar PLTU adalah milik PLN dengan total kapasitas 32.924 megawatt.
•••
KISRUH pasokan batu bara yang berujung pada pelarangan ekspor bagi perusahaan tambang itu bermula dari surat Perusahaan Listrik Negara tertanggal 4 Agustus 2021. Saat itu, perusahaan setrum milik negara ini mengusulkan tambahan pasokan batu bara periode Agustus-Desember 2021 untuk PLTU yang dikelola perseroan, termasuk anak-anak perusahaan. Lewat surat itu pula diketahui adanya wanprestasi 34 perusahaan tambang batu bara atas kontrak pasokan Januari-Juli 2021.
Sebenarnya, krisis bahan bakar yang dialami PLTU milik Grup PLN ini sudah menjadi pembahasan panjang perseroan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sejak Desember 2020, pasokan batu bara ke PLN menyusut, selalu jauh di bawah perencanaan. Pada Januari lalu, misalnya, volume batu bara yang dijadwalkan masuk semestinya mencapai 5,25 juta ton. Namun yang terealisasi hanya 4,12 juta ton. Kondisi makin parah pada April lalu, ketika PLN hanya menerima 5,74 juta ton batu bara dari rencana awal 7,08 juta ton.
Walhasil, pada Mei lalu, tujuh PLTU milik PLN dalam sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali berstatus kritis lantaran stok bahan bakarnya hanya bisa memenuhi kebutuhan kurang dari sepuluh hari operasi. PLTU Paiton 9 di Probolinggo, Jawa Timur, misalnya, sempat hanya punya stok untuk enam hari. Pembangkit lain, seperti PLTU Labuhan Ratu, PLTU Labuan, dan PLTU Suralaya, bernasib sama. Sepanjang enam bulan pertama tahun ini, PLN baru mendapat pasokan 53 juta ton, kurang dari separuh total rencana kebutuhan sepanjang 2021 yang sebanyak 113 juta ton.
Petugas keamanan berpatroli dikawasan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) PLTU Paiton Unit 9 di Jl. Raya Surabaya Situbondo Km. 141, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, 17 Maret 2016. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Masalah ini pula yang melatarbelakangi penyelenggaraan pertemuan Kementerian Energi, PLN, dan sejumlah mitra pemasok batu bara di Bali, 18 Juni lalu. Kala itu, PLN akhirnya mengantongi komitmen penambahan pasokan lebih dari 4,6 juta ton untuk kebutuhan batu bara Juli-Desember 2021. Tambahan itu berasal dari pemasok lama dan baru. “Hingga kini upaya mencari tambahan juga akan terus dilakukan PLN," tutur Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi Agung Pribadi ketika mengumumkan penandatanganan kesepakatan saat itu.
Rupanya, komitmen itu tak serta-merta membuat pasokan terkerek. Walhasil, Menteri Energi Arifin Tasrif menggulirkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.139.K/ HK.02/MEM.B/2021. Regulasi anyar ini memuat sanksi pelarangan ekspor, juga denda, bagi perusahaan tambang dan pengangkutan yang tak memenuhi kewajiban pasokan pasar dalam negeri (DMO) serta kontrak penjualan.
Hendra Sinadia tak mau anggota asosiasinya disalahkan begitu saja. Dia mengklaim awak APBI telah memenuhi DMO di atas 25 persen, angka yang diwajibkan pemerintah. Selain itu, empat anggota APBI yang dikenai sanksi menghadapi sejumlah persoalan berbeda-beda dalam memenuhi kontrak dengan PLN.
Menurut Hendra, pengiriman pasokan batu bara dari anggota APBI kerap terbentur keterbatasan kapal, terutama dari Kalimantan ke Jawa. Di sisi lain, beberapa pasokan yang telah disiapkan sejumlah perusahaan tambang tak menentu lantaran perubahan rencana dari PLN. "Pihak user juga mesti ada perbaikan, dari infrastruktur hingga rencana pengadaan seakurat mungkin di lapangan," ucap Hendra.
Sudin Sudirman, Sekretaris Perusahaan PT Golden Energy Mines Tbk, mengatakan hal yang sama. GEMS—kode emiten Golden Energy Mines—adalah induk PT Borneo Indobara, salah satu perusahaan yang sempat dikenai sanksi larangan ekspor gara-gara masalah ini. Menurut Sudin, kekurangan stok batu bara itu terjadi bukan karena kesalahan Borneo Indobara, melainkan akibat keterlambatan kapal pengangkut dari PLN.
Pada 8 Agustus lalu, sanksi larangan ekspor terhadap Borneo dicabut setelah perseroan memenuhi kekurangan pasokan sesuai dengan kontrak periode Januari-Juli, yakni sebesar 19 ribu ton. Borneo, Sudin menjelaskan, akhirnya mengirim 55 ribu ton pada Ahad itu, disesuaikan dengan kapasitas kapal yang tersedia. “Ada komitmen tambahan dari PT Borneo Indobara kepada PLN untuk suplai Juli 2021,” ujar Sudin. Dia juga mengirimkan surat pencabutan sanksi yang diteken oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara.
Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowner’s Association Zaenal Arifin Hasibuan membenarkan kabar bahwa jumlah kapal tongkang untuk mengangkut batu bara ke PLN saat ini kurang. Penyebabnya, kata dia, permintaan angkutan nikel dari Sulawesi meningkat. Pengusaha kapal memilih melayani order pengiriman nikel lantaran harganya lebih tinggi dibanding pengangkutan batu bara ke PLTU yang ditawarkan PLN. “Jadi memang permintaan pengiriman banyak, tapi kapalnya kurang,” tutur Zaenal.
Pada Jumat, 20 Agustus lalu, surat lain dilayangkan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin. Kali ini warkat ditujukan kepada manajemen perusahaan pemegang izin tambang dan izin pengangkutan batu bara. Surat itu mencatat sebanyak 575 ribu ton rencana pengiriman batu bara ke PLTU milik PLN belum kebagian tongkang. Batu bara sebanyak itu membutuhkan 7 vessel supramax, 5 kapal small handy, dan 10 set tongkang 330 kaki kubik. Sedangkan yang tersedia hanya 1 kapal dan 22 tongkang.
Dalam suratnya, Ridwan meminta kesediaan pemegang izin tambang dan pengangkutan untuk mengalihkan penggunaan kapal tongkang tujuan dalam negeri—selain buat kepentingan umum dan ekspor—agar bisa disewa PLN setidaknya hingga 31 Agustus mendatang. Meski sifatnya meminta kesediaan perusahaan, surat itu bernada ancaman yang tergambar jika Kementerian Energi tak menerima kepastian pengalihan layanan tongkang. "Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengurangi jumlah kapal tongkang yang melayani ekspor," demikian tertulis dalam surat yang diteken Ridwan. "Agar dapat digunakan untuk mengangkut batu bara ke PLTU Grup PLN."
•••
TERBATASNYA jumlah kapal dan tongkat pengangkut ditengarai hanya hilir persoalan dari buruknya tata niaga pemenuhan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap milik PLN. Hulu masalahnya adalah soal harga.
Selama ini, harga DMO batu bara untuk ketenagalistrikan dipatok US$ 70 per ton. Patokan harga ini seperti pedang bermata dua. Tatkala harga batu bara dunia merosot tajam, PLN tetap harus membayar mahal. Pengusaha tambang pemasok PLN pun untung besar.
Namun, sebaliknya, ketika harga dunia melonjak di atas harga patokan, PLN kerap mengalami masalah pasokan lantaran produsen batu bara ditengarai bakal mengutamakan pasar internasional, lagi-lagi supaya mendapat cuan lebih besar. Begitu pula yang terjadi saat ini, ketika harga batu bara acuan terus merangkak naik sejak awal tahun hingga mencapai US$ 130,99 per ton per Agustus.
Ketika pasokan batu bara untuk PLTU milik PLN kembang-kempis, pengiriman batu bara ekspor nyaris tanpa kendala. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara—lewat portal Minerba One Data Indonesia alias Modi—mencatat realisasi ekspor sepanjang Januari-Juni 2021 mencapai 169,1 juta ton, hanya 200 ribu ton lebih sedikit dibanding pada periode yang sama tahun lalu.
Platform penyedia data perdagangan internasional Panjiva mencatat sedikitnya delapan dari 34 perusahaan yang dikenai sanksi lantaran tak memenuhi kontrak pasokan ke PLN masih aktif berdagang ke luar negeri pada Januari-Mei 2021. Di antara delapan perusahaan itu, perdagangan PT Borneo Indobara paling banyak, yakni 8,2 juta ton lewat 114 pengiriman. Ekspor batu bara senilai US$ 335 juta itu tercatat paling banyak ke Cina, India, dan Korea Selatan.
Pada akhir Februari lalu, misalnya, kapal MV Sea Honesty tercatat tiba Hosan, Korea Selatan, membawa 88 ribu ton batu bara yang dikirim Borneo Indobara dari Pelabuhan Satui, Kalimantan Selatan. Pengiriman batu bara senilai US$ 3,7 juta itu ditujukan kepada Korea Southern Power Co Ltd (Kospo), perusahaan setrum asal Korea Selatan.
Kepada Korea Center for Investigative Journalism (KCIJ) Newstapa, mitra kolaborasi peliputan Tempo di Korea Selatan, Kospo menyatakan tak punya catatan atas impor pada Februari 2021. Kospo hanya membenarkan informasi bahwa selama ini perusahaannya mengimpor batu bara asal Indonesia. Sepanjang 2016-2020, totalnya mencapai 33,23 juta ton. "Untuk menekan biaya pembangkitan listrik, kami memperkenalkan batu bara dari Indonesia yang memiliki kelayakan ekonomi yang baik," begitu jawaban tertulis Kospo kepada Kim Ji-yoon dari KCIJ Newstapa. "Selain itu, Samcheok Bitdream dirancang sebagai pembangkit listrik berbahan bakar batu bara berkalori rendah dan sebagian besar menggunakan batu bara Indonesia."
Sekretaris Perusahaan PT Golden Energy Mines Tbk Sudin Sudirman mengatakan harga di pasar memang sedang bagus. Ekspor PT Borneo Indobara, yang merupakan anak perusahaan Golden Energy Mines, Sudin menjelaskan, paling banyak ke Cina dan India. “Mencapai sekitar 60 persen,” kata Sudin. Walau begitu, dia memastikan Borneo Indobara telah memenuhi DMO batu bara hingga 37 persen pada kuartal II tahun ini.
Hal senada diutarakan Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava. “Kami memiliki ekspor yang seimbang, memprioritaskan domestik, dan telah melampaui persyaratan DMO 25 persen pada 21 Juli,” tutur Dileep mewakili anak usaha BUMI, PT Arutmin Indonesia.
Komisaris PT PLN Batubara, Singgih Widagdo, mengatakan masalah pasokan batu bara dalam negeri tak sebatas soal volume. Dia menilai banyak problem dalam mata rantai pasokan, dari hulu tambang hingga hilir di pembangkitan. Di sisi user alias PLN dan PLN Batubara, dia melanjutkan, persoalan yang muncul berupa lamanya pengangkutan, skala PLTU batu bara, juga kecepatan pembongkaran. “Semua menjadi satu mata rantai pasokan yang harus diintegrasikan,” kata Singgih, yang juga Ketua Indonesian Mining and Energy Forum. AISHA SHAIDRA, RETNO SULISTYOWATI, RAYMUNDUS RIKANG
Liputan tentang dilema bisnis listrik dan batu bara ini terselenggara dengan dukungan Judith Neilson Institute.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo