Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bila Target Pajak Terlalu Tinggi

Setelah isu pajak reksadana telanjur menggerus investasi, kini ada lagi gagasan untuk memajaki transaksi valas. Mau meniru Cile?

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas KRI Tongkol dalam penyeberangan dari Madura ke Pelabuhan Ujung, Surabaya, akhir Juli lalu, Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo selintas mengungkapkan masalah yang membebani pikirannya. "Seandainya 20 persen saja pengusaha kita jujur bayar pajak," demikian kata Hadi, "Saya tak perlu pusing dengan target penerimaan Rp 213 triliun tahun ini."

Memang, dibebani target sebesar itu, siapa yang tidak kalut? Apalagi di masa sulit seperti sekarang. Jangan heran bila Dirjen Pajak terus memutar otak agar bisa menghimpun uang lebih banyak. Kebetulan, Undang-Undang Perpajakan Nomor 16 Tahun 2000 sedang direvisi. Maka Hadi pun melontarkan ide-ide yang mengejutkan.

Kamis dua pekan lalu, misalnya, Hadi membocorkan rencananya untuk mengenakan pajak atas transaksi valuta asing (valas) sebesar 10 persen. Ide ini pernah dituangkan oleh Menteri Keuangan Fuad Bawazier dalam sebuah keputusan, hanya seminggu setelah ia diangkat sebagai menteri pada 13 Maret 1998. Sedangkan Hadi meluncurkan gagasannya setelah kerja sama Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) resmi berakhir.

Alkisah, Fuad gagal karena pasar menolak keras. Akibatnya, Fuad hanya mampu mempertahankan keputusan itu dalam tempo empat hari. Setelah ditegur Soeharto atas desakan IMF, Keputusan Menteri Keuangan No. 185/KMK.04/1998 itu pun dicabut pada 23 Maret 1998, persis pada hari seharusnya mulai diberlakukan.

Gagasan Hadi tentu masih sebatas wacana. Kebetulan, reaksi berupa penurunan transaksi di pasar uang juga tidak terjadi. Tapi, ketika rencananya tentang pemajakan atas reksadana berkumandang dua bulan lalu, dampaknya fatal. Investasi langsung tergerus. Menurut Kepala Divisi Bancassurance Bank Danamon, Randy Pangalila, investasi yang melayang tak kurang dari Rp 3 triliun?Rp 2 triliun di antaranya terjadi di Bank Danamon. Pangalila memperkirakan, target pajak sekitar Rp 1 triliun dari reksadana berpotensi menghilangkan Rp 120 triliun investasi.

Kali ini pun kekhawatiran bukan tidak ada. Ari Cahyono dari Divisi Treasury Citibank menilai rencana Hadi itu berpotensi menjadi pemajakan ganda. Sebab, pemerintah sudah menarik pajak atas keuntungan jual-beli valas. Kalau dipaksakan juga, kebijakan itu bisa merugikan pelaku pasar dan investasi pun lesu. "Kalau belum apa-apa sudah dipajaki, orang jadi malas datang, kan?" katanya menduga-duga.

Kartono dari Divisi Treasury Bank BNI sependapat dengan Ari. Dia ragu apakah tujuan pajak yang sering disebut Tobin tax itu?dari nama James Tobin, ekonom Amerika pemenang Nobel, yang mengusulkannya pada 1972?bisa efektif sebagai pengontrol yang membatasi spekulasi. "Pasar itu enggak mungkin bisa dibendung. Spekulan-spekulan besar sekelas George Soros, kalau main, kan enggak mungkin cuma US$ 1 juta. Sekali main, mereka bisa mengguncang pasar." Kesimpulannya, modal yang begitu besar membuat pajak ini tidak akan mengurangi keuntungan yang mungkin diperoleh dari pasar yang telah dibuat panik.

Tapi ekonom Bank Mandiri Martin Panggabean melihatnya berbeda. Ia mendukung Hadi Purnomo dan menuding bankir dan broker sebagai orang-orang yang takut kehilangan rezeki. "Coba lihat manfaatnya bagi penguatan ekonomi nasional, dong. Kita bisa mencegah nafsu spekulan yang merugikan, tapi investor jangka panjang tak akan terganggu."

Pakar moneter Iman Sugema dari Indef juga menyambut baik usul ini. Alasannya, selain menambah pemasukan negara, pajak valas bisa menjadi instrumen moneter untuk mengontrol arus modal masuk dan keluar. Menurut Iman, di Cile, pajak ini efektif mengendalikan transaksi spekulasi dan tidak mempengaruhi arus modal yang masuk. "Justru (pajak itu) menyeleksi agar investasi dengan kepentingan jangka panjanglah yang lebih banyak masuk," ujarnya bersemangat.

Para ekonom yang pro-Hadi hanya berpesan agar pengaturan dibuat tegas, baik menyangkut penentuan tarifnya maupun jenis transaksi yang akan dikenai pajak. Fokus utamanya pun mestinya bukan untuk menopang target penerimaan, sehingga angka 10 persen dianggap terlampau besar. Tobin juga berpendapat pajak ini sebaiknya 1-5 persen saja. Tapi yang pro dan yang kontra sama-sama mengingatkan agar soal ini dikaji dengan teliti, dan jangan sampai membuat pasar telanjur bereaksi negatif.

Menteri Keuangan Boediono, yang lebih suka tutup mulut itu, kali ini pun segera berkomentar. "Itu baru wacana, belum akan diterapkan dalam waktu dekat," kata Boediono mewanti-wanti. Tentu akan lebih mengena ke sasaran kalau misalnya Dirjen Pajak mengejar triliunan tunggakan pajak konglomerat yang jelas-jelas berniat ngemplang. Apalagi, sampai kini, mereka belum terkena jurus gijzeling, padahal sosialisasi kebijakan paksa badan sudah lewat sejak 26 September lalu.

Y. Tomi Aryanto, Amal Ihsan, Putri Alfarini (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus