KETIDAKSTABILAN harga kayu bundar (logs ternyata ada hikmahnya.
Para penebang pohon kini tergopoh-gopoh mendirikan industri
pengolanan kayu agar tidak kapiran apabila harga log merosot
lagi. "Dengan modal 60-75 juta rupiah saja tidak sulit
mengembangkan industri sekali menengah", kata Sumarto Sulistio,
presdir CV Sumber Baru. "Manajemennya mudah. Dalam waktu 6 bulan
sudah habis berproduksi. Bisa menggunakan tenaga kerja Indonesia
dan dalam 2 tahun Insya Allah modal sudah kembali", tambahnya
lagi. Dia lalu memberikan contoh Malaysia dan Singapura yang
telah lama mengayunkan langkah demikian .
Sayangnya Indonesia memang bukan Malaysia. Dimulai oleh PT Kayan
River Timber Products, belakangan ini yang berkembang di
Kalimantan Timur justru industri besar yang memanfaatkan
fasilitas PMA dan PMDN. Sedang 90 perusahaan kecil belum mampu
bergerak ke situ. Menurut catatan Dinas Perindustrian Kalimantan
Timur, kini sudah ada 7 industri besar yang sudah mulai
memproduksikan 177 ribu M3 kayu masak tahun dengan nilai
investasi Rp 1.6 milyar. Di samping itu masih ada 3 industri
serupa yang masih dalam tahap percobaan berkapasitas 82 ribu
M3/tahun dengan investasi Rp 1,8 milyar. Dan 10 industri besar
lagi kini sedang dalam tahap konstruksi dengan rencana investasi
Rp 32 milyar. Belum lagi 40 perusahaan yang sudah bikin rencana
akan menanam modal sebesar Rp 19 milyar dalam industri
pengolahan kayu.
Sepanjang Mahakam
Demam baru itu dapat dilihat dengan jelas sepanjang pantai
sungai Mahakam yang tiba-tiba saja ditumbuhi bangunan pabrik
kayu. Termasuk kepunyaan Sulistio yang agaknya khawatir industri
menengahnya sekali waktu kalah bersaing. Di samping itu, ada
juga yang sudah terlanjur mendirikan industri di Jawa seperti PT
Kutai Timber Indonesia (KTI) dan PT Sumber Mas Timber. Makanya
Gubernur Wahab Syahranie minta agar pemerintah Pusat menutup
kesempatan mendirikan industri kayu di Jawa bagi pemegang HPH di
Kalimantan Timur. Syahranie juga sudah pasang kuda-kuda di
wilayahnya sendiri dengan melarang industri kayu di luar
Kalimantan Timur mengambil bahan baku berupa logs di Kalimantan
Timur. Kalau toh mau beli kayu setidak-tidaknya harus sudah
berbentuk setengah jadi, begitu ketentuan SK Gubernur no.82/
1974. Pelarangan itu memang perlu juga untuk menanggulangi
keperluan bahan baku bagi industri kayu di Kalimantan Timur
sendiri. Apalagi kalau harga ekspor logs melonjak tinggi
kembali. Sekarang saja harga meranti sudah mencapai 50 dollar
AS/M3, f.o.b.
Mengenai kebutuhan industri lokal itu, Kepala Dinas
Perindustrian Kalimantan Timur Rachman Karim memperinci begini.
Untuk setiap M3 kayu masak diperlukan 2 M logs. Kalau 2 M3 logs
harganya 80 dollar saja (Rp 33.200), ditambah ongkos produksi Rp
8 ribu/M3 dan pengapalan Rp 12 ribu/M3, maka kayu masak harus
dijual ke Jakarta paling kurang Rp 53.200/M3. Atau 2 x lipat
harga sekarang. Terpaksa si pengusaha yang tidak kebagian kayu
bundar mencari jalan lain: membeli kayu afkiran. Menurut
kalkulasi Karim. jumlah kayu afkiran rata-rata 10% dari seluruh
nilai ekspor, yang tentu saja harganya murah. Tapi mengandalkan
pada kayu afkiran saja tentu tidak cukup. Apalagi setelah semua
industri besar meraung dengan kapasitas penuh.
Pengganti Solar
Pada umumnya jenis industri kayu yang banyak disukai adalah
penggergajian (sawmill). Sejauh ini industri itu masih
memanidatkan ampas penebangan hutan, yakni kayu gelondongan yang
tidak memenuhi syarat ekspor. Kayu bundar afkiran itulah yang
meliputi 10% dari seluruh nilai ekspor. Penggergajian itu
sendiri masih menghasilkan ampas lagi sebanyak 50%. Bagi yang
sudah memiliki industri playwood sisa-sisa penggergajian itu
bisa dimanfaatkan untuk lapisan dalam plywood. Sampai saat ini
yang ada baru rencana di atas kertas untuk mendirikan industri
playwood di Kalimantan Timur, yakni dari PT Georgia Pacific
Indonesia, PT KRTP dan Inhutani. Kalau mau lebih ekonomis lagi,
masih ada ampas lain yang bisa dimanfaatkan. Yakni serbuk
gergajian yang bisa dipres menjadi hardboard.
Selama ini baik kayu sisa penggergajian maupun serbuk gergajian
belum dianggap menguntungkan untuk diolah. Hanya beberapa
perusahaan seperti CV Terang dan Sumber Baru memberi kelonggaran
kepada masyarakat sekitarnya untuk mengambil sisa-sisa
penggergajian itu. Oleh masyarakat dijadikan mebel atau kayu
bakar. CV Tri Karya memberikan kayu-kayu sisa itu kepada
karyawannya untuk dijual kepada masyarakat. CV Jatim dan
beberapa perusahaan besar lain melarang masyarakat mengambil
kayu sisanya itu, hanya karena mau dibakar. Sedang KRTP sedang
memikirkan untuk memanfaatkan kayu sisa itu untuk menghidupkan
generator penggergajiannya, demi menghemat solar yang tidak
murah. Di luar semuanya itu, ampas yang terbesar jumlahnya
tertinggal di hutan. Menurut ir. Rachman Karim, rata-rata 30-40
kayu tebangan tertinggal mubazir di hutan. Termasuk di situ
pokok kayu, cabang, ranting dan ujung pohon yang tergolong cukup
gemuk. Makanya Rachman punya gagasan melakukan survei bersama
Universitas Mulawarman untuk pembuatan arang dari kayu bekas
itu.
Rumah Kayu
Sulistio sendiri kini tengah mengembangkan industri pengawetan
kayu, sebagaimana juga Inhutani. Setiap bulan ia mampu
menghasilkan 1260 M3 dengan harga jual Rp 28 ribu/M3. "Kayu yang
diawetkan mempunyai daya tahan 5 x lipat", katanya pada
koresponden Dahlan Iskan. Untuk membuktikan kebenaran omongannya
itu, Sumber Baru sudah setuju membangun 200 rumah murah buat
Perumnas di samping membuat rumah kopel percontohan di Depok
Jakarta. Berapa harga rumah kayu awet tersebut? "Satu M2 Rp 30
ribu, selesai dalam 1 bulan", katanya bersemangat, sambil
menunjuk contoh di Oslo (Norwegia) yang 90% terbuat dari kayu.
Adakah penduduk yang kebanyakan terbiasa dengan rumah batu mau
ramai-ramai membeli rumah buatan Sumber Baru itu? Jawabnya tentu
tergantung pada soal promosi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini