MANTRUST tak ubahnya penderita kanker stadium tiga. Perusahaan makanan terbesar di Indonesia ini berada dalam kondisi keuangan yang semakin parah. Kesulitan likuiditas masih terus merongrongnya sejak tahun lalu. Restrukturisasi utang-utangnya juga belum mencatat kemajuan berarti. Dari hari ke hari Tegoeh Soetantyo, sang pemilik, tak lagi menghitung laba. Sebaliknya, ia menghitung jumlah utang yang terus bertambah. Mantrust (Management Trust Co Ltd) -- didirikannya 35 tahun lalu -- kini terbelit utang kepada grup 62 bank dalam dan luar negeri sebesar Rp 1,2 triliun. Utang itu terus bertambah karena konglomerat ini tak lagi mampu memenuhi kewajibannya. Bahkan kewajiban membayar bunga -- Rp 12 miliar per bulan -- sudah tertunda sejak 1,5 tahun lalu. Kerapuhan Mantrust terungkap awal tahun 1992. Ketika itu harian Business Time terbitan Singapura memberitakan Mantrust berutang Rp 750 miliar. Negosiasi untuk restrukturisasi utang tak terungkapkan hasilnya hingga kini. Yang pasti, utang itu tak pernah dicicil, sehingga membengkak menjadi Rp 1,2 triliun. Sementara itu para bankir harap-harap cemas melihat perkembangan Mantrust. Apalagi bankir dalam negeri, yang menanggung 80% dari total utang Mantrust atau sekitar Rp 960 miliar. BRI, misalnya, dikabarkan mempunyai tagihan Rp 230 miliar. Bank Duta diam-diam mengutangi Mantrust Rp 170 miliar. Selain itu BDN, Lippobank, dan BII juga punya tagihan pada Tegoeh. Sedangkan dari luar negeri tercatat Citibank, Hongkong Bank, serta Banque Nationale de Paris sebagai kreditor utama. Para bankir tersebut tampaknya cenderung menunggu. Sebuah bank swasta nasional memang pernah berniat mengambil alih PT Dieng Jaya yang bergerak di industri jamur. Niat ini kemudian urung konon karena mereka tak yakin bisa mengelola usaha budi daya jamur yang terbilang langka itu. Manajemen dan pemilik Mantrust sendiri tak tinggal diam. Mengenai restrukturisasi utang, Tegoeh, 76 tahun, mengusulkan pembayaran cicilan utang diperpanjang dari 1 - 3 tahun menjadi 8 - 13 tahun. Hampir sebagian besar bankir rupanya menolak usul itu. Mereka lebih suka menunggu sambil ''menikmati'' bunga yang setiap bulan terus bertambah. Sementara itu Mantrust juga mencari calon-calon pemodal baru. Salah satu di antaranya adalah PT Tri Saka, yang awal November lalu telah menandatangani semacam memory of understanding (MOU) dengan Mantrust. Intinya, Tri Saka akan terjun sebagai mitra usaha yang siap menyuntikkan dana segar. Kabar ini mengejutkan, terutama karena Tri Saka merupakan perusahaan baru yang dimotori tiga pengusaha muda -- yakni Bambang Yoga Sugama (putra bekas Ka Bakin), Anton Riyanto dari Grup Usaha Ritra, dan Sutrisno Bachir dari Ika Muda Group. Anton Riyanto memang pernah mengungkapkan bahwa yang akan terjun bukan hanya Tri Saka, tapi juga Bambang Trihatmodjo, Bos Bimantara Citra. Namun ketika kabar ini dikonfirmasikan, dukungan Bos Bimantara itu ternyata masih harus dipertanyakan. ''Setahu saya Bimantara maupun Pak Bambang secara pribadi (maksudnya Bambang Trihatmodjo) belum ada niat untuk terjun sebagai investor di Mantrust,'' kata Ahmad Fuad Afdhal, Corporate Secretary Bimantara. Kalau begitu, bagaimana satu sumber di Tri Saka bisa mengatakan bahwa 50% pendanaan akan dipasok oleh Bambang Trihatmodjo? Ini kan bukan jumlah yang kecil. Menurut Jim Wiryawan, direktur pemasaran Mantrust, untuk modal kerja saja Mantrust membutuhkan dana segar Rp 200 miliar. ''Ini harus benar-benar segar, dan bukan pinjaman yang dibebani bunga tinggi,'' katanya. Selain itu, agar utang manageable, harus dibayar sedikitnya Rp 600 miliar. Ini penting untuk mengurangi beban cicilan, sekaligus meringankan beban bunga setiap bulan. Tak dapat tidak, Mantrust membutuhkan mitra usaha yang tangguh. Apakah Tri Saka mampu? Anton Riyanto, yang bertindak sebagai Jubir Tri Saka, tampaknya optimistis. Setidaknya ia yakin bahwa Bambang Trihatmodjo akan terjun sebagai mitranya. Alasannya memang ada, kendati alasan itu cenderung idealistis ketimbang bisnis. Tapi andai kata Tri Saka jadi masuk, yang pertama dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan para kreditor untuk memperpanjang masa pembayaran utang. Setelah itu menjual atau membubarkan perusahaan-perusahaan yang tidak menguntungkan. Dan tentu saja mitra baru ini akan menyuntikkan dana segar untuk modal kerja. ''Sejauh masih feasible, kami bisa mengusahakan dana yang dibutuhkan,'' kata Anton tanpa mau merinci dari mana dana itu akan diperoleh. Keputusan final antara Mantrust dan Tri Saka dicapai awal Maret depan, setelah konsultan keuangan Utomo Josodirdjo meneliti seluruh jajaran Mantrust dan anak-anaknya. ''Kalau dari hasil pemeriksaaan terbukti lubangnya terlalu besar, kami juga angkat tangan,'' ujar Anton. Ia juga menginginkan agar pemilik Mantrust tidak mengotak-atik bisnis inti mereka. Maksudnya? Pihak Anton menghendaki Tegoeh tidak menjual usaha-usaha yang selama ini menjadi tulang punggung, seperti Pabrik Bir Anker, industri susu Frische Flag, industri jamur Dieng Jaya, atau pabrik makanan kaleng yang memproduksi korned dan ikan kaleng. ''Kalau salah satu dari perusahaan itu dijual, kami akan mengundurkan diri,'' Anton menandaskan. Nah, itu termasuk syarat yang berat bagi Mantrust. Seperti diketahui, berapa bulan lalu Mantrust sudah meneken transasksi atas seluruh sahamnya di PT Delta Djakarta (produsen Anker). Pihak San Miguel, yang berminat pada Anker Bir, memang belum membayar satu sen pun. Tapi Jim Wiryawan menegaskan, transkasi itu hanya tinggal menurunkan jumlah saham yang dijual dari 58,8% (seluruh yang dimiliki Mantrust) menjadi 49%, sesuai dengan peraturan penanaman modal asing. Belum diketahui bagaimana reaksi Tri Saka tentang kemungkinan itu. Yang pasti, salah langkah Mantrust di masa lalu tak boleh terulang lagi. Tiga tahun lalu, untuk memperkuat usahanya, Tegoeh telah melakukan pinjaman jangka pendek dalam rupiah. Waktu itu ia mengharapkan keuntungan dari nilai tukar (Mantrust mencatat pemasukan dari ekspor 270 juta dolar setahun). Sementara itu pada tahun 1990 isu devaluasi sangat santer. Maka manajemen pun berhitung begini: nilai rupiah akan turun seiring dengan naiknya kurs dolar. Berarti, bisa mencetak untung dua kali lipat. Tapi devaluasi itu tidak terjadi. Pemerintah bahkan memberlakukan kebijakan uang ketat, yang meroketkan bunga pinjaman rupiah. Padahal ekspansi Mantrust belum menghasilkan apa-apa. Selain salah strategi, bisnis Mantrust oleng karena faktor manajemen keluarga. Menurut salah seorang bekas manajer Mantrust, Tegoeh dan ke dua puteranya (Jhoni dan Budi Soetantyo) terlalu agresif untuk diversifikasi usaha. Dan mereka jarang mau mendengarkan pertimbangan manajer profesional yang dipekerjakan oleh Mantrust. Akibatnya, banyak investasinya yang merugi dan membobol benteng Mantrust. Misalnya pabrik sepatu Adidas, perusahaan penerbangan Asahi Airways, industri kayu, serta investasi pada beberapa bidang tanah di Bandung dan Bali. Karena itu Jim beranggapan bahwa mencari mitra usaha baru merupakan langkah yang terbaik. ''Kalau dipimpin oleh pemiliknya saja, jenjang kontrol di Mantrust jadi tak jalan,'' katanya berterus terang. Budi Kusumah dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini