Kisruh itu berpangkal pada sebuah rencana pembelian kapal. Alkisah, dalam tempo lima tahun ke depan Pertamina bermaksud memesan 38 kapal. Pembelian 12 kapal merupakan bagian awal dari rencana strategis perusahaan berlogo kuda laut itu, yang ingin mengurangi ketergantungannya pada kapal carteran. Soalnya, komposisi antara kapal tanker milik Pertamina dan kapal carteran sungguh jomplang. "Kita hanya punya 39 dari 139 kapal tanker yang beroperasi saat ini," kata Kepala Humas Pertamina, Mochamad Harun. Dan hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan Pertamina pada armada carter. "Ujung-ujungnya, mereka bisa mendikte harga seenak sendiri," Harun menambahkan.
Turunnya harga kapal di tingkat dunia membuat manajemen BUMN migas ini bergegas menambah armada tankernya. Semula mereka berencana membeli 12 kapal. Perinciannya, dua kapal jenis VLCC (very large crude carrier) berbobot 260 ribu ton, tiga unit 30 ribu ton, dua unit tanker 17.500 ton, tiga unit tanker 6.500 ton, dan dua unit tanker 3.500 ton.
Ketika rencana ini dibahas dalam rapat kabinet beberapa waktu lalu, ternyata ada yang tidak setuju, terutama Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Keduanya berpendapat tidak selayaknya semua kapal dibeli dari luar. Menurut mereka, kecuali kapal besar berbobot 260 ribu ton, kesepuluh kapal lainnya sudah bisa dibuat oleh galangan kapal lokal dan hasilnya juga memuaskan. Selain itu, proyek pembuatan kapal itu tentu akan bisa menyerap ribuan tenaga kerja di dalam negeri.
Pendapat kedua menteri itu sangat masuk akal. Lagi pula jumlah dana yang dibutuhkan untuk pengadaan kapal mencapai US$ 400 juta-500 juta. Rini dan Laksamana kemudian didukung dua kolega lainnya di kabinet, yakni Menteri Perhubungan Agum Gumelar dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Hatta Rajasa.
Namun, keputusan yang bulat tegas mengenai kapal Pertamina tak kunjung tercetus dalam rapat kabinet. Sementara itu, Pertamina berkukuh dengan rencananya semula. Padahal, sejak Juni lalu, baik Menteri Perindustrian, Menteri BUMN, Menteri Perhubungan, maupun Kepala BPPT sudah melayangkan surat berisi dukungan agar sebagian kapal dibuat di dalam negeri. Tapi Pertamina tetap menggelar tender. Hasilnya, dua perusahaan Korea, Shin Young dan Hyundai, serta Shanghaiguan Shipyard dari Cina dinyatakan keluar sebagai pemenang.
Saat keputusan itu digugat di sidang kabinet, Menteri Pertambangan dan SDM Purnomo Yusgiantoro mengajukan alasan yang juga sulit dipatahkan. Selain meragukan industri galangan kapal dalam negeri, Purnomo juga melihat harga yang ditawarkan pihak Cina dan Korea lebih murah dari penawar dalam negeri. Memang, ada perbedaan harga dari satu hingga dua persen antara harga penawaran pihak asing dan penawaran galangan dalam negeri.
Namun, pendapat Purnomo tak begitu saja diterima. Deputi Menteri BUMN, Ferdinan Nainggolan, menegaskan bahwa Pertamina seharusnya melihat persoalan ini dari kacamata kepentingan ekonomi nasional. Soal harga penawaran dalam negeri yang sedikit lebih mahal dianggapnya tidak perlu terlalu dipermasalahkan. "Dampak positifnya untuk pemulihan ekonomi kan lebih besar," begitu alasannya. Tentang keraguan mutu produk dalam negeri, itu juga disanggah. "Tak ada alasan untuk mempertanyakan kualitas," kata Direktur Pembangunan PT PAL, Muhammad Moenir. Hal senada juga dinyatakan koleganya dari galangan Koja Bahari, Suyoto. "Untuk barang dari Cina dan Korea sih kita berani bersaing," ujar Direktur Operasi PT Dok Koja Bahari ini.
Setelah bersitegang urat leher, rangkaian rapat maraton khusus untuk ini kemudian menghasilkan kompromi sebagai berikut: enam dari 12 kapal akan dibuat di Indonesia. Dibukalah tender nasional, yang dimenangi PT Dok Koja Bahari, PT PAL, PT Jasa Marina Indah, dan PT Dok Surabaya. Tapi Pertamina mengajukan syarat agar kesepakatan pembuatan enam tanker itu dikuatkan dengan sebuah keputusan presiden.
Namun, karena khawatir akan tuntutan hukum di badan arbitrase internasional, dalam prosesnya Sekretaris Negara—yang juga Komisaris Pertamina, Bambang Kesowo—menolak menandatangani. Akibatnya, pemesanan enam kapal dibiarkan mengambang sampai sekarang. Pertamina dirugikan, sedangkan galangan kapal seperti PT Dok Koja Bahari dan PT PAL juga dibiarkan gigit jari.
Darmawan Sepriyossa, Leanika Tanjung, Levi Silalahi, Adi Mawardi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini