Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIFT menuju lantai tiga kantor Tech City Investment Organization itu gemeretak ketika pintu kayunya terbuka. Seorang petugas pemelihara gedung susah payah mengeluarkan aneka rongsokan melewati pintu selebar hanya satu meter itu. Ujung gerobaknya menyenggol batas pintu yang tampak bocel-bocel.
Hanya sanggup menampung lima orang, lift tua itu terengah membawa kami naik. Pintu kayu yang dilapis kerangkeng besi juga tak benar-benar tertutup rapat. Ketika sampai di lantai tiga, pintu itu juga tak segera merespons tombol yang menyala "open".
Di lantai tiga, Eric van der Kleij menyambut kami, jurnalis dari Asia-Pasifik, dengan senyum ramah. "Selamat datang di kantor Tech City," katanya. Pria Belanda yang tumbuh di Inggris itu ditunjuk Perdana Menteri David Cameron memimpin Tech City, sebuah lembaga pemerintah yang bertugas mengembangkan London Timur sebagai pusat digital Eropa.
Sambutan dan senyum Van der Kleij itu mengisyaratkan kontradiksi. Kantor dengan nama canggih dan modern itu menempati bekas gudang pabrik teh yang dibiarkan kumuh tak tersentuh renovasi. Lantainya kusam, dindingnya retak dan bocel. Gedungnya, bata merah berlumut peninggalan abad ke-18, menyempil di satu ruas Old Street. Bahkan tak ada papan nama di gerbangnya.
Perdana Menteri Cameron meresmikan pusat baru teknologi digital ini November tahun lalu. Tapi Van der Kleij, seorang pengusaha teknologi informasi yang sukses menggawangi pelbagai perusahaan besar dunia, sudah disewa pemerintah mengurusi Tech City pada 2006. "Saat itu baru 15 perusahaan yang mau bergabung," kata bekas petinggi Adeptra, perusahaan layanan komunikasi konsumen, ini.
Van der Kleij diminta mengembangkan Global Entrepreneur Programme, sebuah inisiatif Badan Perdagangan dan Investasi Inggris. Bersama 14 pengusaha digital top—termasuk Kevin Eyres, bekas Direktur LinkedIn Eropa—Van der Kleij diberi tugas memandu dan mengundang sebanyak mungkin perusahaan dunia membuka kantor di London Timur.
Pemerintah Inggris menggelontorkan 1 juta pound sterling (Rp 14 miliar) untuk mengembangkan perusahaan digital kecil-menengah di sana. Tahun pertama cuma empat perusahaan yang bersedia bergabung: Songkick, TweetDeck, Last.fm, dan Moo. Lainnya menunggu atau tak hirau.
Kini, setelah empat tahun, hampir 700 perusahaan berkantor di tempat itu. Google baru bulan lalu membuka kantor perwakilan. Cisco, Facebook, Vodafone, dan ratusan perusahaan terkenal lainnya sudah lebih dulu membuka kantor perwakilan untuk menggarap pasar Eropa. "Ini kawasan yang sewa kantornya masih murah," kata Dan Crow, eksekutif Songkick, perusahaan penjual tiket konser online terbesar di dunia yang berkantor di bekas gudang kayu yang dibangun pada 1893.
Resminya, kawasan ini disebut Silicon Roundbout. Kini orang-orang mulai menyebutnya Lembah Silikon atau Silicon Valley Eropa, yang merujuk pada pusat digital di California, Amerika Serikat. London Timur tadinya kawasan kumuh bekas pusat dagang dan pelabuhan Inggris abad ke-19 yang sudah ditinggalkan. Sementara London Barat menjadi pusat keuangan dan mode, London Timur tempat datangnya para imigran dari Asia dan Eropa Timur.
Pada abad ke-19, East End terkenal sebagai sarang penyamun. Jack the Ripper, legenda pemerkosa dan pembunuh sadis yang lihai berkelit, berasal dari kawasan ini. Jalan-jalannya sempit, banyak sampah berserakan, dan puntung rokok tersebar di sudut jalan. Selain itu, banyak berita pejalan atau pesepeda tertabrak lori saking tak teraturnya jalanan di kawasan tersebut. "Tapi di sini banyak resto dengan makanan yang enak," kata Crow, pendiri Blurb serta bekas petinggi Apple dan Google.
Crow memutuskan pindah dari Lembah Silikon, California, begitu lulus PhD dari University of Leeds pada 1995. Sepuluh tahun bekerja di California, ia pulang kampung karena London sudah banyak berubah. "Sekarang industri teknologi informasi berkembang sangat pesat di sini," katanya.
Sejak Global Entrepreneur dicetuskan, pemerintah Inggris memberi banyak kemudahan untuk industri ini. Puncaknya ketika Perdana Menteri Cameron meluncurkan Tech City. Visa untuk para pengusaha dipercepat, mereka yang akan berinvestasi di atas 5 juta pound diberi kemudahan izin dan lama tinggal. Pajak juga diturunkan.
Pemerintah Inggris secara gradual menurunkan pajak perusahaan sebesar satu persen setiap tahun. Pada 2014, pajak di Inggris tinggal 23 persen. Ini besaran pajak paling rendah di antara negara-negara maju anggota G-20. "Ini kebijakan paling progresif dalam 60 tahun terakhir," kata Amanda Brooks, Deputi Direktur Departemen Inovasi Bisnis.
Parlemen juga mendukung dengan tak merecoki pelbagai kebijakan yang menyokong berkembangnya perusahaan digital. Menurut Crow, ini pula salah satu faktor yang membuat iklim investasi di London Timur kian masif. "Kamis dua pekan lalu, misalnya, saya makan siang bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat berbagi pengalaman bekerja di Silicon Valley," kata Crow.
Untuk merangsang investasi baru, pajak keuntungan tahun pertama bagi perusahaan anyar hanya 10 persen. Karena itu, dalam lima bulan sejak November 2011, investor yang mendaftar tembus 300 perusahaan. London Timur pun kebanjiran pegawai baru yang datang dari negara tetangga, seperti Spanyol, Jerman, Portugal, dan Prancis, yang ekonominya morat-marit akibat krisis di zona euro.
Di Eropa, hanya Inggris yang relatif tidak terpuruk karena tak memakai mata uang euro. London bahkan menjadi kawasan baru mengalirnya investasi. Pemerintah menyiapkan bujet tak sedikit untuk itu. Tahun ini 30 miliar pound digelontorkan untuk membangun jaringan kereta bawah tanah dan pembangkit listrik.
Menurut Dan Crow, tak ada kebijakan khusus bagi perusahaan di Tech City dalam urusan insentif. Kawasan itu diminati, kata Crow, karena biaya yang murah dan kemudahan syarat investasi belaka. "Juga karena aksesnya yang bisa dijangkau dari mana saja dengan mudah," katanya.
Tech City hanya berjarak lima menit dengan naik bus ke kompleks Olimpiade Musim Panas 2012, yang akan digelar Juli nanti, dan 15 menit ke pusat London. Faktor Olimpiade ini pula yang membuat Tech City diserbu pengusaha. Soalnya, perusahaan-perusahaan digital ini umumnya punya proyek di Olimpiade.
Pemerintah Inggris sangat serius menyiapkan pesta multicabang olahraga sedunia ini. Sejak negara itu ditetapkan jadi tuan rumah Olimpiade pada 2005, sejumlah fasilitas disiapkan. Kompleks Olimpiade terbentang 240 hektare. Sebanyak 1 miliar pound dikeluarkan pemerintah untuk membangun infrastruktur, membersihkan polusi air, dan merehabilitasi lahan berbukit.
Para investor tertarik ikut membangun kompleks Olimpiade karena mereka bisa terus memanfaatkannya sebagai fasilitas komersial begitu pesta olahraga ini usai. Maka praktis Olimpiade dan Tech City merupakan perpaduan apik menumbuhkan ekonomi Inggris. "London Timur akan menjadi pusat pertumbuhan baru di negeri ini," kata Perdana Menteri Cameron saat meresmikan Tech City.
Menurut Van der Kleij, pengusaha dan investor umumnya anak muda yang datang dari Eropa, Asia, dan Amerika Latin. Mereka pengusaha bidang desain grafis, tekstil, dan 40 persennya di bidang teknologi informasi. Rata-rata mereka baru membangun usaha, di luar perusahaan raksasa yang sedang meluaskan pasar, seperti Google dan Facebook.
Tech City, kata Van der Kleij, akan dibiarkan tetap seperti ini: dengan jalan-jalannya yang tua, resto-resto klasik, dan gedung-gedung bata merah yang mengawetkan sejarah....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo