Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA ragu, dari bibir Sri Hartini meluncur kata-kata, ”Lebih baik enggak usah bayar asuransi. Mending duit Rp 400 ribu itu dipakai untuk bekal berangkat ke Malaysia.” Yang lagi dikomentari gadis 21 tahun asal Wonosobo, Jawa Tengah, ini adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi teranyar, bernomor 157/2003, yang mengatur perihal asuransi bagi tenaga kerja Indonesia (TKI). Aturan yang berlaku sejak Agustus itu mengharuskan setiap orang yang berniat bekerja di kawasan Asia Pasifik membayar premi Rp 400 ribu.
Bagi Sri dan jutaan TKI lain yang mengais rezeki di negeri orang, Rp 400 ribu bukanlah duit receh. Sebelumnya saja, pada awal 1999, ketika ia berangkat ke Malaysia, Sri mesti merogoh Rp 2-2,4 juta dari koceknya untuk membayar ini dan itu, mulai dari biaya pembuatan paspor, pemeriksaan kesehatan, penampungan ala kadarnya, dan berbagai pungutan lain. Karena di kantongnya cuma ada Rp 300 ribu, saat itu Sri harus berutang dulu kepada perusahaan yang menjadi agennya. Buntutnya, setelah diterima bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Johor Baru, dia mesti merelakan tiga bulan gaji pertamanya dipotong agen.
Protes langsung bermunculan. Yang pertama terdengar dari Jawa Timur. Akhir September lalu, pengurus Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia di provinsi ini menemui pejabat kantor tenaga kerja setempat dan menyuarakan keberatan mereka. Sebelum masalahnya jelas, 43 perusahaan TKI di Jawa Timur berkukuh akan tetap membayar premi asuransi Rp 120 ribu—ini batas minimal dari jumlah Rp 160 ribu yang ditetapkan—sesuai dangan Keputusan Menteri Nomor 92/1998.
Wajar bila beleid Menteri Jacob Nuwa Wea memicu kontroversi. Selain menyangkut lebih mahalnya nilai premi yang mesti dibayar, beberapa kejanggalan lain yang terkandung di dalamnya pun kini ramai disorot. Salah satu yang paling mencolok adalah tentang alokasi penggunaan dana dan mekanisme penunjukan sejumlah perusahaan asuransi yang diberi hak untuk mengelolanya.
Tengok saja misalnya pasal 3 ayat 1, ”... program asuransi TKI dilaksanakan perusahaan asuransi yang ditunjuk Menteri... membentuk konsorsium dan menunjuk salah satu perusahaan asuransi sebagai ketua konsorsium yang menerbitkan polis induk.” Setelah itu dalam ayat 2 disebutkan, ”Perusahaan asuransi juga menunjuk satu perusahaan lain sebagai koordinator.”
Berdasarkan ketentuan di atas, Menteri Jacob lantas menunjuk PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), PT Asuransi Parolamas, PT Bringin Jiwa Sejahtera, PT Binagriya Upakara, serta PT Bumiputera Muda 1967. Jasindo lantas ditunjuk sebagai ketua konsorsium. Setelah itu—ini anehnya dan entah apa fungsinya—kelima perusahaan asuransi tersebut bersepakat menunjuk PT Mitra Dhana Atmharaksa sebagai koordinator.
Ketika ditanya apa dasar penunjukan lima perusahaan asuransi di atas, Menteri Jacob menjawab, ”Kelima perusahaan itu dipilih karena kinerjanya.” Sayangnya, anggota kabinet dari PDI Perjuangan ini enggan menjelaskan tolok ukur penilaiannya.
Tanda tanya berikutnya ada di pasal 13. Disebutkan di situ ihwal pungutan berlabel ”premi pra-penempatan” yang harus dibayarkan sebesar Rp 50 ribu. Menurut Yunus Yamani, Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI, seharusnya premi itu dibayarkan di daerah asal TKI. Sehingga, ketika terjadi kecelakaan di perjalanan sebelum ke luar negeri, TKI bisa mendapat ganti rugi. Selama ini pembayaran premi tersebut dilakukan setelah paspor diterbitkan di ibu kota provinsi.
Selain itu, masih ada lagi. Kali ini di pasal 14, yang menyebut bahwa TKI wajib membayar premi untuk masa kontrak kerja (dua tahun) dan masa purnakerja sebesar Rp 350 ribu. Yang menarik, dari jumlah tersebut hanya Rp 50 ribu yang disetor ke perusahaan asuransi, sedangkan sisanya yang Rp 300 ribu digelontorkan ke kas PT Mitra Dhana selaku koordinator.
Buat PT Mitra, ketetapan Menteri Jacob jelas ibarat durian runtuh. Bisa dibayangkan berapa banyak duit yang bakal dikeruk mereka. Menurut perhitungan Wahyu Susilo, jumlah TKI yang berangkat ke Asia sedikitnya 170 ribu orang setahun. Seorang direktur agen bedinde bahkan menyebut angka lebih besar, sekitar 500 ribu. Jadi, setidaknya PT Mitra bakal mengantongi Rp 21 miliar setahun. Ditanya soal ini, Direktur Utama PT Mitra Dhana, A’an Sadnan, mengatakan pendapatannya dalam dua setengah bulan pertama ini ”baru” sekitar Rp 3,5 miliar.
Di mata Yunus Yamani, praktek ini teramat ganjil. Argumen yang diajukannya sederhana saja: PT Mitra bukanlah perusahaan asuransi. ”Lebih baik duit Rp 300 ribu itu kan dipakai untuk perlindungan TKI,” katanya lagi.
Wahyu Susilo, Koordinator Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), sependapat dengan Yunus. Menurut dia, TKI yang bekerja di kawasan Asia tak perlu lagi dibebani pungutan berkedok asuransi. Soalnya, setiap TKI yang bekerja di Asia, misalnya di Singapura, sudah langsung diasuransikan majikannya. ”Jika TKI disuruh membayar lagi, itu kan dobel. Mubazir,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, Wahyu menilai ketentuan tentang premi masa kontrak itu jelas-jelas bertabrakan dengan Undang-Undang No. 2/1992 tentang Usaha Asuransi, yang menyatakan bahwa orang tak perlu membayar dua kali asuransi yang sama untuk dirinya.
Tapi hal ini dibantah Menteri Jacob. ”Tak ada aturan yang bertabrakan. UU No. 2/1992 itu tak berlaku di luar negeri,” katanya. Dan, kalaupun dianggap dobel, Jacob bertanya, ”Apa salahnya?”
Keberatan Wahyu lainnya adalah soal pemakaian dana Rp 300 ribu itu. Dalam lampiran keputusan Menteri Jacob tertulis, selama masa kontrak, PT Mitra cuma menanggung biaya pembelaan hukum maksimal sebesar Rp 100 juta, uang muka pengurusan klaim asuransi sebesar Rp 10 juta, dan ongkos pemulangan TKI yang terkena masalah. Wahyu mempersoalkan kenapa hal penting seperti biaya kesehatan TKI, kompensasi kecelakaan dan cacat tubuh, justru tak masuk dalam daftar klaim. ”Sekali lagi terlihat, TKI masih menjadi sapi perahan,” Wahyu menandaskan.
Yang berkeluh kesah ternyata bukan cuma TKI seperti Sri atau aktivis model Wahyu. Keputusan itu juga dirasa amat memberatkan bagi Handoko Lesmana, Direktur PT Bama Mapan Bahagia. Handoko berpandangan, kalaupun TKI diwajibkan membayar tambahan ongkos asuransi Rp 400 ribu, ia mendesak supaya lingkup klaim diperluas seperti yang disampaikan Wahyu. Bila tidak, Handoko khawatir TKI yang memilih nekat berangkat tanpa asuransi seperti Sri bakal meningkat. Menurut dia, keputusan menteri sebelumnya yang bernomor 92/1998 masih lebih baik daripada keputusan Menteri Jacob sekarang. Ketika itu ditetapkan, TKI cuma membayar premi Rp 160 ribu, tetapi perlindungannya mencakupi ganti rugi kecelakaan, cacat akibat kerja, dan PHK.
Jacob menjelaskan keputusan yang baru ditekennya itu bukan untuk membebani TKI. ”Dengan menaikkan premi, ganti rugi yang didapat TKI kan juga makin besar,” katanya. Dengan begitu, Jacob berharap para TKI bisa bekerja lebih tenang di negeri orang.
A’an Sadnan sendiri menyanggah berbagai suara miring yang kini terarah ke pihaknya. ”Soal besar kecilnya dana yang disetorkan ke kami itu kan relatif,” ujarnya. A’an berdalih kantornya mesti mengeluarkan biaya besar untuk menyewa pengacara, biaya pesawat untuk mengangkut TKI, dan lainnya.
A’an juga enggan mengakui bahwa PT Mitra bukanlah perusahaan asuransi. ”Kami juga mengeluarkan polis,” katanya. Tapi saat dikejar dengan pertanyaan apakah PT Mitra bisa memberikan ganti rugi jika TKI mengalami kecelakaan di luar negeri, A’an dengan nada lirih hanya berkata, ”Secara tertulis hal itu memang tidak ada. Tapi pasti akan kami bantu.”
Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo