DENYUT nadi ekonomi Sulawesi Utara seakan-akan dipompa oleh
kopra dan cengkehnya selama ini. Tapi diam-diam, sebenarnya
hasil bumi di sana sedang tersaing oleh isi laut sekitarnya yang
kini kian ramai digarap. Terbukti dari lajunya kenaikan hasil
perikanan yang dari urutan ke-9 tahun 1969 menanjak ke anak
tangga nomor dua sesudah kopra 5 tahun kemudian. Nilai ekspornya
pun naik dari $ 1700 tahun 1969 menjadi $ 2,2 juta dalam 1974.
"Suatu pembengkakan 2000%", ujar PH Lintang, Kepala Dinas
Perikanan Sul-Ut. Pembantu TEMPO Phill M. Sulu mengabarkan bahwa
angka yang ikut memancing dana pengganti ADO buat propinsi
paling utara itu 50% berasal dari ekspor udang produksi PT
Hasikin di Aertembaga, Bitung, yang juga dikenal dengan nama
Indonesian Fishery Corporation .
Sebenarnya ladang Hasikin ini adalah di selatan Irian Jaya.
Udang-udang yang ditangkap di sana kemudian diboyong ke Bitung
dan diolah, kemudian diekspor ke Jepang. Selain udang, urusan
ikan cakalang dan tuna pun sangat mengandalkan pusat
pengembangan perikanan regional Aertembaga yang kini sedang
dinanti rampungnya. Proyek dengan bantuan dollar itu merupakan
satu di antara 8 pangkalan ikan Indonesia yang dibangun dalam
Pelita II. Statusnya pelabuhan perikanan Nusantara, dilengkapi
dengan pusat latihan tenaga ahli, galangan kapal dan kamar
pendingin yang punya kapasitas simpan 600 ton. Dengan adanya
fasilitas kamar pendingin itu, harga ikan diharapkan bisa
konstan dan terkendali sedang nelayan dapat tahu pasti berapa
hasil tangkapannya. Harapan itu cukup beralasan. Selama ini
harga cakalang masih tetap turun naik. Selagi musim cakalang
kapal-kapal penangkap ikan yang berjumlah 30 buah kewalahan
menjual ke pasaran lewat tempat-tempat pelelangan ikan. Seekor
cakalang yang beratnya 4 kilo bisa jatuh harga sampai Rp 100.
Itu pun orang masih malu-malu menjamahnya. Tapi kalau musim
paceklik ikan datang, harga ikan yang sama bisa melonjak sampai
Rp 2000 seekor. Ingin tahu cara penangkapan cakalang atau tuna?
Ada 2 cara. Cakalang ditangkap dengan sistim pancing poleline.
Sedang tuna yang bobotnya lebih besar dari cakalang ditangkap
dengan sistim longline. Hanya dengan menurunkan tali kail yang
berumpan bulu ayam, seorang tukang pancing yang lihai dalam 1
menit mampu menaikkan 20 ekor ikan. Atau 1200 ekor dalam sejam.
Itu sudah terbilang tukang pancing yang jempolan. Nah, bayangkan
saja berapa hasil operasi sebuah kapal penangkap ikan yang
berpasukan selusin tukang pancing. Sayangnya dimusim cakalang
begitu kapal-kapal kecil dengan berat 18 ton dan hanya membawa
bekal operasi untuk sehari tidak dapat berlayar lebih dari 10
mil lepas pantai. Daerah selebihnya selama ini menjadi ladang
kekuasaan nelayan-nelayan asing.
Meraih Pilipina?
Setelah pusat perikanan di Aertembaga itu rampung nantinya,
armada kapal ikan nasional akan lebih kuat. "Sekarang sedang
dibuat lebih dari 30 kapal berukuran 30 gross ton", tutur
Lintang. Kapal-kapal itu diperlengkapi fasilitas operasi sampai
5 hari, mempunyai daya tampung sampai 71 ton ikan dengan 15 ton
es pendingin, sehingga operasinya bisa diperluas ke daerah yang
lebih padat ikan. Namun lantaran berambisi menguasai laut di
utara yang berbatasan dengan perairan Pilipina, kalangan perikan
di sana belum puas dengan pangkalan Aertembaga saja. Itu
sebabnya masih diusulkan pembangunan pusat pengembangan
perikanan rakyat untuk wilayah Sangihe Talaud berlokasi di Dago,
yang kini sudah di-DUP-kan oleh Ditjen Perikanan ke Bappenas.
Proyek ini dipandang sangat penting mengingat masa depan 70
pulau Sangihe Talaud yang berada di laut. Karena ini proyek baru
yang sudah lama didamba-dambakan orang daerah sana, rupanya
mereka belum terlalu merisaukan masalah non-teknis yang biasanya
bergandengan dengan modernisasi penangkapan dan pengolahan ikan
secara besar-besaran. Seperti menciutnya hasil tangkapan per-
kapal dan per perusahaan akibat berjubelnya kapal yang bakal
tertarik ke situ. Gejala penangkapan secara berlebih-lebihan
begini sudah meledak di perairan yang padat nelayan & kapal ikan
seperti Laut Jawa dan Selat Malaka.
Masalah lain adalah tersedotnya penghasilan propinsi Maluku dan
Irian Jaya ke Sulawesi Utara berkat fasilitas yang lebih lengkap
di Aertembaga. Belum lagi pertikaian memperebutkan hasil isi
laut perbatasan itu antara nelayan Sul-Ut dan Pilipina seperti
yang sudah terjadi di perairan utara Australia. Dan di tengah
perang ikan yang bisa berkembang ke penggunaan teknologi modern
yang tidak terikat musim, bibit ikan dan telor yang belum
menetas bisa ikut tumpas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini