Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menghitung Rezeki Petani

Menurut iwan jaya aziz, berdasarkan data dari bps, daya beli petani terutama di jawa barat dan yogyakarta merosot ke tingkat dibawah 1976. swasembada beras belum bisa dinikmati.

4 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELESUAN ekonomi yang cukup pekat membayang tahun ini, terutama di wilayah Jawa Barat dan Yogyakarta. Daya beli masyarakat petani di kedua provinsi itu, tahun Ini, merosot sampai di bawah tingkat dasar 1976. Hal ini disimpulkan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Iwan Jaya Azis, berdasarkan data Indikator Ekonomi edisi terakhir dari BPS. Menurut doktor lulusan Universitas Cornell (AS) itu, indikasi turunnya daya beli petani dapat dilihat dari nilai tukar dari petani, yang biasanya dilaporkan BPS per bulan. Nilai tukar tersebut mencerminkan harga penjualan hasil produksi dan harga yang harus dibayar petani untuk produk itu. "Petani menghasilkan sesuatu untuk dijual. Dia juga membayar biaya untuk ongkos produksi, selain biaya barang, dan jasa lainnya," tutur Iwan Jaya Azis, Kepala Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi merangkap Kepala Jurusan Bidang Ekonomi Pasca-Sarjana UI. Nilai tukar di kalangan petani Jawa Barat dan Yogyakarta, tahun ini, ternyata menurun sangat tajam. Dengan menggunakan dasar angka indeks 1976 = 100, angka-angka untuk Januari hingga April 1985 ini adalah 104,101, 98, dan 97. Penurunan ini, menurut Iwan, karena adanya penurunan indeks harga yang diterima petani dari 296 menjadi 294. Sedangkan harga yang dibayar petani mengalami peningkatan dari 285 pada Januari menjadi 292 pada April. Iwan lalu menyimpulkan bahwa daerah Yogyakarta dan Jawa Barat secara murni belum menikmati arti swasembada beras. Sebab, "Indikator kesuksesan di sektor pertanian tidak hanya dilihat dari besarnya produksi, tetapi juga tingkat daya beli petani," katanya. Seperti diketahui, produksi gabah tahun ini meningkat, melampaui kebutuhan konsumsi nasional. Padahal, harga dasar gabah untuk penjualan petani ke KUD, yang berlaku sejak Februari 1985, telah ditentukan Rp 175 per kg - naik Rp 10 dari harga dasar tahun sebelumnya. Kenaikan harga dasar yang hanya 6% itu - tahun sebelumnya sekitar 13% tampaknya dimaksudkan pemerintah untuk antara lain membendung inflasi, yang banyak dipengaruhi faktor beras. Padahal, harga beras itu, secara tak langsung, ikut mengendalikan pendapatan petani sawah. Lebih lanjut, Iwan menganggap kurang tepat kebijaksanaan pemerintah yang tidak menaikkan harga dasar gabah pada 1986. "Mungkin pemerintah berpikir, karena harga di pasar sekarang sudah di bawah harga dasar," begitu perkiraan Iwan. Namun, sebagian petani yang menjual hasilnya ke KUD akan tertolong bila harga dasar dinaikkan. "Bagaimanapun, harga di tingkat tengkulak tidak berbeda jauh dengan harga dasar," tuturnya. Data yang disajikan BPS tentang nilai tukar dari petani, tentu saja, berdasarkan rata-rata. Bahkan mungkin ada kelompok petani yang tidak tertangkap oleh peneliti. Contohnya mungkin Carmadi, 59, penduduk Sidoarum di Yogyakarta. Pemilik 1,3 ha sawah itu, kepada TEMPO, mengatakan bahwa tahun ini ia tidak merasa bertambah kaya ataupun miskin. November lalu, sawahnya menghasilkan 5 ton gabah. Carmadi menyisihkan 1/2 ton untuk keperluan konsumsi keluarganya, sisanya dijual kepada tukang tebas dengan harga Rp 163.000 per ton. Setelah dipotong berbagai ongkos, ia memperoleh keuntungan bersih sekitar Rp 180.000. "Biasanya uang itu habis untuk biaya sekolah anak-anak," tutur Carmadi, yang masih membiayai dua anaknya. Dua anaknya lagi telah tamat SMA. Kekayaannya lainnya adalah sepetak halaman dan rumah setengah tembok, tiga sepeda, radio transistor, tiga lampu tekan, tiga ekor sapi, dan lima ekor kambing. Semua itu membuat petani lain menganggap keluarga Carmadi berkecukupan. Tapi, kalangan produsen barang dan jasa lainnya, tentu, belum bisa mengharapkan produk mereka akan mudah mendapatkan pasaran seperti di kalangan petani setingkat keluarga Carmadi itu. Max Wangkar Laporan Gatot T. (Jakarta) E.H . Kartanegara (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus