Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harga Batu Bara Lebih Menggoda

Rencana pemerintah mematikan pembangkit listrik tenaga uap tak membikin risau penambang batu bara. Tingginya permintaan pasar dan harga jadi acuan.

21 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Meski seret, perusahaan tambang berbondong-bondong menggarap gasifikasi batu bara.

  • Perjanjian Paris dan rencana baru kebijakan energi jadi tantangan.

  • Harga dan cadangan batu bara masih jadi godaan perusahaan energi.

SEMESTINYA, proyek gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, sudah memasuki proses rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC). Pekerjaan lanjutan itu semula diagendakan pada semester pertama tahun ini setelah PT Bukit Asam (Persero) Tbk, PT Pertamina (Persero), dan Air Products and Chemicals Inc meneken perjanjian kerja sama pada 10 Desember 2020. "Saat ini sedang finalisasi perjanjian turunan agar bisa segera dieksekusi," kata Direktur Utama Bukit Asam Suryo Eko Hadianto, Kamis, 12 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proyek senilai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 29,7 triliun ini ditargetkan rampung dan mulai beroperasi pada kuartal kedua 2024. Air Products, selaku pemilik teknologi gasifikasi, akan membangun pabrik untuk mengonversi batu bara menjadi synthetic natural gas alias syngas yang kemudian diolah menjadi produk akhir berupa dimetil eter (DME).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun PTBA—kode emiten Bukit Asam—akan menyediakan lahan, infrastruktur pendukung, dan pasokan batu bara. Kelak, dalam kerja sama itu, Pertamina akan membeli produk hasil gasifikasi batu bara tersebut sebagai pengganti elpiji, produk yang selama ini turut memicu defisit neraca perdagangan lantaran sekitar 75 persen kebutuhan domestik mesti dipenuhi dari impor.

Pada Mei lalu, disaksikan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, ketiga perusahaan ini menggelar seremoni penandatanganan amendemen kerja sama di Jakarta dan Los Angeles, Amerika Serikat. Pada momen tersebut, perjanjian pengolahan DME turut ditandatangani. Namun sumber Tempo di BUMN mengungkapkan bahwa kelanjutan salah satu proyek strategis nasional ini masih menunggu negosiasi harga antara PT Pertamina dan Air Products.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman belum merespons pertanyaan Tempo tentang harga DME yang disebut-sebut belum disepakati bersama Air Products. Yang jelas, PTBA memang sedang ngebet menggeber proyek ini. Bagi perseroan, kerja sama gasifikasi batu bara ini akan menjadi portofolio baru di sektor hilir pertambangan. Dengan begitu, mereka tak lagi sekadar menambang lalu menjual batu bara. 

Aktivitas bongkar muat di area tambang batu bara di kawasan Tapin, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Januari 2017. Dok.TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Bahkan, belum juga proyek coal to DME terlaksana, PTBA sudah menyiapkan garapan lain. Perseroan sedang merancang pembangunan pabrik karbon aktif, bahan yang dibutuhkan untuk pemurnian berbagai cairan, gas, dan udara. PTBA juga ingin mengembangkan produk gasifikasi batu bara lain seperti metanol, mono etilena glikol, dan polipropilena. “PTBA sudah memulai transformasi bisnis dengan visi perusahaan energi peduli lingkungan di 2026 dengan target revenue dari sektor energi mencapai 50 persen,” tutur Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Apollonius Andwie, Jumat, 20 Agustus lalu.

Pengusaha tambang batu bara memang tengah didorong agar mengembangkan sektor hilir industrinya. Sebelumnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang berlaku sejak November 2020 menetapkan batu bara sebagai barang kena pajak pertambahan nilai (PPN). Namun wet yang sama, juga Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, memberikan peluang pengecualian kebijakan penerimaan negara berupa tarif royalti sebesar nol persen bagi pertambangan batu bara yang menjalankan peningkatan nilai tambah alias penghiliran.

Belakangan, tantangan bagi pengusaha tambang batu bara makin besar di tengah kian terdesaknya posisi Indonesia untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris. Dalam proposal revisi pada akhir Juli lalu, yang akan dibahas dalam Konferensi Iklim pada 31 Oktober-2 November mendatang di Glasgow, Indonesia menetapkan target mencapai karbon netral (net-zero emission) selambatnya pada 2060.

Komitmen itu membuat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara 2021-2030, yang juga ditetapkan oleh pemerintah, sarat dengan skenario segera mengeluarkan Indonesia dari ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Dalam draf RUPTL tersebut, pemerintah lewat PLN menjadwalkan rencana memensiunkan PLTU dan pembangkit listrik tenaga gas uap secara bertahap sesuai dengan usia dan masa kontrak setiap pembangkit. Seturut kontrak yang ada, switch off PLTU terakhir akan dilakukan pada 2058.

Selain itu, PLN tak akan menambah proyek PLTU, kecuali yang telah memiliki kontrak, kepastian pembiayaan, atau memasuki tahap konstruksi. Dalam skenario ini, mulai 2030, tak ada lagi tambahan pembangkit fosil untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Sebagai gantinya, dalam sepuluh tahun ke depan, pemerintah dan PLN berambisi menggenjot porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional menjadi 48 persen dari posisi saat ini hanya sekitar 13,5 persen.

Skenario itu akan mempersempit pasar domestik komoditas batu bara. Tahun lalu, produksi batu bara Indonesia mencapai 558 juta ton. Sekitar 134 juta ton di antaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama lewat skema domestic market obligation (DMO). Sebagian besar DMO batu bara selama ini diserap oleh PLTU.

Itu sebabnya, dalam diskusi virtual pada 26 Juli lalu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin turut mengingatkan perihal tantangan industri batu bara. Ridwan mengungkapkan, cadangan batu bara dalam negeri saat ini diperkirakan masih dapat dimanfaatkan hingga 60-65 tahun ke depan. “Ini potensi besar yang mau tidak mau masih menjadi andalan dalam penyediaan energi yang harganya terjangkau,” ucap Ridwan. Namun, di sisi lain, dia menambahkan, pengembangan industri ini juga harus sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Perjanjian Paris.

Selain lambatnya pengembangan energi baru dan terbarukan, melimpahnya cadangan dan harga tinggi batu bara membuat banyak perusahaan masih tergoda memanen dan memanfaatkannya menjadi produk turunan. Seperti Bukit Asam, sejumlah raksasa pertambangan batu bara menyiapkan proyek gasifikasi—meski emisi karbon gasifikasi batu bara masih lebih tinggi dibanding elpiji yang digantikannya. 

PT Arutmin Indonesia salah satu yang melihat potensi batu bara dalam bauran energi dunia di tengah isu dekarbonisasi. Karena itu, anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk yang menguasai konsesi izin usaha pertambangan khusus seluas 34.207 hektare ini akan membangun fasilitas produksi metanol di Kalimantan Selatan. “Sedang dalam tahap studi kelayakan untuk gasifikasi batu bara, termasuk menjadikannya metanol,” kata Dileep Srivastava, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi. “Mungkin commissioning sekitar 2025.”

Walau begitu, perubahan arah kebijakan energi nasional yang sedang mengarah ke penutupan PLTU agaknya tak membikin risau penambang batu bara. Dileep melihat batu bara masih menjadi andalan untuk memasok pembangkit listrik beban dasar dengan harga terjangkau di sebagian besar negara, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. “KPC (Kaltim Prima Coal) dan Arutmin akan memposisikan diri memenuhi permintaan batu bara yang masih akan ada di masa mendatang," ucap Dileep. Selama ini Arutmin mengekspor 65-70 persen batu baranya.

PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) juga masih melihat prospek bisnis batu bara cukup besar untuk jangka pendek dan menengah. Karena itu, emiten bagian dari Grup Sinar Mas ini tetap berfokus menjalankan bisnis ini. Induk PT Borneo Indobara dan PT Berau Coal Energy ini melihat bisnis batu bara masih prospektif di Indonesia, terutama dalam memasok proyek penyediaan listrik 35 ribu megawatt. Selain itu, pasar internasional masih bergairah, terutama Cina dan India yang mengandalkan 75 persen pasokan batu bara dari Asia-Pasifik. “Tentu kami akan mengikuti arahan dan kebijakan nasional mengenai penggunaan energi terbarukan,” tutur Sekretaris Perusahaan Golden Energy Sudin Sudirman pada Jumat, 20 Agustus lalu.

Animo perusahaan yang makin giat mengeruk batu bara juga terdorong harga yang melambung. Pada bulan ini, harga batu bara acuan menembus angka US$ 130,99 per ton, tertinggi dalam satu dekade terakhir. 

Harga dan permintaan tinggi membuat para pengusaha batu bara enggan menggeser bisnisnya dengan menyediakan energi terbarukan hingga dua dekade ke depan. Isu energi bersih yang bergaung di Eropa dan Amerika, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia, belum mempengaruhi kawasan Asia-Pasifik. “Sepanjang permintaan masih tinggi, harga berbicara," katanya. DEVY ERNIS


Liputan tentang dilema bisnis listrik dan batu bara ini terselenggara dengan dukungan Judith Neilson Institute.


Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus