Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menggelitik Gajah Petrodolar

Dahlan Iskan ingin membubarkan Petral, anak usaha Pertamina di Singapura yang mengurus bisnis impor minyak. Perlu lembaga pengganti.

12 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan tiada angin, tiada hujan, bila Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan tiba-tiba melontarkan gagasan membubarkan Petral, anak perusahaan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan minyak, Selasa tiga pekan lalu. Dahlan mengaku sumpek dengan berbagai kabar miring tentang Petral yang tak ada habis-habisnya.

Sejak masih bernama Perta Oil Marketing Limited hingga mengubah nama pada Maret 2001, lengan bisnis Pertamina di Singapura ini lekat dengan cap sebagai ladang emas bagi para calo minyak. "Yang sering dirasani orang itu Petral. Ini mengganggu citra Pertamina," katanya.

Maka siang itu Dahlan sengaja memanggil Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Dalam dua jam pertemuan, mantan Direktur Utama PLN itu menyampaikan sejumlah informasi yang dia terima mengenai Petral. Banyak selentingan menyebutkan pengadaan minyak di Petral itu sudah diatur sehingga menguntungkan segelintir orang.

Singkat kata, seperti ditirukan Menteri Dahlan, Karen tak keberatan bila Petral dibubarkan. "Saya menunjukkan tidak punya kepentingan di Petral, Bu Karen juga begitu," ujar Dahlan.

Impor minyak Petral sejatinya untuk memenuhi stok bahan bakar minyak nasional yang sifatnya public service obligation (PSO), sehingga disubsidi pemerintah. Jika Pertamina dilepaskan dari tanggung jawab menangani stok BBM nasional, perseroan bisa lebih berfokus menjadi perusahaan minyak kelas dunia. "Di Malaysia, stok BBM nasional juga bukan tanggung jawab Petronas," ujar Dahlan.

Kenyataannya, sulit mengatakan Pertamina legawa jika Petral dibubarkan begitu saja. Sehari setelah pertemuan itu, Pertamina bergerak cepat. Puluhan media diundang untuk berangkat ke Singapura, menengok kantor Petral dan menyaksikan langsung proses tender. "Kami ingin membuktikan Petral sudah sangat transparan," kata Vice President Corporate Communication Pertamina M. Harun.

Tak disangka, pada hari yang sama ­Petral kedatangan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Ade Daud Nasution dan Boy Sahur, serta pengacara Johnson Panjaitan. Ketiga tamu tak diundang ini seolah -olah ingin membuktikan isu "permainan" tender Petral.

Di depan puluhan wartawan, mereka memprotes tender minyak Petral pada Maret-April 2010 yang memenangkan minyak mentah Azeri, yang disodorkan PTT Thailand. Sepekan sebelumnya, Ade dan Johnson juga mengadukan persoalan ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ade menuding pengadaan itu bermasalah karena pada tender tersebut produsen Azeri, yakni State Oil Company of Azerbaijan (Socar), ikut menawarkan minyaknya. Menurut dia, seharusnya Petral mengambil barang langsung dari produsennya agar mendapat harga lebih murah. "Saya sengaja datang karena tahu mereka mengundang wartawan, ingin dilihat bersih," kata Ade.

Harun membantah tudingan itu. Dalam tender Petral 2010, Socar tercatat menawarkan harga hampir US$ 2 lebih tinggi ketimbang PTT Thailand. Dia balik menuding protes tersebut tak lebih dari kekecewaan pihak-pihak yang selama ini tak berhasil mengintervensi impor minyak. "Biasalah, mereka ingin cari panggung. Kami justru menutup peluang pemain-pemain yang mau untung sendiri," katanya.

Kepada Tempo, seorang pengusaha besar di bisnis minyak mengungkapkan tender pengadaan di Petral memang sudah sangat terbuka. Tapi, seperti juga yang pernah didengar Dahlan Iskan, prakteknya masih dikendalikan sekelompok orang di luar perseroan. "Dulu proses tender pembelian minyak untuk pembangkit PLN juga bagus dan rapi," kata Dahlan. "Tapi, setelah saya bikin tender baru, harganya bisa lebih murah."

Pola "pengaturan" tender yang terjadi di Petral, seperti dituturkan sumber itu, juga berlangsung rapi. Dua atau tiga hari sebelum Petral mengumumkan tender, sekelompok pedagang yang disebutnya "mafia" itu melakukan blok kargo alias menjalin kesepakatan dengan pemilik minyak yang sesuai dengan keperluan Pertamina. Dia menduga informasi spesifikasi dan volume minyak ini dibocorkan oknum pejabat di Pertamina pusat.

Walhasil, ketika dilakukan tender, perusahaan di bawah jaringan "mafia" ini selalu menang karena peserta lain tak memiliki kargo. "Ini sering dilakukan dalam tender spot," kata sumber tadi. Berbeda dengan pengadaan minyak yang bersifat term alias kontrak setahun, tender di pasar spot bisa bulanan, tergantung kebutuhan kilang Pertamina di Indonesia.

Celakanya, dalam tender tersebut biasanya pemilik barang, misalnya Socar, juga ikut menawar. "Tapi pasti harganya lebih tinggi, dan ini tidak masuk akal. Semuanya by design," ujar si sumber. Dia menghitung, beberapa tahun lalu jaringan ini bisa meraup US$ 300 juta per tahun. "Kini, karena makin ketat, mereka mengambil untung sedikit tapi tetap menguasai."

Kendati mengkritik, sang sumber lebih berharap Kementerian BUMN membenahi manajemen ketimbang membubarkan Petral. Soalnya, jika impor minyak kembali ditangani langsung oleh Pertamina, itu hanya akan memindahkan permainan. Belum lagi Pertamina harus menanggung beban mencari pembiayaan untuk impor ini. "Selama ini impor dipisahkan dari Pertamina dan ditangani Petral di Singapura agar mudah mencari pendanaannya," katanya.

Tiga pekan setelah Dahlan meletuskan peluru pembubaran Petral, realisasinya terlihat suram. Suara untuk membubarkan Petral yang semula lantang sepertinya semakin lemah. Tersiar kabar, jaringan mafia impor minyak di Singapura mulai mengintervensi Kementerian BUMN melalui beberapa petinggi negara agar Petral tak diutak-atik.

Dahlan membantah kabar miring itu. Hanya, membubarkan Petral memang bukan perkara mudah karena harus ada lembaga pengganti yang mampu menangani stok BBM nasional. "Bu Karen menolak bila fungsi Petral dikembalikan seperti zaman dulu ke Pertamina."

Hingga kini Kementerian sedang mengkaji lembaga pengganti Petral. Salah satunya adalah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Syaratnya, tak mengulangi praktek lama dalam pengadaan impor minyak.

Komitmen untuk membenahi Petral, menurut Dahlan, masih bergelora. "Saya tak mengendur, hanya perlu waktu. Saya tak perlu dar-der-dor. Yang penting tujuan tercapai," ujarnya. "Pertamina itu gajah, harus digelitik supaya berbenah."

Agoeng Wijaya


Harus Impor Dagang minyak tak ada matinya. Mengapa?

Harus Impor Dagang minyak tak ada matinya. Mengapa?

Impor Minyak Mentah
Pengadaan G-to-G (± 110 ribu bph)
PETRAL (± 370 ribu bph)

Produk Kilang
Dari 1 juta barel minyak mentah, bisa dihasilkan ± 750 ribu bph Premium dan solar. Sisanya avtur, aspal, dan pelumas. Padahal kebutuhan BBM dalam negeri setiap hari rata-rata 1,2 juta barel. Jadi ada kekurangan 450 ribu bph.

Impor Minyak Produk
Petral (± 450-500 ribu bph)

Petral dalam Angka

Volume Impor Minyak Mentah (barel)

  • 2010 78 juta
  • 2011 66 juta

    Volume Impor Produk (barel)

  • 2010 117 juta
  • 2011 201 juta

    Nilai Perdagangan

  • 2010 US$ 21,8 miliar
  • 2011 US$ 31,4 miliar

    Laba Bersih

  • 2010 US$ 31 juta
  • 2011 US$ 47,4 juta

    Dividen ke Pertamina

  • 2010 US$ 12 juta
  • 2011 US$ 12,2 juta
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus