Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cakalang, sesudah cengkih

Produksi sektor perikanan di sulawesi utara meningkat. pelabuhan perikanan nusantara aertembaga hampir selesai, dilengkapi dengan pusat latihan tenaga ahli, galangan kapal dan kamar pendingin. (eb)

27 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENYUT nadi ekonomi Sulawesi Utara seakan-akan dipompa oleh kopra dan cengkehnya selama ini. Tapi diam-diam, sebenarnya hasil bumi di sana sedang tersaing oleh isi laut sekitarnya yang kini kian ramai digarap. Terbukti dari lajunya kenaikan hasil perikanan yang dari urutan ke-9 tahun 1969 menanjak ke anak tangga nomor dua sesudah kopra 5 tahun kemudian. Nilai ekspornya pun naik dari $ 1700 tahun 1969 menjadi $ 2,2 juta dalam 1974. "Suatu pembengkakan 2000%", ujar PH Lintang, Kepala Dinas Perikanan Sul-Ut. Pembantu TEMPO Phill M. Sulu mengabarkan bahwa angka yang ikut memancing dana pengganti ADO buat propinsi paling utara itu 50% berasal dari ekspor udang produksi PT Hasikin di Aertembaga, Bitung, yang juga dikenal dengan nama Indonesian Fishery Corporation . Sebenarnya ladang Hasikin ini adalah di selatan Irian Jaya. Udang-udang yang ditangkap di sana kemudian diboyong ke Bitung dan diolah, kemudian diekspor ke Jepang. Selain udang, urusan ikan cakalang dan tuna pun sangat mengandalkan pusat pengembangan perikanan regional Aertembaga yang kini sedang dinanti rampungnya. Proyek dengan bantuan dollar itu merupakan satu di antara 8 pangkalan ikan Indonesia yang dibangun dalam Pelita II. Statusnya pelabuhan perikanan Nusantara, dilengkapi dengan pusat latihan tenaga ahli, galangan kapal dan kamar pendingin yang punya kapasitas simpan 600 ton. Dengan adanya fasilitas kamar pendingin itu, harga ikan diharapkan bisa konstan dan terkendali sedang nelayan dapat tahu pasti berapa hasil tangkapannya. Harapan itu cukup beralasan. Selama ini harga cakalang masih tetap turun naik. Selagi musim cakalang kapal-kapal penangkap ikan yang berjumlah 30 buah kewalahan menjual ke pasaran lewat tempat-tempat pelelangan ikan. Seekor cakalang yang beratnya 4 kilo bisa jatuh harga sampai Rp 100. Itu pun orang masih malu-malu menjamahnya. Tapi kalau musim paceklik ikan datang, harga ikan yang sama bisa melonjak sampai Rp 2000 seekor. Ingin tahu cara penangkapan cakalang atau tuna? Ada 2 cara. Cakalang ditangkap dengan sistim pancing poleline. Sedang tuna yang bobotnya lebih besar dari cakalang ditangkap dengan sistim longline. Hanya dengan menurunkan tali kail yang berumpan bulu ayam, seorang tukang pancing yang lihai dalam 1 menit mampu menaikkan 20 ekor ikan. Atau 1200 ekor dalam sejam. Itu sudah terbilang tukang pancing yang jempolan. Nah, bayangkan saja berapa hasil operasi sebuah kapal penangkap ikan yang berpasukan selusin tukang pancing. Sayangnya dimusim cakalang begitu kapal-kapal kecil dengan berat 18 ton dan hanya membawa bekal operasi untuk sehari tidak dapat berlayar lebih dari 10 mil lepas pantai. Daerah selebihnya selama ini menjadi ladang kekuasaan nelayan-nelayan asing. Meraih Pilipina? Setelah pusat perikanan di Aertembaga itu rampung nantinya, armada kapal ikan nasional akan lebih kuat. "Sekarang sedang dibuat lebih dari 30 kapal berukuran 30 gross ton", tutur Lintang. Kapal-kapal itu diperlengkapi fasilitas operasi sampai 5 hari, mempunyai daya tampung sampai 71 ton ikan dengan 15 ton es pendingin, sehingga operasinya bisa diperluas ke daerah yang lebih padat ikan. Namun lantaran berambisi menguasai laut di utara yang berbatasan dengan perairan Pilipina, kalangan perikan di sana belum puas dengan pangkalan Aertembaga saja. Itu sebabnya masih diusulkan pembangunan pusat pengembangan perikanan rakyat untuk wilayah Sangihe Talaud berlokasi di Dago, yang kini sudah di-DUP-kan oleh Ditjen Perikanan ke Bappenas. Proyek ini dipandang sangat penting mengingat masa depan 70 pulau Sangihe Talaud yang berada di laut. Karena ini proyek baru yang sudah lama didamba-dambakan orang daerah sana, rupanya mereka belum terlalu merisaukan masalah non-teknis yang biasanya bergandengan dengan modernisasi penangkapan dan pengolahan ikan secara besar-besaran. Seperti menciutnya hasil tangkapan per- kapal dan per perusahaan akibat berjubelnya kapal yang bakal tertarik ke situ. Gejala penangkapan secara berlebih-lebihan begini sudah meledak di perairan yang padat nelayan & kapal ikan seperti Laut Jawa dan Selat Malaka. Masalah lain adalah tersedotnya penghasilan propinsi Maluku dan Irian Jaya ke Sulawesi Utara berkat fasilitas yang lebih lengkap di Aertembaga. Belum lagi pertikaian memperebutkan hasil isi laut perbatasan itu antara nelayan Sul-Ut dan Pilipina seperti yang sudah terjadi di perairan utara Australia. Dan di tengah perang ikan yang bisa berkembang ke penggunaan teknologi modern yang tidak terikat musim, bibit ikan dan telor yang belum menetas bisa ikut tumpas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus